Hari ini adalah hari terakhir musim salju. Musim semi akan menyambut besok hari. Aku menatap sweater berwarna abu-abu dan jaket tebal berwarna merah. Aku menarik sudut bibirku ke atas mengulas sebuah senyuman saat ingatan bersama dengan Yondra tiba tiba melintas. Aku menarik selimut dan menutupi tubuhku kembali. Rasanya aku sangat merindukan Yondra.
Ku rasa sudah tepat dua minggu berlalu setelah kejadian mengerikan dengan Haru, membawaku bertemu dengan Yondra lagi. Entah aku harus mengucap syukur atau justru sebaliknya, yang pasti pertemuan terakhirku dengan Yondra cukup membuatku kuat menghadapi pembulian dan siksaan dari Siska dan teman-temannya. Ya, mereka tentu saja masih menyiksaku dan membuliku setiap harinya, yang semakin hari justru semakin parah sampai-sampai membuatku harus berada di rumah selama dua hari. Karena kepalaku yang terbentur keras di lantai kamar mandi di tambah dengan pergelangan kakiku yang terkilir. Tentu saja itu semua adalah perbuatan Siska dan teman-temannya.
Aku bersyukur semenjak kejadian mengerikan di rumah itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengan Haru. Laki-laki yang sangat aku harapkan dan berbuat baik padaku justru laki-laki paling licik dan menakutkan yang aku temui. Seketika aku tersentak kaget saat mendengar suara tamparan keras di luar sana. Aku mengambil bantal berwarna putih yang berada di sebelahku dan langsung kugunakan untuk menutupi kedua telingaku. Aku benar-benar benci situasi ini, situasi dimana aku harus mendengar perdebatan Ayah dan Ibu juga suara-suara keras sebuah bantingan. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi selama ini kepada mereka. Semenjak aku tidak sengaja mendengar perkelahiannya waktu itu. Ku rasa mereka semakin sering berdebat dengan hebat.
Aku berjalan keluar karena sudah tidak tahan lagi dengan perdebatan itu, dengan cepat aku memberanikan diri mendorong Ayah yang sedang menarik rambut ibuku kuat. "Ayah! Ibu! Berhentilah berkelahi dan berdebat! Aku tidak tahu harus bagaimana jika kalian terus seperti ini! Aku hanya ingin kalian membicarakan semuanya dengan baik baik daripada kalian berdebat dan menyakiti satu sama lain!"
Ayah menatapku tajam, tidak perlu lama tubuhku sudah terjatuh karena Ayah mendorongku kasar. Ibu melirikku lalu menampar keras pipi kiri Ayahku, tiba-tiba ingatan mengerikan saat Siska dan teman-temannya menamparku setiap hari membuatku meringis merasakan ngilu. "Kalau memang kamu tidak bisa lagi menghasilkan uang untuk keluargamu sendiri lebih baik kita cerai saja!" Teriak Ayahku tepat di wajah Ibu.
"Kau ini kenapa!? Bukankah kita bertahan selama ini sampai saat ini itu karena Naraya!? Lalu kenapa kamu tiba-tiba ingin berpisah? Apa kamu lupa perjanjianmu sendiri!?"
"Demi aku? Maksud ayah dan ibu apa? Kumohon beritahu aku apa yang sebenarnya terjadi." Lirihku memohon sambil memeluk kaki ayahku. Ayah menghela napasnya lalu melirik ibu sebentar. Seolah-olah bertanya apa sudah saatnya aku mengetahui hal ini.
Kulihat Ibu mengangguk pelan lalu membantuku berdiri dan menggiringku menuju ruang makan. Aku menoleh ke belakang melihat ayah yang mengikuti kami. Aku benar-benar merasa bingung dan takut untuk saat ini. Apa mitos bugenvil itu benar-benar nyata?
Aku menipiskan bibirku saat kudengar ucapan Ibu tentang fakta mereka masih bersama sampai saat ini. Karena diriku? Benar-benar karena diriku? Tangisanku tumpah pada wajahku, benar-benar menyakitkan rasanya mendengar ucapan itu. Perkelahian dan perdebatan seperti itu sudah berjalan dari usiaku enam tahun. Aku menunduk sedih, ternyata semua perlakuan mereka padaku karena mereka memang sudah tidak saling mencintai bukan? Hanya saja mereka kasian padaku jika harus berpisah saat aku masih kecil?
Aku menggenggam erat ujung baju tidurku saat kudengar ekonomi keluarga ini benar-benar sudah hancur. Ayah yang terlilit hutang dan Ibu yang harus membantunya bekerja. Aku menipiskan bibirku saat Ayah membuka suara. "Kita sudah tidak punya apa apa, rumah ini adalah harta keluarga kita satu-satunya. Dan ayah rasa kita harus menjualnya agar kita tetap bisa makan untuk bertahan hidup."
"A-apa sebaiknya aku berhenti sekolah saja?" ucapku terbata yang membuat ayah dan Ibu langsung menatapku dengan tajam. Aku tertunduk melihat reaksi mereka setelah mendengar ucapanku. Ah, apa aku salah bicara?
"Kamu tetap harus sekolah, yang terpenting berhemat lah. Ayah tidak ingin kamu putus sekolah dan menjadi gelandangan di luar sana! Jangan bicara seperti itu lagi." ayah bangkit dan berjalan keluar pintu rumah. Aku masih terdiam dan tidak berkata-kata lagi, aku tidak tahu harus mengatakan apa dan harus melakukan apa.
Sebuah tangan mendarat di tanganku, Ibu menggenggamnya erat lalu mengusapnya dengan lembut. "Walau kita menjadi miskin dan tidak punya apa apa. Ibu harap kamu tidak mencuri ya?" ucapnya, yang ku balas dengan anggukan dan sebuah senyuman tipis di wajahku.
"Bagaimana keadaanmu sekarang? Apa kamu sudah bisa jalan dengan benar? Jika sudah apa kamu mau sekolah hari ini? Kurasa Ibu masih ada waktu untuk mengantarmu."
Jujur, masih ada rasa takut di dalam tubuhku. Tapi aku tidak bisa menolak permintaan mereka. Aku adalah harapan mereka, aku tidak boleh malas berangkat sekolah ataupun berhenti dari sekolah. Aku menatap sorot sayu milik Ibu. Benar-benar menyiratkan banyak luka lebih dari apa yang aku rasakan. Bahkan sorot mata Yondra juga menyiratkan sebuah luka lebih dari yang aku rasakan selama ini. Aku menipiskan bibirku saat tersadar aku terlalu banyak mengeluh dan terlalu merepotkan banyak orang karena kelemahanku.
Ibu melambaikan tangannya saat aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam area sekolah. Jantungku berdetak tak karuan, tubuhku tak terasa sudah bergetar. Rasanya aku adalah mangsa terbodoh yang justru menghampiri tuannya agar di santap. Sangat Ironis sekali bukan?
Aku hampir saja bernapas lega saat tak kutemukan keberadaan Siska dan teman-temannya di dalam kelas. Dengan cepat aku berjalan menuju kursiku yang berada di sudut belakang ruangan ini. Aku tersenyum saat melihat sebuah laba-laba kecil menghampiriku seolah menyambut kedatanganku. Kurasa ini adalah laba-laba yang sama seperti waktu itu.