NARISA

Mukhlis Hidayatulloh
Chapter #10

Sembilan

1

Kamis 25 Juli pukul 21.47

"Ekstrakurikuler...," gumamku sambil memandang keluar jendela mobil. "Mereka selalu membicarakan tentang kekompakan, padahal seringkali itu hanya kedok untuk melakukan hal-hal konyol. Ambil contoh Paskibra, misalnya. Hampir saja aku tertipu dengan tampilan mereka yang gagah, dengan segala jargon cinta tanah air. Mereka mencium tanah, mencampur air, lalu menyebutnya 'tanah air'. Semua itu dilakukan saat pelantikan. Benar-benar absurd.”

Aku melanjutkan ocehanku, tak peduli apakah Narisa mendengarkan atau tidak. “Lalu Pramuka. Mereka bicara soal cinta alam, tentang kesederhanaan. Tapi lihatlah, mereka berkemah dengan tenda-tenda berteknologi tinggi. Seolah semua perjuangan itu hanya simbol. Bagiku, itu kemunafikan."

“Kau sungguh hebat, mengatakan hal semacam itu setelah mengikuti ekstrakurikuler basket selama bertahun-tahun,” Narisa menatap ke depan. “Kau berpaling dari kenyataan, sekarang kau hanya seorang pelarian yang mencoba mencari kesibukan.”

Kata-katanya memang menyakitkan, namun jujur saja, ada benarnya. Aku memang sedang mencari-cari kesibukan, berusaha mengisi kekosongan setelah kehilangan sesuatu yang dulu membuatku merasa berarti.

Kami terus mengobrol, tidak terlalu mempedulikan sopir taksi online yang duduk di depan. Namun, samar-samar aku mendengar dia tertawa kecil.

Kalimat Narisa memang menyakitkan, tapi yang dikatakannya, menurutku ada benarnya, aku memang seperti mencari kesibukan untuk mengisi kekosongan diri setelah kehilangan sesuatu yang membuat diriku berharga.

“Kesuramanmu menakjubkan, Dev. Lihat ke depan,” Narisa melanjutkan.

Aku menatap jalan yang kosong. Malam sudah larut, hanya ada lampu-lampu jalan yang menemani.

“Memangnya ada apa, Narisa?” tanyaku heran.

Narisa menyeringai, matanya menyipit licik. “Lihat saja, semua orang minggir, nggak ada yang berani keluar rumah karena ada orang yang suram mau lewat. Bukankah itu kejadian yang nggak wajar, Dev?”

“Narisa?” kataku dengan nada kesal.

“Apa?” jawab Narisa santai.

Semakin malam, cara Narisa berkata-kata semakin hebat!

Pukul 22.05, kami sampai di depan rumahku. Aku berjalan keluar menuju pintu rumah.

“Dev,” suara Narisa terdengar lagi, kali ini dari balik jendela yang sudah terbuka. Matanya menatapku lekat-lekat. “Kau paham kan maksud dari ‘percuma kalau Feby tidak menang’?”

Aku menelan ludah. Pandangannya begitu menusuk, seolah menguji keyakinanku. “Tunggu saja, Narisa. Aku akan berusaha memikirkannya, dan aku akan membawa Feby menuju kemenangan,” jawabku, meski di dalam hati ada sedikit keraguan.

 

“Dapatkah kau melakukannya?” Narisa bertanya dengan nada menekan.

“Itu bukanlah masalah kau bisa atau tidak. Aku hanya perlu memikirkannya, Narisa.”

Narisa mengerutkan dahinya, tidak puas dengan jawabanku. “Bisakah kau melakukannya sendirian?” tanyanya lagi, suaranya tegas.

Aku terdiam sejenak, merasa gugup. "Aku... aku tidak bisa memastikannya. Tapi, aku akan memikirkannya," jawabku, memalingkan wajah dan berjalan pergi. “Sampai jumpa.”

Tiba-tiba, pintu mobil terbuka dan sebelum aku sadar, Narisa sudah berdiri di depanku, menghadang langkahku. Tatapannya tajam, membuatku sulit mengalihkan pandangan.

“Kalau kau memang tidak bisa memikirkannya, jangan berpura-pura bisa, Devian!” Suaranya tegas, tak ada sedikitpun keraguan.

Aku berusaha menghentikannya, tapi Narisa tetap bersikeras. Dia ingin menyelesaikan ini malam ini, apapun yang terjadi.

“Tapi ini sudah malam, Narisa,” protesku.

“Aku sudah bilang pada Levi, aku mampir ke rumahmu, kan?”

“Tapi…”

“Dev!” serunya, memotong kalimatku. “Kau mungkin bisa menganggapku menyebalkan, tapi aku tidak pernah berbohong. Aku selalu berusaha melakukan apa yang kuucapkan.”

Narisa memang tak pernah bisa dihentikan. Dengan cara bicaranya yang lugas dan tegas, dia selalu tahu bagaimana menyelesaikan perdebatan. Dan seperti biasanya, dia mengakhirinya dengan satu kalimat yang menusuk:

“Apabila seseorang nggak bisa memenangkan permainan yang dia mainkan, maka dia disebut pecundang.”

Rumahku terletak di perumahan tengah kota yang ramai, berdiri di atas lahan yang tidak terlalu luas namun fungsional, dengan lebar hanya 7 meter. Gaya minimalis terlihat jelas dari fasad rumah—bersih, modern, tanpa hiasan berlebihan. Pagar rumahnya tepat berada di pinggir jalan, seolah menjadi batas tegas antara ruang pribadi dan hiruk-pikuk kota.

Di depan pagar, beberapa pot bunga menghiasi jalan setapak kecil yang mengarah ke pintu utama. Bunga-bunga ini, meskipun tidak banyak, memberikan sentuhan hijau dan menambah kesan segar di tengah lingkungan urban yang sibuk.

Saat pintu dibuka, seluruh isi rumah tampak dalam sekali pandang. Konsep terbuka membuat ruang keluarga langsung menyatu dengan dapur tanpa sekat yang memisahkan keduanya. Dinding-dinding berwarna netral menciptakan kesan luas, meskipun ruangan sebenarnya cukup sederhana. Sofa minimalis dan meja kayu kecil menjadi pusat ruang keluarga, sementara di sudut ruangan, dapur dengan peralatan modern tampak bersih dan tertata rapi.

Tiga kamar tidur berada di sisi kanan rumah, pintu-pintunya sejajar dengan lorong kecil yang memanjang ke belakang. Semua tertata secara fungsional, tanpa ruang terbuang sia-sia. Atmosfer rumah ini sederhana namun nyaman, cocok untukku yang lebih memilih kepraktisan dan efisiensi dalam hidup.

Untuk bisa memiliki rumah semungil ini sekaligus menyekolahkan kami bertiga, orang tuaku harus bekerja keras. Begitu kerasnya hingga kadang mereka tidak pulang selama beberapa hari. Di rumah, hanya ada Kak Rin dan adikku, Niva, yang sudah tertidur lelap. Kak Rin, sebagai anak tertua, menjadi pemegang keputusan tertinggi di keluarga kami. Segala hal, mulai dari urusan kecil hingga yang besar, termasuk soal kedatangan Narisa yang kelewat malam, semuanya ada di tangannya.

Kami masuk ke dalam rumah. Kak Rin sudah menunggu di ruang tamu, tersenyum tipis saat aku menyalami tangannya dan mencium punggung tangannya dengan penuh hormat. Narisa, dengan sopan, ikut melakukan hal yang sama.

Aku memperkenalkan Narisa ke Kak Rin. “Ini Narisa.”

“Rin,” Kak Rin membalas, masih dengan senyum ramah. “Wah, Devian bawa teman. Apalagi teman perempuan.” Matanya berbinar, seolah senang melihatku membawa teman ke rumah. “Ayo, duduk dulu. Lebih enak ngobrol sambil duduk dan minum, kan?”

Kak Rin segera beranjak ke belakang, mengambil minuman. Aku dan Narisa duduk berdua di ruang tamu. Malam sudah larut, dan aku tahu betul, membawa seorang cewek ke rumah di jam seperti ini bukanlah hal yang biasa. Tapi Narisa tampak santai saja, seolah semua ini normal. Mungkin karena aku pernah malam hari berada di rumahnya yang sering kosong, sehingga dia merasa hal ini tak ada bedanya.

Tak lama, Kak Rin kembali dengan membawa satu set minuman dan beberapa potong roti lapis. “Dinikmati seadanya ya, Narisa,” ucapnya dengan senyuman hangat.

Dalam wadah minuman itu, tentu sudah bisa kutebak. Kopi yang sangat manis. Nggak enak. Aku meyakini, untuk ukuran anak yang cukup muda, kopi yang enak tentu sedikit atau banyak pahitnya.

“Perintah apa yang membawa Narisa datang ke mari?” tanya Kak Rin, sambil meminum kopi nggak enak-nya.

Narisa menyeruput kopinya, menjawab: “Sebuah alasan yang penting yang dinamakan: ‘membawa Feby menuju kemenangan’ Kak.”

“Bagaimana seorang Narisa yang sekarang ada di sini membawa kemenangan untuk Feby yang tidak ada di sini?” Kak Rin seperti mencoba menjadi makhluk lain.

Narisa tertawa kecil, menyesap kopinya. “Dengan berpikir bersama dan melakukannya besok. Waktu kita sudah sangat sedikit.”

Hoy, hoy, apakah itu tren berbicara di zaman sekarang?

“Bisakah kita hentikan obrolan aneh ini?” Aku menyelanya sebelum lebih jauh tingkat keanehannya.

“Aku gagal mengerti mengapa adikku tidak bisa menanggapi informasi penting yang kuberikan,” mata kak Rin mengernyit melihatku.

“Mungkin dia membutuhkan pengertian yang dinamakan ‘kemakluman khusus’ Kak,” Narisa malah membuat kalimat yang aneh.

Kak Rin tertawa kecil, menguap sedikit, tanda ia juga sudah mulai mengantuk. “Maafkan adikku, Narisa. Aku tidak pernah mengajarinya cara memperlakukan perempuan dengan baik. Aku sendiri bahkan tidak terlalu mahir untuk didekati cowok.”

Aku menahan tawa mendengar kejujuran Kak Rin. Malangnya, ia bahkan mengakui kekurangannya dengan jujur.

“Bukan begitu, Kak. Mungkin selera laki-laki yang ada di sekitar Kak Rin yang rendah., Narisa memuji, sedikit membuat Kak Rin salah tingkah.

Aku mencoba menyeruput kopinya, setidaknya untuk menghargai kak Rin yang sudah membuat. Sial terlalu manis!

“Sekarang aku bertanya-tanya, apakah ada keuntungan di balik percakapan ini?” tanyaku.

“Maaf Devian, aku tidak ada waktu berbicara dengan makhluk primitif,” Narisa meledekku. “Ternyata kamu memang tidak bisa membedakan mana yang candaan dan mana yang bukan, poin kehidupan sosialmu rendah sekali,” ledek Narisa.

Aku hanya bisa menghela napas, merasa semakin disudutkan. Kak Rin menyipitkan matanya, menatapku sambil berpikir. “Mungkin adikku ini memang butuh relaksasi sebagai manusia.”

“Memangnya aku ini bukan manusia?” Aku memastikan. Kata-kataku barusan seperti aku meragukan diriku sebagai manusia.

“Devian, ck ck ck ck,” Narisa menatapku heran.

Aku menatap Kak Rin, merasa kesal. “Bisakah kita hentikan omong kosong ini dan langsung ke intinya?”

“Ah, jadi anak SMA itu enak sekali ya. Bisa berpikir cepat dan efisien. Dulu, aku bisa menghabiskan uang kiriman dalam satu hari.” Lah kenapa Kak Rin tertawa kecil, mengingat masa-masa remajanya?

Candaan terus berlangsung, mereka sinkron untuk terus membantaiku, tentu saja ini tidak bagus. Sudah terlalu malam untuk Narisa. Sejak kapan aku peduli?

“Cukup. Ayo hentikan semua ini, mari kita bahas bagaimana strategi kemenangan Feby,” Aku mencoba mengatakannya dengan tenang.

Untuk beberapa saat, suasana menjadi hening. Tapi mereka berdua tetap terlihat tenang. Entah itu karena sudah terbiasa atau karena memang ingin memberi ruang untukku berpikir lebih jernih.

“Devian, dengarkan!” Kak Rin menarik napas dalam, memperbaiki posisi duduknya. “Narisa datang ke sini malam-malam, pasti sudah dipikirkan matang-matang. Dia tahu betul konsekuensi dari tindakan ini. Dengan wajah yang menunjukkan kecerdasan dan ketegasan yang dia miliki, tidak mungkin dia bertindak tanpa alasan kuat. Aku tahu, kalian tidak mungkin pulang selarut ini kalau bukan karena sesuatu yang benar-benar penting.”

Aku terdiam, mendengar setiap kata yang Kak Rin ucapkan dengan hati-hati.

Lihat selengkapnya