1
Akurasi tembakan tiga angkaku semakin mantap, jarak jangkauannya kini mampu menembus hingga ke belakang garis tengah lapangan. Bayangkan saja, suatu saat mungkin aku bisa mengalahkan satu tim basket sendirian.
Dengan begini, dunia akan melihat, bagaimana bermain basket di era ini. Kau nggak perlu bekerja keras, asal bisa memasukkan bola dalam ring dari semua sudut lapangan, bisa dipastikan kemenangan jadi milikmu. Itu lebih efektif dibandingkan menciptakan pemain yang bisa merusak pertahanan lawan yang berkumpul di bawah ring atau menciptakan pelari dengan kecepatan tinggi, yang bisa maju mundur dengan cepat. Pelatih yang mengatakan dirinya pembuat strategi, otak di balik kesuksesan permainan basket, pemarah dengan keahlian berteriak dan marah-marah di ruang ganti, tidak akan diperlukan lagi. Era basket yang baru akan dimulai!
Minggu lalu, piala nasional basket berhasil kudapat sehingga senin ini waktunya naik podium, bersama Narisa, Feby, dan jawara lainnya, untuk yang terakhir kalinya di semester akhir di kelas X.
“Berprestasi adalah sebuah demonstrasi yang menarik, sebuah cermin yang memantulkan semangat, energi positif, dan inspirasi bagi banyak orang,” kata Bapak Kepala Sekolah setelah penyerahan piala. “Lihatlah! Pada akhirnya, kebahagiaan akan menghampiri mereka yang bekerja keras.”
Beliau menambahkan dengan penuh semangat, “Bagi yang belum berhasil, teruslah berjuang. Jangan pernah menyerah. Kesuksesan biasanya datang setelah kegagalan. Jadikan setiap kegagalan sebagai batu loncatan menuju kemenangan berikutnya. Jika kau ingin menang, libatkan segala usaha. Kemenangan besar adalah hasil dari perjuangan panjang dan tak kenal lelah.”
Pak Jo menemui kami bertiga di sela-sela pembagian hadiah. Dengan wajah penuh pujian dan bangga, beliau berkata, “Kalian akan selalu menjadi juara yang dibanggakan. Seluruh sekolah harus tahu, Devian, Feby, dan Narisa adalah contoh nyata dari kehebatan!”
Kata-kata itu mengalir lembut di telinga kami, menegaskan bahwa perjalanan kami belum berakhir, dan masih banyak lagi yang harus dicapai. Aku menyadari betapa indahnya berada di sini, di tengah semua ini, dan betapa pentingnya perjalanan yang telah kami lalui.
Setelah naik podium, apa yang aku lakukan? Tentu berlatih lagi di lapangan basket indoor.
“Hey!” Seseorang berteriak dengan suara menantang dari balik pandanganku.
Lebih dari lima orang bertopeng, seluruh tubuhnya tertutup suatu jubah hitam. Ini pertanda buruk, otakku mengatakan untuk segera mencari jalan keluar.
“Kau tidak akan bisa lari!” Salah satu dari mereka -entah yang mana- berseru semakin mendekat.
Mengerikan! Mereka mengepungku dan membawa tongkat!
“Berteriak sekeras mungkin tidak akan ada yang menolongmu, Devian!” Salah satu dari mereka dengan suara lantang. Hoy-hoy mereka mengenalku rupanya.
“Kenapa hanya kau yang mendapatkan izin khusus untuk berlatih?!”
“Kau mempermainkan teman basketmu, kau hanya diam dan membiarkan mereka semua bekerja keras untukmu, teman macam apa kau ini?!!!” intonasi suaranya tinggi.
“Targetku dari dulu tidak berubah, yaitu dirimu seorang, Devian. Rekan-rekanmu yang cedera saat basket, itu semua hanya demi mengoper bola padamu!!!”
Mereka dari tim basket, kah?
“Inilah karmamu, agar kau bisa terus ada, rekan basketmu akan terus-menerus kelelahan berjuang dan kau akan terus membuat orang lain menderita.”
“Pernahkah kau berpikir, teman-teman basketmu melakukan hal seperti itu karena siapa?!”
Mereka berlima semakin mendekat, sekitar empat langkah lagi di depanku.
“Tidak bisakah kau memikirkan kawanmu yang bekerja keras? Kami muak dengan sikapmu!”
Takut? Tentu saja. Dag dig dug nggak karuan. Dari bentuk tubuh beberapa orang yang tinggi kekar, mereka terlalu besar jika dibandingkan denganku. Lari tidak akan menghasilkan apapun, yang ada, aku akan kehabisan energi. Melihat dari segala bentuk serangan ini, mereka pasti sudah memikirkan matang-matang atas penyergapan kali ini, aku bisa pastikan masih banyak rekan mereka yang berada di luar demi kelancaran rencananya. Sial, aku tidak punya kesempatan untuk kabur!
“Aku tidak ingin menyebabkan keributan yang tidak perlu. Bisakah kalian pergi sebelum kalian terluka? Jika kalian pergi, aku akan mengampuni kalian!” Aku mencoba berpura-pura menantang.
Mereka malah tertawa jahat.
“Memamerkan senjata sebelum pertarungan sama saja untuk segera kalah, kalian tahu itu, kan?” Aku mencoba meyakinkan diri melawan ketidakpastian.