1
Kekalahan Narisa jelas menjadi keuntungan besar bagiku. Tidak mungkin ada guru yang repot-repot mencari manusia sepertiku di perpustakaan tiga yang sunyi dan tak tersentuh ini. Bahkan Levi mendukungku, "Yang penting, kau harus hadir saat penilaian, Dev!"
“Apa rasanya kalah, Narisa? Reputasimu sebagai idola sekarang pasti sudah hancur!” cibirku pada Narisa yang duduk di hadapanku, menyeruput teh dengan santai. Kami ada di perpustakaan tiga saat jam pelajaran. “Eramu sudah berakhir! Sekarang, aku bisa bebas di sini tanpa gangguan.”
Narisa menatapku, senyumnya tipis tapi matanya heran. “Memangnya kapan eraku dimulai? Kau bahkan nggak pernah memikirkan perasaanku ketika aku kalah. Hebat sekali, Dev.”
Aku tertawa kecil. “Buat apa aku peduli perasaanmu?”
“Hei, aku ini juara nasional tahun lalu, idola sekolah,” katanya sambil menunjuk dirinya sendiri dengan bangga.
Aku mengangkat bahu, acuh tak acuh. “Aku nggak peduli. Dan aku juga nggak tertarik, Narisa.”
“Luar biasa!” katanya dengan senyum lebih lebar. Tapi ada sesuatu di balik senyumnya, sesuatu yang membuatku waspada.
“Kau benar-benar mendengarkan, kan? Bukannya aku sudah cukup kasar barusan?”
“Menakjubkan,” jawabnya. “Satu-satunya orang di sini yang bisa kucemooh adalah kau, Devian. Kau bahkan tidak sadar kalau kau sudah kalah. Mudah dibohongi, mudah dikendalikan dengan sedikit tipuan.”
Dia menyeruput tehnya lagi, dan senyumnya semakin lebar, seolah menikmati kemenangan yang baru saja diraihnya.
“Kau kalah kali ini, Dev,” lanjutnya dengan nada mengejek. “Kau pikir kalau aku menang, kau bisa menggunakan ruangan ini sesuka hati, kan? Sebenarnya, kaulah yang terperangkap di sini.”
Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. Ada yang salah, ada sesuatu yang tak terucapkan di balik kalimatnya.
“Sekarang aku kalah, aku hanya siswa biasa. Aku nggak boleh keluar kelas sembarangan,” katanya sambil menatapku, ada cahaya licik di matanya. “Aku cuma bisa ke perpustakaan ini sepulang sekolah atau jam istirahat. Sekarang, kau yang terjebak dalam permainan ini, Dev.”
“Jadi itu semua hanya….”
Narisa mengangguk, senyumnya masih terjaga. “Benar sekali. Jika besok aku keluar kelas, aku akan dimarahi guru. Tidak ada surat izin belajar untukku lagi. Kaulah yang terjebak sekarang.”
“…”
Aku terbelalak, merasakan dingin menyusup ke dalam dadaku. Aku kalah. Kalah telak.
“Narisa!!!” seruku, tak bisa menahan amarah. Dia malah tertawa, tawa yang panjang dan jahat, seolah menikmati kekalahanku yang baru saja disadarinya.
“Kau memang berbakat, Dev,” katanya sambil menatapku.
“Maksudmu?” tanyaku curiga.
“Kau punya bakat mudah tertipu,” jawabnya, tertawa lebih keras. “Kau bukan hanya payah, kau payah sekali!
Aku langsung teringat kata Levi. “Narisa yang misterius itu menarik, Dev. Gerakannya tidak bisa ditebak, itulah sisi hebatnya, yang membuat semua cowok terpesona padanya.”
“Narisa, kau lebih busuk dari yang kubayangkan,” kataku dengan nada rendah, heran sekaligus kagum.
“Cukup menyenangkan untuk membodohimu secara tidak langsung,” katanya sambil menunjukku di depan wajahku. Aku langsung memberikan jempolku, refleks pikiranku langsung memberikan jempol, pertanda telunjuk kalah dengan jempol.
“Hey, itu curang!” kata Narisa kesal.
“Kaulah yang curang!”
“Bukankah, kau yang mengajariku untuk bermain seperti ini?” kata Narisa.
Heh, Aku?
“Kau menghancurkan orang yang berusaha keras di lapangan basket dengan gaya bermainmu. Kau menembak dari sudut mana pun dan masuk begitu saja,” lanjutnya, suaranya penuh percaya diri.
Aku tersenyum tipis. “Melihat orang yang lebih bodoh dari aku memang menyenangkan, Narisa.”
“Lebih menyenangkan lagi membuatmu kalah dalam permainan ini,” balasnya cepat. Nada songongnya jelas terdengar.
Narisa di depanku ini berbeda. Tidak ada lagi Narisa tiga atau empat tahun lalu, yang datang dengan malu-malu mengaku tidak punya teman, merasa payah di semua pelajaran. Sekarang, dia mengendalikan segalanya sesuai keinginannya. Dan aku... aku hanya pion yang terjebak dalam permainannya.
“Aku suka permainan hidup semacam ini, Dev!” katanya tiba-tiba, sementara aku masih tercengang. Dia tersenyum seolah baru saja memenangkan piala Oscar.
Sifatnya yang tak terduga, penuh tipu muslihat, selalu membuatku penasaran. Bagaimana sebenarnya kondisi sosialnya?
“Hey, Narisa. Apa benar semua orang mencintaimu, atau hanya Vania yang mengerti dirimu?”
“Itu lucu. Tentu akan menyenangkan jika semua orang mencintaiku, termasuk Vania. Tapi kau bisa simpulkan sendiri, dari caranya bicara padaku, kan?”
Aku terdiam. Berusaha memahami lebih dalam.
“Apa kau benar-benar tidak menangkap semua yang Vania katakan kemarin? Bukankah sudah sangat jelas apa yang dia inginkan dariku? Aku hanya berusaha membuatnya merasa nyaman, supaya dia bisa mengungkapkan isi pikirannya dengan jujur.”
“Apakah kau tidak menyimak? Percakapan itu begitu jelas, Dev. Sangat jelas. Aku berusaha keras agar dia merasa cukup aman untuk bicara, agar dia mau membuka seluruh isi kepalanya.”
Dia memutar matanya, menghela napas dengan kesabaran yang terasa ganjil. “Aku benci mengulang hal yang sama dua kali.”
Bagaimana dia bisa sesantai ini saat bersamaku? Apakah aku masih dianggap teman masa kecilnya? Bagaimana, mengapa dia bisa mengatakan hal yang bebas dan mengerikan di depanku, sedangkan dia cenderung menyenangkan dan membuat siapapun nyaman berada di dekatnya?
“Dev, ini hari terakhir kau bisa membolos di sini, kau tetap bisa mengunjungi Perpustakaan Tiga saat istirahat atau pulang sekolah,” katanya so cool.
“Aku mengerti.”
“Aku ingin kau membantuku kali ini. Aku punya permainan lagi.” Nada suaranya tak terbantahkan, seakan sebuah putusan akhir telah dijatuhkan. “Kita ketemu sepulang sekolah.”
“Hah!” Tentu aku kaget, nadanya seperti menjatuhkan putusan.
“Aku Narisa. Idola sekolah, mengalahkanmu dalam dua kali permainan kehidupan. Kau tidak seharusnya membuatku merasa malu karena sudah meminta-minta padamu. Setiap pertandingan itu ada risikonya, kau tidak bisa mengelak untuk menolak ajakanku.”
Aku hanya terdiam, terpaku. Mulutku ingin berkata, tapi tak satu pun kata keluar.
“Aku ingin mengakuinya, ada banyak hal yang ingin aku selesaikan denganmu,” Dia menatapku meyakinkan. “Maksudku, lebih tepatnya ini hanya bisa diselesaikan denganmu. Bukan keahlianku menjelaskan semua dengan kata-kata, bukankah sudah jelas pertemuan beberapa tahun lalu di rumah Feby, pertemuan di podium, bagaimana aku melakukan semuanya denganmu?”
“Ba-baiklah, Narisa,” jawabku, meski rasa takut dan panik menguasai diriku.
Dia tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang, seakan semua beban hidupnya bisa ia lepaskan dengan satu hembusan itu. “Aku harap telingamu tidak gatal mendengar ini,” ucapnya sembari menyeruput tehnya. Tangannya perlahan menata anak rambutnya ke belakang telinga, sebuah gerakan sederhana, tapi penuh arti. “Untuk sementara ini… hanya kau… yang bisa kupanggil teman.”
Aku langsung menggaruk-garuk telingaku (yang tidak gatal). Benarkah?
“Aku minta bantuanmu, temanku,” Dia mengatakannya dengan polos. Aku menggaruk-garuk telingaku keras. Ini menggelikan.
Dengan suara mantap, meski agak terpaksa, aku berkata, “Baiklah, selanjutnya aku akan mengalahkanmu, Narisa!”
Dia tertawa kecil, sebuah tawa yang anehnya tak membuatku tenang. “Tentu saja, Dev. Bermain sendirian dalam permainan hidup ini tidak pernah menyenangkan. Harus ada yang kalah, dan harus ada yang menang. Aku akan terus memenangkan permainan ini.”
Kami berdua menaiki motor, menuju suatu tempat yang diinginkan Narisa. Kenapa harus naik motor? Karena ini pengintaian. Kami akan mengikuti seseorang seperti detektif hanya dengan insting dan rasa penasaran.
“Tempat apa ini?” tanyaku, setelah kami berhenti di sebuah kawasan perumahan elit di tengah kota. Langit mulai berubah warna, sore menjelang malam, meninggalkan bayang-bayang panjang di aspal.
Narisa menatap lurus ke depan, wajahnya penuh ketegangan. “Aku butuh wajah bantuanmu kalau terjadi sesuatu. Laki-laki yang ada di sana...” Dia mengarahkan dagunya pada seorang pria yang sedang turun dari mobil bersama seorang wanita. “Dia tunangan Kak Rika, kakakku. Kita harus memergokinya. Aku tidak bisa membiarkan kakakku mendapatkan pria brengsek seperti dia.”
Kata-katanya menusukku, tapi di saat bersamaan pikiranku bercampur aduk. Apa urusanku dalam masalah ini? Kenapa aku harus ikut?