Naraya And The Dream Who Save Her Life

Fauziyah Nur Aulia
Chapter #11

Sepuluh

Aku menatap langit malam yang dipenuhi bintang-bintang dari jendela ruang tidurku. Rasanya sudah sangat lama sekali aku tidak merasakan ketenangan seperti ini. Dan hari ini, aku bisa merasakan banyak perubahan dalam hidupku. Entah bagaimana, tapi aku berharap esok akan jadi hari yang lebih baik dari hari ini. Aku bisa merasakan apa yang namanya kebahagiaan, walaupun masih banyak pertanyaan yang berenang di kepala setelah semua kejadian dalam hidupku.

"Besok sudah masuk sekolah, seharusnya kamu beristirahat daripada membuang waktu tidak jelas menikmati bintang yang memang akan terus seperti itu bentuknya"

Aku terkejut mendengar suara Ayah dari belakang punggungku. Aku membalikkan badan dan menatapnya sedikit ketakutan. Wajahnya tidak menyiratkan sedikitpun senyuman atau kesan sedang bahagia. Aku hanya mengangguk pelan lalu berjalan menuju tempat tidurku.

"Kamu sudah besar, seharusnya jangan semakin membebani keluargamu sendiri. Hiduplah menjadi anak yang berguna dan tidak merugikan orang tuamu."

Ucapannya membuat dadaku menjadi sesak. Kalimat sederhana tapi begitu menyakitkan bagi yang mendengarnya. Aku menipiskan bibirku lalu kembali menatap ke arah luar jendela ruang tidurku. Aku mulai bertanya ragu tentang harapanku bahwa hari esok akan semakin membaik. Apakah itu bisa terjadi?

Mataku terpejam dengan perasaan sakit yang menjalar keseluruh tubuhku, dan beberapa menit kemudian aku sudah terlelap di atas kasur ditemani sinar rembulan yang masuk melalui jendela.

***

Pintu kamar yang di buka dan dibanting keras membuatku terperanjat dan langsung bangun. Ayah menatapku tajam sambil menyilangkan tangannya di depan dada. "Hei pemalas! Seharusnya kamu sudah pergi ke sekolah sekarang. Apa ayah dan ibu membesarkan dan menyekolahkanmu hanya untuk tidur-tiduran?" 

"E-enggak Ayah, Naraya akan segera ke sekolah." 

Mendengar jawabanku Ayah meninggalkanku sendirian di kamar sempit milikku. Aku bergegas dan bersiap berangkat ke sekolah karena sinar matahari sudah mulai terpancar terang.

Udara yang berhembus terasa lebih dingin dari kemarin, apa mungkin karena sebentar lagi musim dingin?. Aku menghirup udara pagi ini sedalam-dalamnya berusaha menenangkan gejolak dalam hati dan pikiranku yang berantakan. Musim yang aku sukai akan segera tiba. Sepotong kenangan manis kembali hadir dalam kepala. Saat aku membuat boneka salju di halaman rumah bersama dengan Ayah dan Ibu sekitar tiga belas tahun yang lalu. Tanpa sadar aku menarik sudut bibirku tersenyum bersamaan dengan suara bel sepeda yang berbunyi. Aku langsung berlari masuk ke dalam kelas, di sana terlihat beberapa orang sedang sibuk berbincang dan bercengkrama dengan ekpresi bahagianya. Aku duduk di kursi yang berada di sudut ruang kelas. Terlihat sepi dan begitu asing di sini.

"Wah lihat Naraya sang pemimpi sedang berbicara dengan seekor laba-laba. Apa kesepian membuat gadis menyedihkan sepertimu menjadi tidak waras?"

Ucapan Siska membuatku tersentak. Senyum licik tercipta di wajahnya, dia terlihat menakutkan dengan ekspresi seperti itu. Aku menggenggam erat ujung seragam yang ku kenakan. Apa hari ini aku akan menjadi hari yang buruk lagi? Aku tertunduk lalu menyembunyikan laba laba itu dalam genggaman tanganku, berusaha melindunginya.

Aku lagi lagi tersentak saat Aya menarik tanganku kasar dan mengambil seekor laba laba yang berada dalam genggaman tanganku. Tanpa ragu ia menghempaskan laba laba kecil itu ke lantai dan menginjaknya begitu saja. Tubuhku terasa membeku melihatnya. Mengapa Aya tega melakukan itu kepada seekor laba laba kecil yang tidak bersalah?

"Lihatlah, betapa menjijikkan sekali diriku Naraya. Pantas saja tidak ada yang ingin berteman dengan gadis menyedihkan sepertimu." 

Aku hanya diam tertunduk menyesal melihat seekor laba-laba kecil yang sudah tak bernyawa itu di lantai. Aku menahan sebuah bendungan air mata yang akan segera keluar. Bahkan melindungi seekor laba-laba kecil saja aku tidak mampu. "Hari ini guru sedang ada rapat kurasa kita bisa mengajak Naraya main sebentar. Apa kamu mau bermain denganku lagi Naraya?" Siska tersenyum menyeringai, rasanya benar benar terlihat menakutkan. Tubuhku sedikit bergetar saat mereka menarikku kasar keluar ruang kelas.

Aku berusaha menahan tubuhku agar mereka tidak bisa membawaku pergi. Namun rasanya seperti sia-sia, mereka semakin kasar menarikku menuju gudang olahraga sekolah yang sudah tak terpakai. Pikiranku sudah berkecamuk tak karuan, apa mereka akan membunuhku di tempat ini? Atau mereka akan menyiksaku sampai aku mati? Mengapa dunia begitu kejam kepadaku? Mengapa hal-hal tak terduga selalu datang tanpa tanda apapun? Harapanku kemarin ternyata salah tentang hari ini dan hari setelahnya.

Aku meringis kesakitan saat tangan Siska menarik rambutku kuat. Berusaha tidak menangis saat kurasakan kulit kepalaku yang ingin terlepas. 

Lihat selengkapnya