NARISA

Mukhlis Hidayatulloh
Chapter #9

Delapan

1

Rabu, 24 Juli 2024.

Aku, Fir, Levi, Narisa, dan Ted menyatukan tangan kami di tengah lingkaran kecil. Ada semangat yang menyala di mata kami, meski tim ini dibentuk begitu cepat.

“Selalu aktifkan ponsel, update informasi, gerak cepat!” Levi memimpin dengan tegas. "Jangan manja, saling pengertian, jaga emosi, sabar, kita pasti bisa! Satukan hati, dan teriakkan yel-yel kita.”

Kami terdiam sejenak, menyerap energi itu, sebelum akhirnya bersama-sama meneriakkan, “Satu, dua, tiga! Yes!”

Narisa dengan cekatan menyiapkan daftar alat yang sudah dia susun sebelumnya. “Aku punya beberapa alat ini. Studio musik dan tempat karaoke milikku bisa kita gunakan,” katanya penuh percaya diri. Fir dan Levi akan dibantu oleh pengurus OSIS, Fir bertanggung jawab atas live streaming dari rumah sakit, sementara Levi mengurus semua kebutuhan di lokasi kontes. Aku? Aku sudah siap untuk pulang.

“Dev!” suara Narisa memanggilku dingin, tapi ada senyum di sana, senyum yang selalu sulit untuk dibaca. “Kau bantu aku mengambil alat, ya?”

Aku ikut bersamanya mengambil alat-alat, meski jelas-jelas Levi sudah menawarkan untuk mengurusnya bersama tim OSIS. Tapi Narisa—Narisa bergerak dengan kemauannya.

Kita berdua menaiki taksi online.

Lampu merah, aku melihat jam tangan, pukul 14.14.

“Mengapa kau melihat jam tangan?” tanya Narisa memecah keheningan.

“Memastikan agar jam tanganku tidak lari, Narisa,” Aku mencoba bercanda.

“Dunia terlihat lebih aman karena adanya lampu merah yang menandakan bahaya, dunia terlihat berbahaya saat dipenuhi lampu hijau yang menandakan aman.”

Aku menoleh sedikit, mencoba memahami arah pikirannya, namun aku masih terdiam.

“Orang-orang merasa dilindungi Tuhan saat lampu berwarna hijau, mereka merasa aman saat menyeberang. Resiko hanya berkurang setengah saja, kan?”

Setengah? Kali ini aku hanya menunggu lanjutannya.

“Itu karena terasa lebih baik daripada semua lampu berwarna hijau.”

Lampu sudah menjadi hijau. Mobil berjalan.

“Dunia ini tempat yang berbahaya. Kau pasti ingat dengan kata-kata: Harapan selalu ada atau mari mencari kekayaan. Karena hal itulah mereka menjadi tidak waspada. Orang-orang sepertimu selalu dapat diandalkan karena banyak mengalami hal buruk, karena yang sering kau lihat adalah lampu merah. Sedangkan aku terbiasa menjalani hidup dengan lampu hijau. Aku cenderung sembrono.”

Mungkin Narisa lelah dan ingin memperkenalkan dirinya.

“Mengapa kita tidak pulang dan membiarkan Levi bekerja?” Aku mencoba bercanda saat dia diam.

"Memangnya pantas, kalau kau minta tolong pada seseorang sementara kau sendiri sedang tiduran? Begitulah cara menyesuaikan diri dalam kehidupan sosial, Dev," kata Narisa, nada suaranya terdengar meremehkan.

Aku tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan ketidaksenangan. "Jadi, hanya karena pantas atau tidak pantas, ya?" gumamku pelan, lebih kepada diriku sendiri.

Narisa tiba-tiba terdiam, matanya membelalak seolah gumamanku barusan memicu sesuatu dalam dirinya. "Dunia ini memang dibuat dari tipuan, kan? Kita ada di dunia ini karena Nabi Adam untuk pertama kalinya ditipu, dan karena itu mereka turun ke dunia," lanjutnya tanpa memperdulikan suasana.

Aku terkekeh sinis. "Kau benar-benar bisa membuat alasan untuk menipu terdengar keren. Aku harus mengakui, itu bakat."

Dia menatapku sekilas, bibirnya tersungging. "Apa ini caramu menunjukkan perhatian, Dev? Agar cita-cita hebatmu bisa terwujud lebih cepat? Supaya aku bisa menembakmu saat kelulusan diganti jadi akhir semester?"

Aku tertawa kecil, tidak sepenuhnya paham arah pikirannya. "Bagaimana bisa kau berpikir sejauh itu, Narisa?"

“Kalau aku mengalami semua pengalaman yang dimiliki orang dewasa, setidaknya kemampuanku akan sama dengannya, itu menurutku.”

“Kau mengambil pengalaman orang lain, itu curang.”

“Bodoh sekali kalau kita harus gagal dulu dan mengambil pelajaran, bukankah lebih efisien jika kita langsung menang?” nada Narisa kesal. Aku masih yakin, itu hanya dibuat-buat.

Tak lama kemudian, kami tiba di tempat tujuan, sebuah tempat karaoke. Narisa menoleh padaku dengan tatapan penuh arti. "Kau mau karaoke? Atau... kau lebih suka mendengarku menyanyi?" tanyanya dengan nada menggoda.

“Sepertinya tidak,” jawabku sambil nyengir, menutup telinga.

Narisa berbicara pada seseorang pekerja yang tinggi, tampan, wangi, berjas, dengan rambut pomade keren. “Kami ingin membuat live streaming yang keren di rumah sakit.”

Dia berbicara panjang lebar, memberikan instruksi dengan nada yang tak kenal kompromi. Tak lama kemudian, peralatan yang dibutuhkan diangkut ke dalam taksi online yang kami sewa.

Yang mengejutkan, dua pria keren tadi—yang satu lagi muncul entah dari mana—mengikuti kami dari belakang dengan motor gede, masing-masing mengendarai sendiri. Aku menatap Narisa bingung. "Pengawalan, ya?" tanyaku setengah bercanda.

Narisa hanya mengangkat bahu sambil tersenyum.

Aku tiba lebih dulu di ruangan Feby. Di kasur, ia duduk sambil memainkan kunci biola dengan tangan kirinya, memainkan busur dengan mulutnya sehingga tergesek. Pemandangan yang cukup asing, tapi setelah semua yang terjadi, ini bukan lagi hal yang mengejutkan. Ted dan Fir? Belum ada tanda-tanda mereka datang. Menurut pendengaranku, Feby masih mampu memainkan biolanya dengan nada yang nyaris sempurna.

“Dev … dan Narisa?” wajah Feby heran. “Ini nggak salah? Ada angin apa yang membuat Devian dan Narisa datang kemari?”

“Tidak salah,” jawab Narisa dengan nada datar. “Hanya dia satu-satunya pemain basket yang cukup menyedihkan untuk kuajak menemanimu.”

“Bisakah kalian berhenti untuk berakting, kita sudah kenal, dan bukan sesuatu yang aneh jika kami menjenguk, kan?” Aku membela diri.

“Ini semacam PDKT, ya?” Feby menyeringai. “Tapi jangan berharap teknik segampang ini bisa menambah poinmu di mataku, Dev.”

“Dia terus terang ingin mendengar gesekan biola terindahmu, Feb,” Narisa menambah panas suasana.

Aku diam, mereka pasti punya banyak cara membalik kata-kata. Setidaknya diam bisa menghemat tenaga.

Cara Feby yang menghinaku secara halus dan Narisa yang dingin, kedua cewek ini benar-benar hobi mengejekku. Bersikap manis ke semua orang bagai idola, melampiaskan semua omongan jeleknya padaku. Sial.

“Seperti reuni kecil, ya?” Feby tertawa kecil. “Aku, yang tak bisa lagi bermain biola. Narisa, yang berhenti ikut olimpiade. Dan….” Ia terdiam sejenak, ragu melanjutkan. “Devian, yang tak bisa bermain basket lagi.”

“Ini reuni yang menyenangkan, kita bisa bersatu mengejeknya,” Narisa memulai perkelahian lagi.

“Aku ragu, kau yang dulu mengatakan, ‘aku nggak butuh teman’ dengan bangga, sekarang malah ke sini menjenguk. Aku mempertanyakan kewarasanmu, Devian!” Feby mengatakan dengan wajah tanpa dosa.

“Tentu saja aku sehat, Feb,” kataku yakin. Feby menoleh ke arahku. “Kau tahu, Ratu Matematika pingsan saat tahu aku tidak bisa bermain basket lagi. Dia kelihatan bodoh berhujan-hujan di lapangan menungguku melawan tembakan tiga angkaku,” Aku mencoba manuver.

Feby tertawa, Narisa tersipu malu, berusaha tetap tampil dingin.

“Aku menggendongnya hingga UKS, kau bisa bayangkan apa saja yang kulakukan saat dia pingsan?” Aku melanjutkan, membuat Narisa terpojok sepertinya asyik juga.

Feby terlihat makin penasaran, sementara Narisa menahan diri, geram, tapi diam. Ah, sepertinya tak buruk juga sesekali menggodanya seperti ini.

Lihat selengkapnya