Aku terkesiap bangun dari tidurku saat merasakan hawa dingin menjalar di seluruh tubuh. Ah...ternyata aku lupa menutup jendela semalam. Aku berjalan ke sana untuk menutupnya bersamaan dengan pintu ruang tidurku yang terbuka menampilkan sosok wanita di sana. Hatiku menyambutnya hangat setelah perlakuan manisnya sejak semalam. Namun ternyata dugaanku salah.
"Kalau kamu sudah bangun kenapa kamu tidak segera keluar? Apa kamu tidak dengar Ibu sudah meneriaki namamu berkali-kali? Apa Ibu harus sampai menyusulmu kemari dan menyeretmu agar keluar?"
Volume suaranya cukup keras dan terdengar seperti berteriak. Ekpresinya terlihat sangat marah terdengar dari Ibu yang berbicara penuh dengan penekanan di setiap katanya. Aku merapatkan kedua kakiku lalu memegang erat ujung baju tidurku.
"Ma-maaf Ibu aku tidak mendengarnya. Naraya juga baru saja bangun tepat saat Ibu membuka pintu."
"Apa Ibu harus berteriak sampai kerongkongan Ibu terlepas kamu baru mendengarnya? Pantas saja Ayahmu selalu marah denganmu, kamu saja tidak pernah bisa bangun sendiri dan selalu membuatnya mengeluarkan banyak energi hanya untuk membangunkanmu."
Ibu membalikkan badannya dan berjalan meninggalkanku sendirian di bilik sederhana yang hanya diterangi oleh lampu yang redup dengan perasaan sangat bersalah. Apa itu salah satu alasan mereka memperlakukanku seperti bukan manusia selama ini? Apa itu alasan mereka selalu berbicara menyakiti perasaanku?
Rasanya aku tidak ingin bersekolah hari ini saat mengingat kejadian kemarin, saat Siska dan teman-temannya menyiksaku di gudang olahraga tak terpakai yang berada di belakang sekolah. Aku mengatur napasku yang tak seirama karena merasa ketakutan untuk pergi ke sekolah hari ini.
"Naraya apa kamu memang sudah tidak punya telinga!" Teriakan Ibu membuatku bergegas keluar. Terlihat Ibu dan Ayah sedang menikmati sarapan hangat khas musim dingin. Aku baru saja akan menarik kursiku jika saja sebuah tangan tidak menepisku dengan kasar.
"Bukankah hari ini kamu sekolah? Lalu kenapa kamu tidak segera berangkat? Apa kamu melupakannya?"
"Ti-tidak Ayah. Aku tidak melupakannya! Tapi hari ini salju turun dan udara terasa sangat dingin. Aku ingin menghangatkan tubuhku terlebih dahulu." Terlihat Ayah menghela napasnya kasar mendengar jawabanku.
"Berhentilah mencari alasan. Mau musim apa yang sedang terjadi kamu harus tetap pergi ke sekolah. Jangan jadikan cuaca sebagai alasan lagi. Kurasa kamu bukan anak kecil yang harus Ayah ajari lagi bukan?" Ayah menyuap sesendok sup hangat terlebih dahulu sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Ayah menyekolahkanmu untuk menjadi pintar bukan bertambah bodoh." Ayah menatapku tanpa ekspresi dengan suara yang terdengar hambar. aku tertunduk lalu perlahan-lahan melangkahkan kakiku menuju kamar mandi.
Sekitar lima belas menit aku menghabiskan waktu untuk mandi pagi ini saat salju mulai turun. Aku mencari jaket tebal agar dapat memberikanku kehangatan. Aku merapatkan jaketku sebelum melangkahkan kaki keluar rumah menuju sekolah.
"Kenapa kamu tidak menggunakan payung? Bukankah hari ini salju turun?"
Aku seketika tersentak saat kulihat siapa yang berbicara seperti itu. Ya, Dia sedang menatapku sedikit khawatir sambil mengarahkan payung yang dia bawa kepadaku. Seolah-olah sedang berbagi. Aku tidak tahu dia memiliki niat terselubung atau tidak. Tapi, kejadian waktu itu cukup membuatku tidak ingin melihatnya sekarang.
"Maaf soal kejadian waktu itu. Kekasihku pencemburu, jika aku mengatakan hal yang sebenarnya kurasa dia akan menjambakmu sangat kencang."
Aku sedikit memberi jarak darinya saat mendengar kata 'Jambak' sebuah kata yang mengingatku tentang kejadian menyebalkan kemarin di gudang sekolah yang tidak terpakai. Aku benar-benar tidak ingin pergi ke sekolah hari ini. Tapi berada di luar saat salju turun tentu bukan hal yang bagus. Aku bisa saja membeku dan mati karena kedinginan.
Sebuah tangan mendarat di tangan kananku, menggenggamnya erat lalu menarikku lembut agar melangkahkan kakiku dan berjalan di sampingnya. Ah, kenapa dia tiba tiba semanis ini? Bagaimana jika kekasihnya melihatku? Apa aku akan di siksa seperti Siska dan teman-temannya menyiksaku kemarin? Lalu aku harus bagaimana?
Aku memberanikan diri melepaskan tanganku dari genggamannya dan berlari masuk ke dalam bus yang baru saja berhenti. Dengan cepat kulihat dia menyusulku dan duduk di sebelahku.
"Kenapa? Berhentilah menghindariku. Aku tidak suka kamu memperlakukanku seperti itu. Apa kamu marah karena kejadian waktu itu? Aku minta maaf, aku tidak bermaksud melukai perasaanmu dengan kata-kataku. Hanya saja, aku tidak ingin kekasihku menjambakmu atau berdebat dengan dirimu."
Aku berdecih tanpa sadar. Jika memang kekasihnya akan melakukan hal seperti yang dia bicarakan waktu itu, lalu kenapa dia mendekatiku tiba-tiba hari ini? Dan bersikap manis seperti ini, bagaimana jika kekasihnya melihat hal ini? Ah aku benar benar takut itu terjadi.
Aku berjalan dengan langkah sedikit cepat begitu turun dari bus. Namun, dia terlihat sedang mengikutiku sampai depan ruang kelasku. Aku menatapnya sedikit kesal, panik, dan rasa takut. Bagaimana jika kekasihnya melihatnya di sini sedang bersamaku, aku tidak ingin merasakan jambakan menyakitkan itu lagi.
"Wah wah wah, Naraya si pemimpi memiliki seorang kekasih?"
Aku menipiskan bibirku saat mendengar suara Siska dari dalam kelas dengan volume cukup keras, di susul dengan sahutan-sahutan menggoda yang lainnya. Aku tahu sahutan itu bukan sebuah godaan seorang teman, melainkan sebuah kalimat merendahkan diriku. Aku menggenggam erat ujung jaket tebal berwarna hitam yang ku kenakan. Dia terlihat tidak peduli dengan suara-suara keras di dalam ruang kelas. Tidak mungkin bukan dia tidak mendengarnya?
"Berisik! Aku akan memukuli kalian satu persatu jika kalian bersuara lagi."
Dia berteriak lantang dengan nada dingin dan wajah tanpa ekpresinya. Seketika ruangan kelas terdiam setelah mendengarnya, kurasa Dia cukup disegani di sekolah ini, apalagi Dia sepertinya kakak tingkat kami semua. Terlihat dari pita seragam sekolahnya yang digunakan untuk siswa kelas akhir.
"Masuklah, aku hanya ingin meminta maaf tentang kejadian waktu itu." Dia tiba tiba mengusap rambutku dengan lembut. Ada sebuah percikan-percikan kecil di dalam tubuhku. Tapi aneh, rasa yang mengalir itu justru tidak memberikanku rasa tenang ataupun nyaman, berbeda dengan percikan-percikan yang aku rasakan saat Yondra menyentuhku atau sekedar menatapku, bahkan mendengar suara Yondra saja sudah membuatku tenang. Aku dengan cepat menggelengkan kepalaku saat Dia mencubit pipi kananku cukup keras. Terasa sakit karena bekas tamparan Siska dan teman-temannya kemarin.
"Ah apa aku terlalu keras mencubitnya? Apakah sakit? Kenapa pipimu terlihat lebam? Apa kamu baru saja di pukul seseorang?"
Dia beralih mengusap wajahku lembut dan menatapku dalam. Sorot mata khawatirnya terlihat jelas. Ah bagaimana ini, jantungku tiba tiba berdetak tak seirama. Dengan cepat aku berjalan masuk ke dalam kelas dan duduk di sudut ruangan. Sebuah laba-laba kecil tiba-tiba menyambutku, seolah-olah mengucapkan selamat pagi dan mengenalkan diri. Aku tersenyum lalu mengusirnya dari mejaku, aku hanya tidak ingin kejadian seperti kemarin terulang kembali. Saat seekor laba-laba kecil tak bersalah harus mati karena ulah Aya.
"Ku kira kamu sudah mati." Siska tiba-tiba berjalan ke arahku dan menarik rambutku kuat. Aku meringis menahan sakit. Mereka tiba tiba menyeret tubuhku kasar ke toilet perempuan. "A-ampun lepaskan aku.."
Siska memiringkan kepalanya lalu memasukkan wajahku ke dalam wastafel yang di penuhi air. "Lihat kamu istimewa bukan? Sampai kami mau menyumbat wastafel ini dengan kain agar kamu bisa membasuh wajah menjijikan itu dengan mudahnya."
Aku mulai menangis saat Siska kembali memasukan wajahku ke dalam wastafel, rasanya sangat sulit bahkan untuk sekadar bernapas. Air sudah masuk ke dalam hidung dan mulutku, membuatku berbatuk. Melihat keadaanku yang tersiksa mereka justru tertawa puas dan semakin menguatkan jambakannya pada rambut sebahuku. Aku benar-benar ingin berteriak meminta tolong kepada siapapun yang kebetulan melintas dan dapat membantuku.
Aya tiba tiba menarik tubuhku dan menghempasnya kasar ke lantai. Aku meringis kesakitan memegangi rambut dan tanganku. Seolah tidak ingin kehilangan mangsanya. Siska kembali menjambak rambutku lebih kuat dari sebelumnya dan menyeretku masuk ke dalam bilik toilet. Aku berusaha melepaskan diri dengan cara menahan tubuhku masuk ke dalam sana. Namun Aya tiba tiba menginjak tanganku dan membantu Siska menyeretku masuk.
"A-ampun ku mohon ampun, jangan siksa aku lagi, ku mohon ampun..." Isak tangis keluar dari bibirku. Sungguh, aku sudah tidak bisa menahan rasa sakit dan terluka ini. Air mataku tumpah bersamaan dengan ekspresi wajah mereka yang terlihat sangat bahagia melihatku menderita.