NARISA

Mukhlis Hidayatulloh
Chapter #11

Sepuluh

1

Aku menjalani kehidupan sekolah dengan biasa kembali. Sampai kapan hal ini terus berlanjut? Berapa lama lagi hal ini akan berlanjut? Apa yang akan terjadi jika hal ini terus berlanjut?

Feby memberi kabar padaku kalau sudah boleh pulang dari rumah sakit, Pastor Haris sedang sibuk, jadi tidak bisa mengantar Feby pulang.

“Kau jemput aku ya, Dev!” dengan nada khas centilnya.

 “Iya, aku jemput Feb!”

“Kau memang tidak punya bakat lain selain mudah dirayu, ya?”

“Apa?” nadaku agak kesal, tapi dia malah tertawa di seberang sana.

“Devian! Laki-laki tidak mungkin menarik kata-katanya, kan?” Feby memang licik, ya?

Dia langsung menutup telepon sebelum aku sempat membalas. Sial!

Ketika sampai di kamar rumah sakit, Feby sudah siap dengan kursi rodanya. Tangan kanannya masih tergantung, terlihat lemah tapi wajahnya tetap cerah.

“Wah, ini pacarnya, ya?” kata seorang suster yang mendorong kursi roda Feby sambil tersenyum jahil.

“Bukan!” aku dan Feby langsung menjawab serempak.

“Tidak mungkin aku berpacaran dengan laki-laki malas dan mudah dirayu seperti dia, Sus!” Feby meledek dengan senyum penuh kemenangan.

Aku berpura-pura kesal, “Baiklah, aku pulang saja kalau begitu.” Aku berbalik, pura-pura mau keluar dari kamar.

 “Bagaimana kau tega membiarkanku atau suster yang cantik ini membawa barang-barangku? Kau tahukan apa gunanya kedatanganmu?” Dia bergaya melas. Aku berbalik ke arah Feby.

Suster malah senyum. “Selanjutnya kuserahkan Feby padamu, ya?” Suster meninggalkan ruangan. Feby sudah duduk mantap sehingga kursi roda siap dijalankan.

Feby ingin keluar dan jalan-jalan ke suatu tempat di rumah sakit. “Taruh saja barang-barangnya sementara di sini.”

Aku mendorong kursi rodanya, dia menunjukkanku jalan. “Ada seseorang yang ingin kutemui. Dia hebat, Dev!” Dia antusias seperti biasanya, tidak pernah bersedih.

“Kenapa kau nggak minta tolong sama Narisa, Ted, atau siapa pun?” tanyaku sambil mendorong kursinya perlahan.

Feby tertawa kecil. “Dev, aku sedang dalam kondisi yang menyusahkan, masa aku harus merepotkan orang lain? Mendorong UFO, membawakan barang-barang, mengantarku pulang... Aku nggak ingin merepotkan siapa pun.”

Jadi aku sebenarnya semacam orang yang bisa menjadi pelayan? Dia hebat, tidak ingin melibatkan seseorang dalam masalahnya, memanfaatkan pembantu gratis memang bukan pilihan yang buruk.

“Apa itu UFO, Feb?” tanyaku, mencoba memecah keheningan.

 

“Ya ampun, Dev. Otakmu itu memang kadang susah nyambung, ya? Dari percakapan kita tadi, siapa yang lebih pantas jadi alien yang menyetir UFO ini?” Dia tertawa lagi, dan aku hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Oh,” jawabku pelan. Aku jadi mengerti maksudnya. Aku aliennya, kursi roda UFOnya. Entah dia ingin menjadi apanya.

“Devian! Kita masuk ke ruangan ini!” Feby menepuk-nepuk kursi rodanya.

Kami berhenti di depan sebuah ruangan, kemudian masuk. Ini adalah ruang perawatan kelas ekonomi, cukup luas dengan beberapa pasien lain di dalamnya. “Ada orang menarik di sini, Devian. Dia pernah menjengukku dan menyanyi di ruanganku,” jelas Feby.

Aku baru tahu ada yang membuat Feby tertarik selain biola.

Feby menepuk pundak seseorang yang duduk di kasur, berkaca mata, terlihat seperti seumuran dengan kami. Memakai kaca mata hitam, kaus oblong warna merah, dan celana olahraga hitam.

Dia menoleh pelan-pelan, tangannya meraba-raba. “Jojia!” Dia antusias dan senyum, mungkin maksud dari ‘Jojia’ adalah ‘Georgia’. “Bagaimana pertandinganmu?”

Seketika aku mengerti kalau anak itu buta.

“Aku menang, Lee,” Feby mengatakan Lee seperti Lee dalam kata ‘Bruce Lee’.

“Hey, aku Leo. Jangan ubah-ubah namaku seperti itu, lah, Jojia.” Dia senyum.

Aku terdiam, terheran-heran. Bagaimana mungkin dia bisa begitu bahagia dan santai, padahal dia kehilangan penglihatannya.

“Kau sendiri yang mengubah namaku duluan, Lee!” Feby membalas.

Leo tertawa lagi, kali ini lebih keras. “Aku jadi ingat waktu berjualan di bus dulu. Lumpia, lumpia, lumpia. Itu lebih mudah diingat olehku. Ha ha ha!!!” Dia tertawa lepas. “Tapi sepertinya, kau bawa orang yang menyedihkan ke sini. Siapa dia?”

Apa-apaan ini! Dia jelas-jelas tidak melihatku, bahkan auraku yang buruk ini dapat dirasakan oleh Leo. Jika keburukan dapat dihitung, sebenarnya berapa koefisien kesuramanku? Aku penasaran.

“Devian! Dia Devian! Kau tahu apa kepanjangannya?” Feby bertanya. “Devil in the ant. Setan dalam semut, makanya dia suram sekali!” Dia malah menjawab sendiri setelah aku dan Lee diam.

“Devi,” kata Leo, serius. “Bisa antar aku jalan-jalan sebentar? Di sini membosankan sekali. Atau kita cari makan? Dari kemarin bubur terus, makanan rumah sakit itu benar-benar mengerikan!”

“Tapi kau sedang sakit, kan, Lee?” suaraku seolah-olah prihatin. “Selain itu, bisakah kau panggil aku dengan nama Dev atau Devian? Kalau Devi itu terdengar seperti perempuan, lo?”

Leo tertawa keras. “Kau nggak perlu mengasihani aku, Devi. Jangan merasa aku jadi bebanmu. Nggak usah khawatir, cemas, atau prihatin. Santai saja, nyatanya aku sangat bahagia.”

Ah sudahlah, aku tidak bisa mengganti panggilan ‘Devi’ dari kepalanya.

“Di sebelah rumah sakit ada mie setan! Bagaimana kalau kita coba itu saja?” Feby menyarankan. Mie setan, semacam mie yang sangat pedas.

“Kau ini baru keluar dari rumah sakit, kan?” Aku meninju bahu Feby dari belakang. “Lagipula…”

“Aku ingin itu, Devi. Kau harus mengantarku ke sana!” Lee malah antusias.

Lihat selengkapnya