Naraya And The Dream Who Save Her Life

Fauziyah Nur Aulia
Chapter #10

Sembilan

Pertemuanku dengan Yondra sudah berlalu cukup lama. Tetapi perkataannya selalu terngiang di kepala. Wajah tampan dengan senyuman manis yang terasa hangat, sesekali hadir dalam ingatan dan menjadi alasan aku tiba tiba tersenyum. 

Sudah tiga kali aku datang ke taman yang biasa kukunjungi. Sesekali aku mengharapkan dia ada di sana seperti saat dia selalu tiba tiba datang setiap aku ada masalah. Namun aku tak pernah melihatnya lagi setelah daun pertama gugur pada saat awal musim gugur waktu itu.

"Naraya, apa Ibu melahirkanmu untuk menjadi tidak berguna dan membebani keluarga?" 

Aku tersentak mendengarnya walau sudah hampir setiap hari aku mendengar perkataan seperti itu. Aku membalikkan tubuhku menatap sosok wanita yang disebut Ibu sambil menunduk. 

Hening sesaat. Aku melirik sekilas ke arah jendela ruang tidurku. Cuacanya tampak bersahabat di luar sana. Ibu menghela napasnya sebelum kembali memulai ucapannya.

"Belikan Ibu semua yang ada di sini, dan kembalilah sebelum malam. Seharusnya kamu bisa menjadi anak yang lebih berguna daripada sekarang. Jika saja Ibu tahu kamu tidak berguna seperti ini. Ibu lebih memilih membuangmu begitu kamu lahir."

Aku bergegas menuju tempat di mana aku bisa mendapatkan semua yang Ibu minta. Daun-daun terlihat sudah berganti warna menjadi merah, berbeda ketika aku berlibur sekitar dua Minggu yang lalu. Saat warnanya masih kuning ataupun orange.

Di tengah-tengah kesibukan manusia berlalu-lalang, aku dapat melihat sosok yang terlihat tidak asing. Dia tak sungkan-sungkan memamerkan senyuman lebarnya saat berbicara.

Rasanya aku ingin berlari menghampirinya dan menyapanya, sebelum aku melihat seorang gadis memeluk erat lengan kanannya. Aku menipiskan bibirku, menahan untuk tidak berlari ke sana dan bertanya bagaimana kabarnya di depan gadis yang terlihat sebagai kekasihnya.

"Mengapa dunia tidak adil untukku?" gumamku saat dia bersama gadisnya berjalan ke arahku.

"Apa kamu akan menaiki bus berikutnya juga?" aku menoleh menatap Dia yang terlihat hangat dengan sorot mata dingin khas miliknya. Gadis itu tampak jelas terlihat tidak suka saat menatapku. Aku menarik sudut bibirku membalas tatapannya dengan senyuman.

"Apa kamu mengenalnya?" Gadis itu menatap Dia bertanya, dia hanya menatapku sekilas lalu mengusap rambut gadisnya. "Tidak" jawabnya bersamaan dengan senyuman di wajahku yang memudar

Bagaimana bisa dia tidak mengenaliku? Bagaimana bisa dia berbicara seperti itu di depanku? Mengapa dia pura-pura tidak mengenaliku? Mengapa dia melakukan itu? Bukankah sebelumnya di setiap pertemuan kami dia selalu terlihat seperti orang baik? Ah pertanyaan menyebalkan itu memenuhi kepalaku bahkan rasanya sampai ingin meledak. Aku merapatkan bibirku berusaha terlihat tidak menyedihkan di hadapan orang lain.

"Tolong jaga jarak dengan kami, kamu terlihat aneh. Dan berhentilah menggoda kekasih orang lain dengan cara sok kenal." 

"Aku tidak pura pura mengenalnya. Kami memang mengenal satu sama lain sebelumnya." sanggahku sambil berusaha memberanikan diri menatap gadis yang berada di sebelahnya. Dia terlihat tidak tertarik dengan perdebatan kami. Tangannya menarik gadis itu ke sebelah kirinya, seolah memberikan pembatas antara aku dan gadis menyebalkan itu.

"Mungkin kamu mengenalku dalam mimpimu. Aku tidak pernah bertemu dengan gadis aneh sepertimu sebelumnya. Jadi jangan sok kenal dan membuat kekasihku berdebat." 

Rasanya tulang-tulang dalam raga ini berjatuhan mendengar penuturannya. Sosok yang selama ini menjadi alasanku memperjuangkan mimpi dan harapanku, bahkan menjadi sosok yang kutulis dalam jurnal sebagai seseorang yang kuharapkan kehadirannya dalam hidupku. Justru menorehkan luka sedalam-dalamnya. Rasa gelap itu seolah menyambutku kembali dengan hangat, rengkuhan yang sempat melonggar itu kembali menguat. Aku tertunduk diam menahan bulir bening yang siap terjun membasahi wajahku.

"Sudah kubilang jangan sok kenal. Dasar gadis aneh menyedihkan." Gadis itu menatapku tajam sebelum mereka berdua menaiki sebuah bus yang baru saja berhenti. 

Aku perlahan-lahan melangkahkan kakiku menaiki bus itu bersamaan dengan lengan seseorang yang menghalangi jalan masuk. "Busnya sudah penuh, kamu tidak bisa menaikinya karena akan menambah sesak." 

Aku mendelik tak percaya. Aku dapat melihat sebuah kursi kosong di dalam sana, tapi kenapa pria itu berkata seolah-olah sudah penuh. Pria itu mendorongku agar turun dari tangga masuk bus. "Tunggu saja bus berikutnya, atau kamu jalan saja." 

Lihat selengkapnya