1
Sebelumnya hidupku terasa begitu bebas. Aku bisa berlatih basket kapan pun aku mau, tanpa harus terkungkung di dalam penjara yang disebut kelas. Izin untuk berlatih selalu kudapatkan dengan mudah, cukup bilang ada kompetisi yang harus kuikuti. Tapi sekarang? Aku hanyalah siswa biasa, veteran tim basket yang sudah tak lagi diistimewakan.
Aku belum siap menjalani rutinitas seorang siswa ‘normal’ yang harus duduk di kelas sepanjang hari. Adaptasi ini terasa berat. Anehnya, aku justru lebih memahami pelajaran saat mengikuti kelas tambahan di siang hari dibanding saat berada di kelas reguler. Kelas reguler itu membosankan. Setiap orang di sini mungkin sepakat dalam hati bahwa pelajaran itu sesuatu yang membosankan. Mereka hanya memfokuskan pandangan ke depan, mendengarkan guru yang ceramahnya jelas-jelas bisa ditemukan di buku paket atau di banyak platform artificial intelligence (AI).
Pemandangan khas kelas—orang-orang menguap, mengantuk, dan gelisah, berharap bel segera berbunyi—tidak bisa dipungkiri. Begitulah setiap hari. Ted, si pianis berbakat di sekolah, juga tidak jauh berbeda. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya di kelas untuk tidur. Tidak ada yang bisa menghentikannya, karena anak berbakat memang diperlakukan spesial. Mau bagaimana lagi?
“Aku harus berlatih tujuh jam setiap hari agar tidak kehilangan kecepatanku,” kata Ted suatu hari, berbicara tentang kecepatan bermain pianonya. Dan alasan itu cukup masuk akal bagi semua guru untuk membiarkannya begitu saja. Aku tidak bisa protes. Aku sendiri dulu pernah merasakan perlakuan istimewa yang serupa. Hanya saja, sekarang, semua itu hanya tinggal kenangan bagi seorang veteran.
Mencoba berkali-kali membolos, mencari tempat yang sepi di atap sekolah atau sudut-sudut tersembunyi, berharap bisa menenangkan pikiran. Tapi sialnya, aku selalu tertangkap tim tata tertib sekolah. Devian, si pembolos amatir. Pengalamanku dalam hal ini benar-benar nol besar. Akhirnya, aku kembali ke kelas, terpaksa mengikuti pelajaran. Sial sekali!
Semua ini kuceritakan pada Levi, satu-satunya orang yang menurutku bisa memahami apa yang kurasakan. Kenapa harus Levi? Karena hanya dia yang setuju bahwa memilih untuk tidak punya banyak bersosial bukanlah sebuah bencana.
"Teman itu bukan oksigen, bukan air, bukan makanan," kata Levi suatu hari. "Hanya kebutuhan yang lebih rendah dari tersier." Ucapannya itu membuatku merasa dia sepemikiran denganku.
"Kau bisa pergi menenangkan diri ke Perpustakaan Tiga," kata Levi kemudian, suaranya penuh keyakinan. "Tempat itu tak pernah tersentuh siapa pun. Kau akan aman di sana. Tidak ada yang akan menemukannya, apalagi mengganggumu." Kata-katanya terasa seperti angin sejuk di tengah kegelisahanku. "Kita ini sama-sama jarang di kelas karena atletik, kan? Aku paham, menyesuaikan diri memang butuh waktu. Tapi saat kau sudah siap, cobalah kembali ke kelas dan belajar. Tapi untuk sekarang, nikmati dulu tempat persembunyianmu." Levi seolah tahu persis apa yang kubutuhkan saat ini.
Aku masih bingung, tentu saja. "Bagaimana dengan absensi? Kalau bolos terus, bisa gawat."
Levi tertawa kecil, memberikan jempolnya. "Tenang saja! Aku bisa menirukan suaramu. Beberapa kali bolos, aku jamin aman."
Dan dengan itu, aku merasa sedikit lebih lega. Setidaknya, ada satu orang yang bisa kumintai bantuan di tengah kekacauan ini.
Aku langsung bergegas pergi untuk ‘izin ke toilet’.
Melihat papan bertuliskan "Perpustakaan Tiga", seketika kenangan masa-masa pembuatan petisi itu berputar kembali di benakku. Siapa sangka, petisi itu akhirnya berhasil. Meski terpinggirkan di ujung gedung, ruang ini masih sama seperti dulu, saat tempat ini adalah laboratorium fisika—berdebu, dingin, tapi penuh kenangan.
“Narisa?!” gumamku, terkejut ketika pintu Perpustakaan Tiga terbuka dan sosoknya muncul di hadapanku.
"Oh, jadi kau, Dev!" katanya dengan senyum tipis yang penuh ejekan. "Sudah lama sekali, dan aku tidak bisa bilang senang bertemu denganmu."
Benar, Levi, kau benar. Berurusan dengan Narisa tak pernah sederhana. Sekarang aku paham mengapa kau selalu menyebutnya 'tak tersentuh'. Bukan hanya karena posisinya yang seolah selalu di luar jangkauan, tapi juga karena auranya—siapa pun akan merasa canggung berada di dekatnya.
Berurusan dengan gadis seperti Narisa, apalagi gadis yang begitu populer, hampir tak pernah membawa kabar baik. Banyak hal buruk yang bisa terjadi—perebutan, pertengkaran, bahkan fitnah. Dan Narisa, idola sekolah ini, mungkin tak terkecuali. Satu-satunya cara untuk bertahan dari drama seperti ini adalah memastikan dia tak pernah menaruh perhatiannya padamu.
“Aku tak paham,” kataku, mencoba tetap terdengar sinis. “Kenapa kau masih bertahan menjaga tempat seperti ini? Apa tidak ada hal lain yang lebih baik daripada menyendiri di sini, Narisa?”
Dia menutup bukunya perlahan, matanya menatap dingin ke arahku. "Siapa yang sebenarnya pengecut, Dev? Kau yang kabur dari latihan basket dan malah bolos di sini?"
Aku tertegun. Bagaimana dia tahu?
“Hey, Narisa,” suaraku melembut, mencoba mencairkan suasana, “sebagai tuan putri penjaga perpustakaan yang baik, apakah aku boleh duduk di sini? Dan sebagai tamumu, apakah aku bisa berharap secangkir minuman?”
Dia menghela napas singkat, lalu menjawab, “Menyedihkan sekali kau, Dev. Duduk saja kalau kau mau.”
Aku tersenyum tipis dan duduk di kursi berhadapan dengannya, dipisahkan oleh meja panjang. Suasana di perpustakaan ini begitu tenang—rak-rak buku yang penuh, kursi-kursi yang kosong, cubicle-cubicle sunyi untuk mereka yang mencari kedamaian dalam sepi.
"Mumpung aku sedang baik hati," Narisa berkata, menatapku dari balik bukunya, "kau mau minum apa?"
“Kopi,” jawabku tanpa ragu.
Dia mengangguk, lalu pergi sebentar. Tak lama kemudian, dia kembali dengan secangkir kopi di tangannya, disajikan di hadapanku. “Silakan diminum, kopi tanpa maksud tertentu dariku,”
“Ini jadi terdengar seolah ada maksud tersembunyi, dan aku mulai merasa tidak nyaman,” jawabku sambil mengernyit, meskipun tetap saja aku menyesapnya perlahan.
“Wah, kau benar-benar memegang gelasnya. Sekarang aku harus mencuci ini dengan apa?” ledeknya, senyum sinisnya terulas ringan.
Aku hanya menggeleng, tersenyum setengah. “Narisa, kau ini kan idola sekolah, tapi dengan sikap seperti ini... kau benar-benar punya teman, tidak sih?”
“Teman?” dia menatapku dengan ekspresi datar, keningnya berkerut tipis. “Apa itu teman?”
Aku tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana yang mulai terasa berat. “Kalau begitu bagus! Jika kau tidak paham soal pertemanan, setidaknya kau tidak akan menyusahkan orang lain, kan?”
“Aku muak dengan istilah ‘teman’,” katanya tanpa ragu, nada suaranya mulai merendah. “Aku tidak paham apa itu pertemanan. Kalau mereka benar-benar menyukaiku, bukankah itu seharusnya menyenangkan?”
“Apa maksudmu, Narisa?” tanyaku, bingung.
Dia menatapku sejenak, lalu menghela napas panjang. “Setiap kali ada PR, semua orang memohon padaku untuk datang lebih pagi, meminta jawaban dariku. Dan aku menurut. Tapi saat mereka mulai mengandalkan aku terus-menerus, aku mencoba menjauh. Dan tahukah kau apa yang mereka katakan? 'Kau bukan teman, nggak kompak, pelit!' Seolah-olah aku yang salah. Mereka tak paham betapa tersiksanya aku dengan dilema ini—antara membantu mereka dan menjaga PR-ku sendiri.”
Narisa terdiam sebentar, sementara aku hanya bisa menunduk, mendengarkan dengan seksama.
“Ketika belajar kelompok, aku harus mati-matian menjelaskan materi, sementara mereka hanya duduk pasif. Tapi ketika aku sedikit kesal, mereka bilang, ‘Yang pintar harus mengajari yang lain. Itulah arti teman.’ Teman macam apa itu?” Suaranya terdengar getir, seperti menyimpan banyak luka yang sudah lama dia tahan.
Aku hanya bisa mendengarkan. Dalam diam, kalimat-kalimatnya bergema dalam pikiranku.
“Saat ulangan, aku berharap guru menjaga ketat, tapi ada saja yang membiarkan contekan bebas beredar. Kalau aku tak memberi contekan, aku dibenci. Tapi kalau aku memberikannya, apa adil jika nilainya sama dengan mereka yang tidak belajar? Akhirnya, aku memilih untuk tak punya teman. Itu lebih baik.”
Aku merenung, menatap Narisa dalam-dalam. Gadis ini—idola sekolah—ternyata terperangkap dalam dilema yang tak pernah terpikirkan oleh banyak orang. Dulu, aku selalu berpikir dia tak punya teman karena dia berbeda; tapi ternyata dia sendiri yang memilih untuk tak memiliki teman, justru karena kemampuannya yang luar biasa. Ironis.
“Aku tak peduli lagi apa yang orang lain katakan,” lanjutnya, matanya menatap kosong ke depan. “Terutama dari seseorang yang bukan siapa-siapa, seperti kau, Dev. Aku merasa lebih berharga ketika bertindak sesuai kemauanku sendiri, dan aku menikmatinya.”
Aku menyesap kopi, merasakan kehangatannya yang samar. Narisa, gadis yang selalu kubayangkan sebagai sosok yang tak tersentuh, ternyata menyimpan begitu banyak pergulatan dalam dirinya.
“Syukurlah, Narisa,” kataku akhirnya. “Kau ternyata tidak pernah berubah.”
“Berubah?” Matanya melebar, menatapku tajam. “Apa maksudmu?”
“Pertama, kau masih….” Aku sengaja menggantungkan kalimatku, membuatnya penasaran.
“Masih apa?” tanyanya dengan nada yang lebih lembut.
“Masih perempuan.”
Dia mendengus, kesal, tapi senyum kecil muncul di bibirnya. “Terus, apa yang kedua?”
“Masih perempuan yang menjengkelkan.”
Narisa menatapku, lalu tertawa kecil, tawa yang jarang kutemukan darinya. Di antara suasana sunyi perpustakaan dan secangkir kopi yang mulai dingin, rasanya kami berdua untuk sesaat melupakan segala ketegangan yang biasanya menyelimuti.
Narisa melemparku dengan gumpalan kertas, tapi aku berhasil menghindar tepat waktu.
“Narisa, si siswi yang mendapat nilai sempurna di semua mata pelajaran.” Aku terkekeh, mencoba memancing reaksinya.
Dia menyipitkan mata, seolah menilai setiap gerakku. “Kenapa kau tahu sebanyak itu? Jadi selama ini... kau... menguntitku?”