NARISA

Mukhlis Hidayatulloh
Chapter #2

Satu

1

Latihan keras yang diberikan Pak Jo berbuah manis sejak SMP tingkat akhir. Ribuan, bahkan puluhan ribu tembakan setiap hari membuatku menjadi penembak tiga angka dengan akurasi hampir sempurna. “Devian nggak perlu lari-lari, cukup tembak dari jarak jauh,” kata Pak Jo, selalu meyakinkanku untuk fokus pada keahlian itu.

Saat lawan menguasai bola, teman-teman setimku berlari ke sana-sini untuk merebutnya. Aku? Diam saja di posisi. Ketika teman-temanku mendapatkan bola, lawan berusaha mati-matian merebutnya, aku tetap tidak bergerak. Tapi begitu bola sampai di tanganku, aku langsung melemparnya ke arah ring—dan tim lawan mendadak diam. Tembakan pertama masuk, mereka cuek. Tembakan kedua? Masih biasa saja. Tapi saat tembakan ketujuh dan seterusnya, wajah mereka berubah. Pandangan penuh kekecewaan dan kekalahan mulai terlihat jelas. Gambaran itu terus terulang sampai akhirnya piala tingkat nasional kami raih saat aku di kelas X SMA. Wajah-wajah merana itu tak pernah hilang dari ingatanku.

Narisa dan Feby juga masuk SMA yang sama denganku. Kami bertiga akhirnya menepati janji masa kecil kami. Narisa, dengan segala kecerdasannya, memenangkan Olimpiade Matematika tingkat nasional. Feby, dengan biolanya, berhasil menaklukkan kompetisi musik bergengsi.

“Lihatlah kalian sekarang, hebat! Kalian akan selalu menjadi kebanggaan. Kalian selalu lupa caranya menyerah,” kata Pak Jo, yang selalu memotivasi kami untuk tidak pernah berhenti berusaha. "Kalian akan terus bertemu dan bertemu lagi di podium-podium prestasi."

Akhir semester satu, Narisa—si Ratu Es—menjadi idola sekolah. Pemilihan ini seperti pemilihan ketua OSIS,

“Lihat, wajahnya itu memancarkan kecerdasan dan kedewasaan. Matanya misterius, dan dia cantik luar biasa, Dev,” kata Levi, teman sekelasku yang juga wakil ketua OSIS. Dia menggambarkan Narisa dengan penuh kekaguman saat melihatnya menerima mahkota sebagai simbol idola sekolah. "Belum ada satu pun cowok yang berhasil mendekatinya, mungkin itu salah satu daya tariknya. Aku dengar, siswa-siswa populer di sekolah ini pun gagal jadi pacarnya."

Tiba-tiba, bajuku ditarik. Feby! Cewek ini memang suka bikin kaget. Kita berdiri di depan panggung, menyaksikan Narisa dan Kak Hardi disalami satu per satu oleh siswa lain.

Feby melepas tangannya dari bajuku dan berkacak pinggang. "Hoy, Narisa!!!" dia berteriak keras, membuat semua orang menoleh ke arah kami. "Sini! Foto sama kita dong!"

Feby memang nggak tahu malu. Namun, yang mengejutkan, Narisa turun dari panggung. Bukan dengan lompat tentunya, tapi dengan berjalan anggun. Kita pun berfoto bersama. Levi cepat-cepat berdiri di sebelah kanan Narisa. Urutannya, Levi, Narisa, Feby, dan aku. Narisa tersenyum sebelum kembali ke panggung. "Nanti share ya?" katanya.

Suatu sore di awal semester dua, aku mengikuti pelajaran tambahan matematika di laboratorium fisika. Sekolah memang memfasilitasi anak-anak 'berbakat' agar tidak ketinggalan pelajaran karena perlombaan. Saat guru pembimbing keluar sebentar karena urusan, tiba-tiba Narisa masuk ke kelas.

Dia berjalan santai ke belakang, langsung duduk di sebelahku. Tatapan para siswa lain langsung tertuju pada kami, terutama padaku. Narisa tetap cuek, bahkan langsung bertanya, “Dev, kamu tahu? Karena kemenangan tim olimpiade fisika, sekolah akan mendapatkan laboratorium fisika baru. Dan tempat ini, katanya, mau dijadikan gudang.”

Aku mengangkat bahu. “Terus?”

Narisa mendesah kesal. "Ini tempat kenanganmu, kan? Kau diam saja saat tempat ini mau dihancurkan, Dev?"

Aku terdiam. Dia juga.

BRAK!

"Hoy, Narisa! Ngapain kamu gebrak pintu?" tanyaku kaget.

"Hah? Ini meja, Dev! Jelas-jelas aku nggebrak meja!" protesnya, masih dengan nada kesal.

"Dulunya itu pintu, sekarang jadi meja," jawabku asal-asalan. Wajah Narisa langsung berubah menjadi kesal seperti monster.

Satu-satunya cara menangani cewek populer seperti Narisa adalah dengan membuat dia kesal. Aku berharap dia segera keluar kelas sebelum membuat keributan yang lebih besar.

Namun, dia malah berdiri dan berkata dengan suara yang cukup keras untuk didengar semua orang di kelas, “Dev, kau nggak ingin melakukan sesuatu yang menarik sebelum masa SMA-mu berakhir? Masih ada banyak hal yang bisa kita lakukan!”

Aku menatapnya, terkejut oleh semangat aneh yang tiba-tiba muncul darinya. "Apa maksudmu?"

Dia menatapku serius. "Selagi kita masih SMA, ayo kita cari tantangan baru! Anak-anak pintar yang lain nggak peduli, mereka fokus pada pelajaran dan pertandingan. Tapi kita? Kita bisa lakukan sesuatu yang berbeda."

Aku terdiam. Tatapan siswa-siswa lain semakin intens, seolah-olah Narisa sedang mengajakku melakukan sesuatu yang benar-benar gila.

"Apa kau akan menolak permintaan dari seorang Narisa yang sudah datang meminta bantuan?" suaranya terdengar sedikit bercanda, tapi aku tahu dia serius.

Aku mencoba bertahan, berusaha tetap fokus pada kertas soal di depanku. Namun, Narisa tidak menyerah. Dia menarik lengan bajuku dan berbisik, "Apa aku perlu berteriak tentang hal-hal memalukan yang kau lakukan, Dev?"

Dia tertawa pelan, penuh kejahilan.

Akhirnya, aku menyerah. "Baiklah, Narisa. Aku ikut."

Aku berjalan membuntuti langkahnya. Ketika aku bertanya apa yang akan kita lakukan, dia malah menjawab ketus: “Tinggal ngikut, apa susahnya, sih!!!”

Narisa sedikit menjelaskan, berencana mengubah laboratorium fisika lama menjadi perpustakaan tiga.

“Aku akan menjadi penjaga perpustakaan tiga. Aku bebas kelas. Aku yang sekarang bisa melakukan banyak hal, mencoba berbagai macam permainan kehidupan.” Ini dia ngomong sendiri.

Kami menemui Pak Jo di ruangannya, ruang pelatihan olimpiade matematika. Aku mengamatinya dari jendela. Terlihat mereka berdua bercakap-cakap.

“Langkah pertama sukses!” Dia senyum senang setelah keluar ruangan.

“Bagaimana kau dapat persetujuan dari Pak Jo dengan mudah? Apa kau punya cara memerasnya?” Aku heran.

“Mana mungkin, kalau dijelaskan benar-benar, Pak Jo pasti mengerti juga.” Narisa senyum kegirangan.

“Kasih tau manteranya, lah.”

“Nggak ada, aku cuma bilang, aku mau bikin perpustakaan lalu disetujui, nggak ada masalah sama sekali.”

Sekarang memang tidak ada, tapi aku merasa akan segera ada apa-apa. Meski terlihat mudah, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Mana ada guru yang semudah itu menyetujui ide seorang siswa.

“Pertama, kita harus melaksanakan semua strateginya!” Narisa berkata serius.

“Apa strateginya, Narisa?” tanyaku antusias. “Kita bahkan tidak punya apa-apa untuk menjalankan rencananya.”

“Aku sudah memperhitungkan semuanya, intinya kau harus mengantarku ke rumah! Kau tidak berhak menolak permintaanku, mengerti!!!” nadanya mengancam.

Hari sudah cukup sore, sampai di tempat parkir motor, aku melihat jam tangan. Mengapa? Berharap jam tanganku tidak jatuh. Sekarang pukul 16.34.

Sebelum naik motor, aku sedikit mengelapnya karena berdebu.

“Cowok itu aneh ya, motor kotor dibersihin, cewek bersih dikotorin,” Narisa menyilangkan tangannya.

Hah?!!!

“Menyedihkan, pantas saja tidak ada satu pun cewek yang mendekatimu. Motor bebek mini berwarna biru,” Narisa tersenyum tipis, mungkin dia senang melihatku jengkel.

“Sepertinya mencari-cari keburukanku adalah keahlian terbaikmu, jangan-jangan ini adalah bentuk perhatianmu padaku.”

Ngeeng, ini bunyi motor, yang aku dan Narisa naiki.

“Melirik cewek yang ada di pinggir jalan boleh-boleh saja, kok. Bisa dibilang aku penasaran rasanya memukul dirimu dari belakang.”

“Apa salahnya, Narisa?

“Apa kau tidak merasa bangga bisa berduaan dengan seorang Narisa?” nadanya dibuat seakan sebal.

“Iya juga, ya?” Iya juga, ya adalah jawaban paling aman.

Kami sudah berada di depan rumah Narisa. Butuh perjuangan yang tidak susah, tapi menahan telinga untuk bertahan dari serangan Narisa, itu yang susah.

“Kau ingin balas dendam?” cibir Narisa.

 “Balas dendam bagaimana, Narisa?”

“Ini kesempatanmu, kan?”

“Kesempatan apa?

Lihat selengkapnya