Sementara daun-daun berubah warna. Langit pun berubah menjadi abu-abu. Sinar matahari berwarna jingga menemani langkahku yang sedikit gontai.
Sepoi dingin angin di musim ini, memaksaku untuk kembali ke rumah dan membalut diri dengan pakaian-pakaian tebal.
Mungkin itu karena musim panas yang telah hilang dan musim dingin yang sudah bersiap menyambut cakrawala.
Di jalan ini. Aku melangkahkan setiap langkahku dengan berat, seolah-olah ada beban yang sedang ku pikul. Sendirian menapaki sisa hari ini. Menghitung waktu dalam sepi, sambil menghibur diri dalam lamunan tanpa arti.
Mengapa hariku selalu kelabu? Mengapa semakin hari rasanya semakin menyedihkan? Bahkan rembulan cerah seakan kelabu. Bintang yang bertaburan menghias langit pun terlihat seakan sudah redup.
Langit semakin gelap. Hening semakin sunyi. Hanya suara hati yang bising di telingaku. aku menengadahkan kepalaku, bersamaan dengan burung malam yang baru saja melintas melewatiku begitu saja. Seolah-olah aku manusia kasat mata.
"Apa hal sederhana saja tidak pantas ku dapatkan?" Tanyaku sambil menatap daun menguning yang baru saja terjatuh di hadapanku.
Tak ada tautan, apalagi jawaban. kini cahaya rembulan sudah berada di tengah awan, menemani malam yang akan larut. Rasanya, kesunyian yang menggumpal selama ini nampak semakin jelas. Bulir bening itu kembali jatuh seiring dingin malam yang terasa membeku melilit kulit.
Tak urung, dadaku terasa semakin ngilu. Saat rasa menyakitkan itu semakin menancap dalam sampai sanubari. Desir angin malam menyadarkanku. Di bawah pohon-pohon musim gugur aku hanya berdiri terdiam bersama tetesan air mata. Hanya kepingan harapan semu yang bisa ku balut dengan angin.
"Kenapa kamu pulang sekolah selarut ini Naraya!?" Volume suara ayah terdengar bergema di telingaku. Terdengar rasa khawatir seolah-olah akan kehilangan diriku.