NARISA

Mukhlis Hidayatulloh
Chapter #7

Enam

1

Saat izin ke toilet untuk berniat membolos, aku pergi ke perpustakaan tiga. Terkunci, aku tidak memiliki tempat membolos lagi. Sial, aku benar-benar terjebak dalam permainan Narisa!

Dua tahun tersisa di sekolah ini, aku benar-benar tak ingin semuanya berakhir dengan rutinitas yang membosankan. Duduk di kelas, mendengarkan guru berbicara panjang lebar tentang materi yang bahkan tak penting untuk hidup. Aku tak ingin jadi bagian dari jutaan manusia yang menjalani hidup seperti itu. Tidak. Jika begini terus, aku akan berakhir seperti mereka.

Ted, si jagoan piano, tampaknya juga begitu. Setiap kali aku melihatnya di kelas, ia tertidur dengan tenang, matanya hampir tak pernah terbuka untuk menyimak pelajaran. Sementara Levi, dengan wajah bersemangat, selalu mengangkat tangan, seolah hidupnya bergantung pada menjawab pertanyaan guru. Lalu ada Fir, si kutu buku olimpiade biologi, yang duduk tegak dan serius. Dia mungkin sudah menghafal setiap kata yang keluar dari mulut guru. Sementara aku? Hari-hariku terasa lamban, membosankan. Satu-satunya hal yang kutunggu hanyalah suara bel pulang, momen yang selalu kurasakan sebagai kebebasan.

Aku merindukan permainan basket. Adrenalin yang mengalir saat melihat lawan menyerah, saat tembakanku selalu masuk tanpa ampun. Melihat wajah putus asa mereka yang seolah meronta-ronta dalam kekalahan, itu momen terbaikku di dalam hidup.

 

Bel pulang akhirnya berbunyi. Ted, yang masih terlelap, tampak tak terganggu sama sekali. Ini kesempatan yang bagus untuk sedikit bersenang-senang.

“Hoy Ted, bangun!!! Apakah kau masih hidup?” Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya yang sedang tertidur pulas setelah bel sekolah berbunyi. Sepertinya dia kelelahan.

“Hoah... hujan... hujan! Ada hujan!” Ted teriak sambil mengusap wajahnya, bingung karena aku meneteskan air ke wajahnya. “Hentikan, jangan!”

Aku yang kaget langsung menghentikannya.

“Pelajaran biologinya sudah selesai?” tanyanya sambil mengucek mata.

“Ya, lebih dari seribu tahun yang lalu,” kataku dengan meyakinkan.

“Seribu tahun? Hah? Kau seharusnya sudah mati!” kata Ted dengan suara nyaris khas orang kaget.

“Benar, aku hanyalah android, kau sudah tertidur seribu tahun karena pingsan.”

“Lantas apa yang terjadi pada bumi?” tanya Ted gemetaran sambil berdiri tiba-tiba.

“Setelah Armageddon, bumi musnah,” kataku cepat.

“Benarkah? Maafkan aku Bapak Ibu karena masih belum menjadi orang yang memenangkan kompetisi meskipun sekarang aku hanya bersama android!” kata Ted dengan sedikit nada menyesal.

Aku menghajar kepalanya. “Bangun, Ted!”

“Huah, android memukulku!”

“Aku benar-benar tidak percaya kalau kau benar-benar percaya,” kataku heran.

“Kau berbohong?” Ted tampak bingung.

“Kau percaya?” Aku heran, otaknya mungkin lagi error.

Dia sudah bangun, dan aku langsung pergi, bukan tugasku untuk menemani laki-laki yang sedang sendiri di kelas.

“Tunggu!” teriaknya tidak tahu pada siapa. Tapi sepertinya padaku. Aku berpura-pura tidak tahu, tetap melangkahkan kaki ke luar kelas.

“Aku ingin meminta tolong padamu!” tiba-tiba dia ada di depanku. Teleport-kah? Bukan. Dia hanya lari. Anehnya, tangannya bergerak seperti memainkan tuts piano.

“Tolong dengarkan aku!” Ted berteriak, napasnya tersengal-sengal, meskipun aku hanya berjalan beberapa langkah dari kelas. Suaranya nyaris putus asa, tapi aku masih terus melangkah, berusaha mengabaikan. “Jangan tanya kenapa kau harus mendengarkan! Siapa lagi yang mau peduli dengan masalah orang-orang seperti kita, kalau bukan kau, yang juga sama-sama berbakat?”

Kata-katanya menusuk. Dia benar. Tak semua orang mengerti tentang beban di balik apa yang disebut 'bakat.' Orang-orang di luar sana hanya melihat hasil akhir. Mereka tidak pernah melihat perjuangan di baliknya. Dan mungkin mereka juga takkan pernah mengerti.

“Kamu kan jawara, mengapa tanya pada kami yang tidak bisa apa-apa?”

Aku hanya ingin mengganti hari ini yang telah membuatku bosan dengan segera pulang ke rumah untuk menghabiskan waktu di kamar, sehingga aku menjawab yakin: “Aku mau pulang!”

“Apa kau butuh alasan logis untuk menolong seseorang?” katanya, sementara tangannya terus bergerak-gerak di udara, seolah memainkan tuts piano yang hanya ada dalam pikirannya.

Aku mendesah, “Kau salah orang. Minta tolong saja pada Levi, dia pasti dengan senang hati membantumu.”

Ted menatapku, kali ini lebih serius. “Ini soal Feby. Dia yang minta kau menolongnya. Kau kan yang mengenalkannya ke aku dulu. Hingga akhirnya kami bisa bermain bersama.”

Aku terdiam. Itu benar. Aku yang membuatnya mengenal Feby, pemain biola berbakat yang sering bersembunyi di ruang musik satu. Kala itu, aku hanya asal menyarankan Ted untuk mencarinya, tanpa tahu bahwa mereka akhirnya menjadi duet dalam kompetisi musik. Tapi, aku tak pernah benar-benar paham hubungan mereka. Atau mengapa Feby memilih Ted sebagai partnernya.

“Apa aku terlihat seperti orang yang mau menolongmu?” tanyaku, lebih untuk mengusir Ted daripada benar-benar mengharapkan jawaban.

Tapi Ted tidak menyerah. “Aku akan membuatmu mau. Aku akan membuatmu mendengar semua ini!”

Aku melangkah melewatinya, berharap dia akan berhenti. Namun, dia malah berjalan di sampingku, tetap bersikeras.

“Kau tak percaya? Lihat ini,” katanya sambil mengeluarkan ponsel dan menyorongkannya ke wajahku. “Feby mengirim pesan suara untukku. Aku berjanji memutarnya untukmu.”

 

Aku mendengus, tak peduli, dan terus berjalan.

Ted semakin tak sabar. “Dengar! Ini pesan dari Feby! Aku yakin kau pasti mau mendengarnya.” Sebelum aku sempat menolak, dia memasangkan headset besar di telingaku. Headset yang ukurannya seperti untuk pilot pesawat. Aku tak punya kesempatan menghindar.

“Dev, kau tak mau mendengar gesekan biola terindah dalam hidupmu, kan?” Ini suara Feby yang ada di Headset. Aku tahu yang dia maksud. Gesekan ‘terindah’ itu mungkin lebih mirip suara yang bisa membuat gendang telingaku hancur.

Apa? Kau mau mendengarnya di sini, baiklah, lima, empat …,” Sial! Ted tidak melepaskan kedua tangannya untuk menahan headset yang terpasang di telingaku. Dia juga memegang kendali suara di ponsel yang ditaruh di saku depan. “tiga…,”

“Lepaskan headsed-nya, Ted!” kataku hampir membentak sambil berusaha keras melepas tangannya yang berada di telingaku. “Lepaskan!”

“Dua…, sa….” Aku berhasil menepis tangan Ted, berhasil melepas headset di telinga.

Dengan satu hentakan, aku berhasil melepaskan headset dari telingaku. Nyaris saja. Dari headset itu keluar suara nging yang memekakkan telinga. Kalau saja aku terlambat satu detik, telingaku bisa rusak.

Aku menatap Ted, yang masih saja tampak tak peduli dengan kekacauan ini. Dia hanya tersenyum lebar. “Sekarang dengar, Dev... soal Feby…”

“Cukup! Aku tidak peduli.” Aku menyela tajam, mencoba mengakhiri pembicaraan ini.

“Tapi, Feby meminta tolong padamu. Apa kau tidak akan menolongnya?”

Aku menatap Ted dengan bingung. Bagaimana bisa dia yakin aku akan menolong hanya karena Feby memintanya? Kenapa harus aku? Apakah aku begitu bodoh hingga mau menuruti permintaan hanya karena hubungan masa lalu, atau karena Feby adalah sosok manis yang sulit untuk ditolak?

Ted tiba-tiba gemetar. Suaranya berubah lirih, “Dev... sekarang Feby...”

“Tunggu, jangan katakan apapun sekarang,” Aku segera memotong kalimatnya, jurus memohon dan memelas seperti yang Ted lakukan semacam ini selalu berhasil, mungkin karena Tuhan memberikan rasa nggak enakan.

Tapi, mendadak terlintas di pikiranku. Seseorang yang selalu menerima semua orang dengan senyum tulus. Seseorang yang akan menolong siapa pun yang terjebak dalam kesulitan, tanpa menuntut imbalan apa pun. Aku jadi tahu siapa yang bisa mendengar keluhan Ted ini.

“Akan lebih efisien kalau ada dua orang berbakat yang mendengarmu, bukan cuma aku,” lanjutku, sambil mencoba menyembunyikan senyum licik.

Ted menatapku bingung. “Ke mana maksudmu?”

Aku sengaja memperlambat jawabanku, memberi jeda sejenak untuk menambah efek dramatis. “Seseorang yang cantik dan... dia jomblo.”

 

Kami memasuki perpustakaan tiga, tempat yang sering sepi, tapi aku melihat Narisa di meja resepsionis, tenggelam dalam sebuah buku tebal. Dia menepati janjinya, Perpustakaan Tiga selalu ada saat jam pulang sekolah.

“Selamat datang!” Narisa menyambut kami dengan senyuman cerah yang seperti menyapa pelanggan di toko. “Devian, Ted, ada yang bisa kubantu?” Dia menunjuk ke arah buku tamu, dan kami segera mengisinya.

Perubahannya sungguh menakjubkan. Biasanya dia seperti Ratu Es di depanku, dingin dan tak terjangkau. Tapi kali ini, di depan Ted, dia tampak seperti malaikat tak bersayap.

“Atau mungkin, kalian ingin kubuatkan sesuatu?” tawarnya dengan nada ramah.

“Kalau begitu, teh hangat,” jawabku cepat tanpa berpikir.

Ted menyikut lenganku, “Hoy, Dev!” nada protesnya jelas, tapi aku tidak peduli.

Narisa hanya tersenyum tipis dan berkata, “Akan kubuatkan segera. Silakan duduk dan nikmati suasana.” Dia berbalik, pergi dengan langkah ringan.

“Narisa ternyata berbeda dari bayanganku. Aku pikir dia bakal lebih dingin dan tak tersentuh,” bisik Ted sambil kami duduk di kursi yang terletak dekat jendela.

Aku hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa.

“Tapi, bagaimana kau bisa tahu tentang Narisa? Dia kan idola yang nggak sembarang orang bisa dekat,” Ted tampak penasaran.

“Asal kau tahu, teh dan makanan yang akan dibawakannya sangat enak, kau akan kecanduan jika kau menikmatinya,” jawabku. “Jika kau sudah berteman dengannya, kau tahu apa untungnya, kan?”

“Benarkah?” kata Ted heran. “Kalau dipikir-pikir dia nggak cocok denganmu,”

Aku menatapnya tajam, “Kenapa nggak cocok?”

Ted menyunggingkan senyum jahilnya. “Dia rajin dan pintar, sedangkan kau...”

Aku menunggu kelanjutan ucapannya, tahu bahwa pasti ada sesuatu yang menyebalkan akan keluar dari mulutnya.

“Anti sosial, tak berperasaan, kejam, dan... menjijikkan.”

Kata yang terakhir itu—serius, Ted? Harusnya aku sudah memukulnya sejak tadi, tapi kali ini aku biarkan saja.

Narisa kembali, membawa nampan berisi teh dan camilan. Dia meletakkannya di meja dengan anggun.

“Terima kasih banyak, Narisa,” ucapku datar, mencoba menjaga wajahku tetap tenang.

Ted mencicipi teh itu dan matanya langsung melebar, “Enak banget!”

Narisa tersenyum, “Terima kasih, ini pertama kalinya kau datang ke sini, ya, Ted?”

Ted mengangguk, “Dulu sering ke sini waktu masih jadi laboratorium fisika untuk praktikum. Sekarang berbeda ya, lebih nyaman.”

“Aku senang banyak yang mulai datang. Suatu kehormatan bisa menyambut Ted di sini,” jawab Narisa. Pujian itu terdengar tulus, tapi aku tahu betapa Ted suka dipuji, mungkin sekarang hatinya sudah melayang tinggi.

Dengan pujian semacam ini, siapa pun pasti sangat senang. Harusnya cewek menghindari pujian yang bisa membuat cowok merasa kepedean atau jatuh cinta hingga hatinya melayang.

“Apa Narisa sendirian yang menjaga tempat ini?” tanya Ted.

Narisa mengangguk. “Aku senang berada di sini, sayang sekali kalau perpustakaan ini selalu sepi.”

“Tempat ini sangat nyaman, agak aneh jika sepi, seharusnya pengunjung ramai berdatangan ke sini,” Ted berbasa-basi lagi.

“Di sini cuma ada buku ringan seperti novel, komik, puisi atau buku yang jarang dibaca. Siswa di sini mungkin kurang tertarik,” Narisa menanggapi, dia tersenyum ramah bersahabat. “Buku penunjang pelajaran, olimpiade, komputer, dan buku sejenis itu di perpustakaan utama. Jika Ted lihat di komputer sana, ada file lama, Ted bisa melihat Dies Natalis, arsip majalah sekolah, hingga dokumentasi kegiatan lama.”

Ted mengangguk, tampak berpikir sejenak, lalu berjalan ke arah komputer yang ditunjuk Narisa, entah bagaimana dia melupakan tujuan awal kami kemari.

Aku menatap Narisa, dia memberikan kode “cek ponsel” dengan menunjuk ponselnya sendiri.

Isi pesan Narisa adalah:

“Membawa Ted ke sini, pasti ada maksud tertentu, kan?”

Aku menarik napas dalam-dalam, “Baiklah, aku akan langsung saja. Ted punya masalah yang harus diselesaikan. Ini soal Feby.”

Ted sedang membuang-buang waktu istirahatku. Kalau begini terus, aku harus mengambil tindakan cepat. Dia harus segera bicara tentang apa yang sebenarnya ingin dia katakan — curhat soal Feby.

Aku berdeham. "Aku nggak punya keinginan untuk terus di sini. Bisakah aku pergi sekarang, Ted?" Aku berdiri, bersiap melangkah keluar, mataku sudah melirik pintu.

Ted datang mendekatiku, berkata pelan dan memegang tanganku. “Dev! Aku tidak tahu, bagaimana caranya bicara dengan Narisa,” Dia kelihatan menggigil, membuatku semakin kesal. Apa sulitnya!!!

Kami kembali duduk berseberangan dengan Narisa.

Lihat selengkapnya