1
Ini yang disebut surganya penyendiri. Perpustakaan tiga memberikan segalanya hari ini, teh buatan Narisa ditambah roti bakar yang dibuatnya sendiri. Banyak buku-buku novel, dari yang lama hingga yang terbit baru-baru ini.
Ada sensasi menyenangkan membaca novel-novel remaja fiksi yang tak masuk akal. Hanya karena tertabrak sepeda motor, mereka bisa berpacaran. Atau, karena tak sengaja menabrak mahasiswi yang membawa buku, sang pemuda menolong, lalu mereka jadian. Kalau tabrakan-tabrakan kecil bisa menyebabkan orang jadian, mungkin seluruh cowok di sekolah ini akan sengaja menabrak apapun demi mengakhiri nasib jomblo mereka.
“Dev, aku mau berhenti ikut olimpiade,” suara Narisa tiba-tiba memecah keheningan. Dia menepuk pundakku, berdiri di sampingku yang sedang membolak-balik halaman buku.
“Bagus!” sahutku, masih fokus pada buku, sambil menyesap kopi. Aku sengaja memilih duduk di sudut cubicle ini, jauh darinya. Mencari tempat terpojok, menjaga jarak.
“Mengapa kau tidak mengatakan ‘jangan!’ sambil berlutut memohon padaku?” sindirnya, nada suaranya sedikit menggoda.
Aku tetap memandang novel yang ada di depanku, sengaja untuk membiarkannya.
“Dev, aku serius, loh!” Dia berbicara lagi, kali ini lebih serius, seolah keputusannya ini akan berdampak besar padaku.
“Ya itu urusanmu, Narisa. Keputusanmu tidak ada hubungannya denganku.”
Dia terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, “Kalau aku berhenti ikut olimpiade, perpustakaan ini akan sepi, loh.”
Aku memutar kursiku, menatapnya. “Bukankah itu semakin baik buatku? Aku bisa menguasai tempat ini tanpa ada yang mengganggu.”
“Hmm,” gumamnya, berpikir. “Kalau aku berhenti, perpustakaannya mungkin tidak bisa dibuka lagi. Aku kan yang merawat, menjaga, dan membawa kuncinya.”
Kabar buruk. Jika itu benar, semua rencanaku untuk menikmati waktu kesendirian di sini akan berantakan.
“Aku bisa ke sini sekarang karena kompetisi belum mulai. Tapi kalau sudah dimulai, aku bakal sibuk lagi. Oh, apa kau tidak takut kehilangan kopi, biskuit, roti bakar, dan teh di sini?”
Sekarang aku mulai berpikir. Kalau perpustakaan ini tutup, aku tidak akan punya tempat untuk membolos. Hidupku akan jadi jauh lebih menyebalkan. Kalau aku seperti orang lain, permintaan dari idola sekolah seperti Narisa mungkin sudah kuterima tanpa ragu.
“…”
Aku berdeham, menatapnya yang sedang duduk bersandar dengan dagu ditopang tangan. “Jadi, apa yang harus kulakukan untuk menyelamatkan semua ini, Narisa?”
“Pahami situasinya, sebentar lagi Vania, rekan timku akan datang.”
“Apa yang ha …”
“Kau harus menghentikannya mengajakku ikut olimpiade,” jawab Narisa cepat, seperti dia tahu apa yang ada di pikiranku. “Aku akan kembali ke tempatku.”
Dia pergi dengan cepat dan mengambil posisi di samping kanan agak jauh dari cubicle-ku, aku kembali ke posisiku.
Di antara buku-buku dan rak-rak yang sunyi, ada seseorang berjalan mendekati Narisa. Tinggi, cantik, dengan rambut ponytail dan kacamata, persis seperti sekretaris di film-film. Langkahnya pelan, penuh percaya diri.
Aku berpikir, kenapa tidak mencoba sesuatu?
Saat gadis ponytail itu mendekati Narisa yang duduk, aku bangkit dan langsung menghampiri. “Narisa, novel lama tentang kemerdekaan ada nggak?”
Narisa mengangguk tanpa ragu.
“Kalau ada, bisa tolong ambilkan?” ucapku santai, seolah aku bos di sini.
Narisa berdiri dan pergi begitu saja, mungkin benar-benar mencarikan buku yang kuminta. Sementara itu, sebuah pukulan ringan mengenai kepalaku. Aku menoleh. Si gadis ponytail, dengan sebuah buku di tangannya, menatap tajam.
“Kenapa kau seenaknya menyuruh Narisa begitu saja? Tunjukkan rasa hormatmu! Narisa itu idola sekolah, pemenang olimpiade matematika, fisika, debate competition—
Aku tidak mendengarkan lebih lama. Melangkah pergi, menemui Narisa yang datang dengan sebuah buku di tangannya, dari balik rak.
“Hmm, mungkin buku tentang puisi lama juga bagus, Narisa,” ucapku lagi.
Narisa tersenyum, menyerahkan buku yang sudah didapatkannya, lalu berbalik lagi, mencari buku lain.
“Apa kau mendengarkan aku?!” itu suara si gadis ponytail yang marah.
“Biarkan saja, Vania,” Narisa senyum manis. Hmm jadi namanya Vania. Aku catat namanya baik-baik dalam memori.
“Tapi jika dia memerintahmu seperti itu, tentu membuat malu basecamp!” Vania membentak-bentak.
“Saat ini posisiku hanyalah petugas perpustakaan, Vania,” Narisa mengatakannya dengan tenang.
“Tapi, idola sekolah bukan cuma keinginanmu, Narisa. Itu keinginan dunia. Kalau kamu diperlakukan seperti ini, bagaimana semua siswa di sekolah memandangmu?” Nada suara Vania terdengar penuh kekhawatiran, tapi Narisa hanya tersenyum menanggapinya.
Tanpa banyak bicara, Narisa melewati Vania, menepuk pundaknya lembut.
Aku, di sisi lain, menyembunyikan senyum puas. Kapan lagi aku bisa menyuruh-nyuruh Narisa seperti ini? Aku kembali duduk di cubicle-ku, dan tak lama kemudian Narisa duduk di sebelahku, diikuti Vania yang duduk di sebelahnya.
“Narisa, ayo ikutan olimpiade!” kata Vania.
Narisa menatapku dengan senyum penuh semangat. “Aku sudah mendaftar dengannya,” ujarnya sambil menunjuk ke arahku. Kejam. Dia membuat keputusan itu sepihak tanpa bertanya padaku.
“Kau bisa mendaftar dengan orang lain, kan?” kata Narisa dengan nada lembut. “Nanti kita bisa bertemu di final.”
Hening sejenak. Aku hanya fokus pada buku-buku yang baru saja dibawakan Narisa. Rasanya lebih aman berpura-pura tidak peduli.
“Jadi inikah yang kau inginkan, Narisa?” kata Vania dengan nada sedikit kesal.
“Ayo kita bertanding bersama, Van!” suara Narisa tampak tetap menyenangkan.
“Inikah alasanmu tidak datang ke basecamp?”
“…”
“Tapi, aku tidak akan segan-segan untuk menghacurkanmu, membawa orang seperti dia tidak mungkin membuatmu menang, dia tidak berpengalaman. Mana mungkin dia bisa cocok denganmu, kan?”
Itu kata yang menjengkelkan bagi seseorang yang baru saja bertemu dan tidak dikenal. Apalagi dia mengatakannya tepat saat ada aku di sini.
“Di pelajaran fisika, dia juaranya,” Narisa menjawab dengan nada yakin. “Lagipula, semakin banyak tim hebat, peluang sekolah kita menang makin besar. Sepuluh tim yang dibina sekolah, dan dua di antaranya tim kita. Bukankah itu luar biasa?”
“Mengapa kau meninggalkanku? Apa salahku?” Suara Vania naik satu oktaf. “Bukankah kita berjanji akan terus bersama?”
Narisa tetap tenang. “Ada banyak hal yang belum kumengerti tentangmu. Mungkin, dengan bertanding, aku bisa memahamimu lebih baik.”
“Aku kecewa padamu, Narisa. Kenapa kau memutuskan untuk bersama Devian, yang hampir dikeluarkan dari sekolah karena masalah pertarungan?” Nada suara Vania berubah tajam, seolah dia benar-benar marah.
Ini informasi yang baru aku tahu, aku mau dikeluarkan dari sekolah? Dan mengapa aku mau dikeluarkan, aku korbannya, kan?
“Aku kecewa padamu, Narisa. Kenapa kau memutuskan untuk bersama Devian, yang hampir dikeluarkan dari sekolah karena masalah pertarungan?” Nada suara Vania berubah tajam, seolah dia benar-benar marah.
“Kita ini pemain olimpiade, kan? Mari kita selesaikan semuanya lewat olimpiade,” jawab Narisa dengan lembut, namun tegas.
“Aku akan menghancurkanmu, Narisa!” bentak Vania dengan nada kesal, penuh amarah.
“Sebelumnya, maukah kau mengisi kertas harapan ini? Kau telah berjuang keras, berlatih menghabiskan worksheet. Aku menyediakan tempat di mana siapa pun bisa menempelkan kertas harapannya,” kata Narisa sambil menyodorkan secarik kertas berwarna merah. Tempat itu mungkin berada di sudut tenang perpustakaan ini, dinding penuh coretan harapan yang tertulis dari tangan-tangan orang asing.
Terdengar pintu tertutup secara keras, setelah ku lihat, Vania sudah menghilang.
“Hebat, kau memanfaatkan momen untuk membalas dendam, ya?” Narisa bertepuk tangan pelan, senyum sinis tersungging di bibirnya. “Menyuruhku mengambil buku saat ada orang lain, luar biasa!”
Ternyata ketahuan, ya?
“Kau tidak ingin menulis sesuatu di kertas permohonan ini, Dev?” tanya Narisa lagi, masih dengan senyum setengah mengejeknya.
“Baiklah,” jawabku malas, sambil menerima kertas merah itu.
“Terima kasih ya, untuk yang tadi.”
“Terima kasih untuk apa, Narisa?”
“Kau sudah berakting bagus sebagai manusia yang tidak berguna,” ujarnya dengan nada tajam, tiba-tiba berubah menjadi sosok Ratu Es yang dingin. Aku tetap diam, berusaha memikirkan sesuatu untuk kutulis di kertas permohonan itu.
“Kau tidak akan menulis: ‘Narisa menembakku waktu kelulusan’ kan, Dev?”
Aku menghela napas. Entah bagaimana, Narisa masih bisa bertingkah seperti biasa, meski di saat sebelumnya dia begitu lembut dan perhatian. Sekarang, dia kembali ke sifat aslinya, songong dan penuh tipu daya.
“Sejak kapan itu menjadi impianku, Narisa?” balasku, menyerahkan kertas permohonan yang sudah kutulis dengan kalimat: “Aku ingin tidak terobsesi dengan apapun, by Devian.”
“Aku tidak mengerti, apa aku harus kagum atau bingung. Kau benar-benar aneh,” komentarnya sambil menepuk-nepuk meja dengan bolpoin di tangannya. “Kau dan Vania sudah menulis sesuatu, sebaiknya aku menulis juga.”
Dia menulis sesuatu pada kertas berwarna, lalu menggantungnya di dinding papan harapan. “Sudah ada tiga kertas permohonan, semoga selanjutnya lebih banyak yang mengisi di papan ini!” katanya, berharap.
Beberapa saat kemudian, Narisa menengadahkan tangannya, tampak berdoa untuk harapan-harapan yang tergantung di sana. Suasana perpustakaan jadi begitu lengang. Aku bisa saja menghabiskan waktu seharian di sini dengan tenang. Namun, beberapa jam kemudian, seorang siswi masuk. Narisa melayaninya dan berbicara berdua di meja tengah. Terlalu jauh dari cubicle tempatku untuk mendengar percakapan mereka.
Tidak ada pesan masuk dari Levi, yang berarti kondisi di kelas masih terkendali, aku tidak perlu untuk hadir. Entah, alasan apa yang digunakan Levi untuk membuat guru percaya tentang mombolosku sekarang.