NARISA

Mukhlis Hidayatulloh
Chapter #8

Tujuh

Besoknnya, Selasa 23 Juli.

“Mengapa kau tidak meminta bantuan pada Levi atau Fir?” tanyaku ke Ted di kelas saat istirahat.

“Mereka sibuk, kan?” jawabnya. “Saat ini, hanya kau yang sedang tidak bertanding,” Dia menggerak-gerakkan jari-jarinya seperti bermain tuts piano.

Hoy, jadi ini alasan dasarmu untuk meminta bantuanku?

“Bagaimana jika mereka mau membantumu?”

“Iya, kalau mereka mau. Kalau tidak? Sudahlah, semuanya kuserahkan padamu, Dev,” wajahnya pasrah.

Kalimat itu bagai izin bebas untuk menggunakan Fir dan Levi untuk melibatkan dalam masalahnya. Ini saatnya aku meminta bantuan mereka. Aku langsung menemuinya sepulang sekolah.

Rapat di rumah sakit.

“Hey, kenapa harus aku? Bukankah lebih mudah kalau Narisa saja yang melakukannya?” tanyaku dengan nada setengah kesal.

Narisa mengangkat sebelah alis, memandangku tanpa emosi. “Tentu saja harus kau yang mengajak Fir dan Levi. Kalau kau yang melakukannya, aku tahu mereka benar-benar tulus ingin membantu. Lain cerita kalau aku yang mengajak. Orang hanya mau membantuku kalau ada sesuatu yang bisa mereka dapatkan.”

Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapannya. “Jadi maksudmu... aku mau membantu karena aku ada maunya?”

Narisa tidak langsung menjawab. Dia menatapku tajam, seakan bisa melihat langsung ke dalam pikiranku. “Bukankah sejak dulu keinginan dan impianmu adalah aku yang menyatakan cinta padamu?” ucapnya, datar dan dingin.

Rasanya seperti ditampar angin dingin di tengah malam. Aku tertegun. Tidak ada jawaban yang bisa kuberikan. Sekali lagi, Narisa tahu cara menyerangku dengan kalimat yang tepat, memukul tepat di hati.

“Amazing!” Seperti biasa, Feby bersorak lucu. Sambil tangan kirinya bergerak ke atas. Aku hanya melongo.

Narisa melanjutkan, tak terpengaruh oleh interupsi kecil itu. “Bayangkan saja, kalau pada momen paling penting dalam perlombaan, bukan Fir dan Levi yang membantu Ted. Itu akan terasa aneh, bukan?”

“Bisa kau bayangkan juga kalau Narisa yang datang meminta tolong pada Levi dan Fir, itu terlalu aneh, kan?” Feby senyum, pengaturan bicaranya lebih menyenangkan dari Narisa meskipun tujuan aslinya sama, agar aku yang meminta tolong dan bergerak menemui Fir dan Levy.

Narisa memotong dengan cepat, matanya kembali padaku. “Itu cukup aneh, bukan? Kau bisa bicara sembarangan padaku, seharusnya kau juga bisa berbicara baik-baik pada orang lain.” Wajahnya serius, tatapan yang sulit kubantah. “Dan, posisimu saat ini... mengharuskanmu untuk menuruti permintaanku.”

Aku menarik napas panjang, merasa terjebak. Di saat seperti ini, tidak ada argumen yang cukup kuat untuk membantah mereka. Sebenarnya, aku tahu mereka benar. Tapi rasanya sulit untuk mengakui itu dengan suara keras.

Dalam hati, aku hanya bisa tertawa pahit. Seperti biasa, Narisa selalu menang. Dan aku, seperti selalu, tak punya pilihan lain selain mengikuti.

Aku berjalan pelan menuju Levi dan Fir sepulang sekolah. Di tengah hiruk pikuk siswa yang baru saja lepas dari pelajaran, aku merasa ada beban tak terlihat yang menggantung di pundakku. Tugas ini bukan hanya soal meminta bantuan. Ini soal kepercayaan yang harus aku pertaruhkan. Ted membutuhkan solusi, dan aku tidak tahu harus memulainya dari mana.

“Ted sedang butuh bantuan, dia tidak bisa memikirkan solusinya, dia fokus ke pertandingan,” lanjutku.

Levi tersenyum tipis, tatapan teduhnya menenangkan. “Aku tidak punya alasan untuk menolak permintaan seorang teman. Tentu saja aku akan membantu,” katanya, seolah-olah masalah ini hal yang mudah saja bagi dia.

Fir, yang biasanya tenggelam dalam buku-buku tebalnya, langsung menutup buku kecilnya dan mengangguk. “Aku juga akan membantu.”

Aku terdiam sejenak, terkesima. Mereka setuju begitu saja. Padahal, kami jarang berkomunikasi belakangan ini. Aku kira mereka akan butuh bujukan lebih dari sekadar ‘Ted butuh bantuan.’ Namun ternyata, mereka memang tulus. Tidak ada embel-embel, tak perlu kusebut ada Narisa untuk menarik perhatian mereka. Itu membuatku merasa sedikit lega.

Kami berjalan bertiga menuju perpustakaan tiga, sedikit berbasa-basi di sepanjang jalan. Keheningan yang biasanya canggung antara kami terasa berbeda kali ini.

““Jarang sekali kita bisa berkumpul bertiga begini,” kata Levi, sambil tersenyum ringan. “Biasanya kita terlalu sibuk dengan kompetisi atau kegiatan masing-masing. Tapi sekarang, kita membantu teman yang kesulitan. Momen seperti ini cukup langka.”

Aku mengangguk, mengakui bahwa Levi selalu pandai memecah keheningan. Dia memang bisa diandalkan dalam hal semacam ini. Fir menyesuaikan kacamatanya dengan gerakan khasnya.

“Mungkin, hanya dengan cara seperti ini kita bisa bersama,” katanya. “Ini pertama kalinya kau meminta bantuan, jadi aku akan berusaha sebaik mungkin!”

“Kau sedang tidak sibuk, kan, Fir?” tanyaku setengah bercanda, meski aku sedikit penasaran.

Fir menjawab sambil tersenyum tipis, “Aku akan melakukan apapun demi teman yang membutuhkan bantuanku.” Jawabannya tidak nyambung, tapi tetap saja, aku merasakan ketulusan di balik kata-katanya.

Levi ikut menimpali, suaranya hangat. “Jangan khawatirkan aku, Dev. Aku malah senang kau akhirnya meminta bantuan. Mungkin kita memang perlu lebih sering bersama, agar suasana tidak terlalu formal begini.”

Aku tersenyum. “Tidak terlalu formal? Boleh juga.”

Kami bertiga tertawa. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, suasana terasa lebih ringan. Candaan sederhana itu berhasil mencairkan ketegangan yang tersisa di antara kami. Udara sore yang semula terasa berat, kini lebih hangat. Aku bisa merasakan ikatan persahabatan ini kembali menguat.

Tak tahan, aku melirik Fir, senyum nakal terukir di wajahku. “Eh, gimana kalau kita cariin cewek buat Fir? Supaya dia nggak terus-terusan berpacaran sama buku.”

Fir, yang baru saja asyik membaca, langsung menutup bukunya dengan ekspresi dibuat-buat serius. Matanya menyipit menatapku, tapi sudut bibirnya tertahan untuk tidak ikut tersenyum. “Aura jomblo akut jelas terpancar dari dirimu, Dev! Justru kau yang lebih butuh kasih sayang wanita!” balasnya dengan nada setengah menantang.

Aku tertawa terbahak-bahak, tidak tahan dengan gayanya yang selalu dramatis. Levi, yang berdiri di samping kami, ikut tertawa. Lalu dia menambahkan dengan gaya santai yang khas, “Mengapa tidak sekalian cariin aku juga?” candanya, membuat suasana semakin riuh.

“Kau menghina kami?!” Fir langsung bereaksi, pura-pura kesal. Dia merunduk, seolah lemas. “Itu cara orang populer menghina kita. Merendah untuk meroket!” katanya, sambil membuat gaya seolah-olah tak berdaya. “Kau tahu kan, Levi? Kau cuma perlu senyum sedikit, dan besok cewek-cewek itu sudah antre menembakmu, notifikasi Whatsappmu pasti sudah penuh dengan surat cinta.”

Aku dan Levi tertawa.

“Bagaimana kalau kita main ke kelas sepuluh satu,” kataku.

Fir mengerutkan dahi, penasaran. “Kenapa ke sana?”

“Kudengar cewek-cewek di sana cantik-cantik,” jawabku, senyum penuh arti.

“Aku sudah pernah ke sana mengantar Levi saat ada urusan tertentu. Tapi mereka semua hanya tertarik pada Levi.”

Levi berpura-pura terkejut, tapi senyumnya tersirat di sudut bibir. “Benarkah?” tanyanya dengan nada seolah tak tahu apa-apa.

Fir langsung menatapnya tajam, membenahi kacamatanya dengan gerakan penuh gaya. “Jangan berlagak bodoh! Bahkan May atau Clarissa terus saja memandangimu. Kau meremehkan kemampuan deteksi hebat dari kacamataku!”

Levi menggaruk kepala, pura-pura bingung. “Maaf, maaf,” katanya, membuat kami kembali tertawa.

“Apa saat di sana kalian bertukar nomor telepon dengan cewek?” tanyaku.

“Tidak,” Levi senyum.

Levi hanya tersenyum tipis, tenang seperti biasa. “Tidak.”

Aku melebarkan mata, pura-pura terkejut. “Serius? Bagaimana bisa? Kenapa?”

“Kenapa memangnya aku harus memberikannya?” Levi malah balik nanya.

“Jadi, kau tidak berkomunikasi dengan salah satu dari mereka, Levi?” Fir heran.

“Kenapa kau malah bertanya, bukannya kau bersama Levi?” tanyaku pada Fir.

“Aku hanya mengantar Levi, setelah itu pergi Dev!” Fir menjelaskan.

Mengapa aku dan Fir jadi heboh, Levi yang berjalan di antara kami berdua tenang dan tetap cool.

“Padahal, cewek-cewek itu idol banget, Lev! Aku yakin mereka mengincar nomor ponselmu,” lanjut Fir, seakan tak percaya.

“Perasaanku sih, mereka sama saja seperti gadis-gadis lain,” jawab Levi datar, tanpa beban.

“Laki-laki populer di sekolah memang hebat, ya, Dev?”

Aku mengangguk. Levi hanya senyum normal.

Lihat selengkapnya