NARISA

Mukhlis Hidayatulloh
Chapter #12

Sebelas

1

“Mustahil!” Adikku, Niva, ternganga melihatku berangkat pagi dan—jalan kaki. “Kakakku yang biasanya malas bergerak tiba-tiba jalan kaki? Ini nggak mungkin!”

“Aku jemput Feby, mau antar dia ke sekolah,” jawabku santai.

Dia menjatuhkan ponselnya yang sebelumnya scroll media sosial pribadinya. “Feby? Cewek cantik yang jago main biola itu? Gimana bisa?” Bagaimana kau melakukannya?!”

“Aku hanya mendorong kursi rodanya?”

“Ini benar-benar nggak mungkin. Kakakku, yang malas, tiba-tiba kerja buat orang lain? Dan itu untuk cewek secantik kak Feby?” Niva menggeleng tak percaya. “Feby itu jago main biola, cantik pula. Nah, kalau kakakku…?”

Aku tersenyum. “Mau ikut?” tanyaku sambil mengambilkan ponselnya yang jatuh. Aku mengajaknya karena Niva biasanya memang jalan kaki ke sekolah.

 Itulah Niva, dia sangat akrab denganku. Dia populer, cantik, dan kekinian sementara kakaknya seperti landak, kehadirannya mengusik apapun di sekitarnya. Dia selalu punya cara untuk bisa berbicara denganku dengan teknik yang menarik. Adikku hebat, kan?

Kami pun berjalan menuju rumah Feby, yang sebenarnya tidak jauh dari rumah. Di tengah jalan, ada yang tidak biasa—Narisa sudah bersiap mendorong kursi roda Feby. Siapa sangka, dia juga perhatian sama orang lain.

“Lo… ha, Niva!” Feby menyapa adikku dengan mengerakkan tangan kirinya.

“Loha, Kak Feby!” Niva nyengir. “Loha Kak Narisa!”

Kena kau Narisa, apa kau akan meniru cengiran mereka berdua yang sok imut?

“Loha, Niva!” Narisa senyum dan tetap menawan dan memberikan tos akrab. “Dev, kau tidak menyapa kami?”

Tidak-tidak, aku tidak ingin menjadi seperti itu, aku punya harga diri, umurku mau tujuh belas, dan aku bukan idol. Kau bisa bayangkan betapa turunnya harga diriku untuk mengatakan ‘loha’, aku bisa menggaruk tenggorokanku semalaman.

“Hai, Feby, Narisa.”

“Dev!” Feby mengernyitkan dahi.

“Dev, jangan pura-pura bodoh!” Narisa memperingatkan dengan suara serius.

Aku menelan ludah. Menarik mulut ke kanan dan ke kiri. “Loha, Narisa, Loha Feby!” Aku langsung seketika mengubah tampilanku, membuang muka dari mereka. “Kalian benar-benar keterlaluan!”

Mereka bertiga tertawa dengan sikap bodoh yang barusan kulakukan.

“Loha, Dev!” Narisa dan Feby mengatakannya nyaris bersamaan.

“Nah, sekarang impas, kan?” Narisa tersenyum lebar. “Ayo, kita berangkat.”

Aku hanya menghela napas. Apa pentingnya sih, berloha-ria seperti ini?

“Jadi lewat mana?” tanya Feby padaku. Sebenarnya nggak penting, karena hanya ada dua jalur dari rumah Feby ke sekolah, itu pun tidak berbeda secara jarak hanya beda pemandangan, lewat jalan raya atau taman.

“Aku hanya bersemangat jika membuat rencana untuk pergi sendirian, kalau bersama orang lain gayaku adalah mengikutinya dari belakang.” Aku mencoba menghindar.

Narisa menyelipkan tawa kecil. “Terserah deh, kita pikirin sambil jala.”

Memangnya siapa yang membuat perdebatan tidak penting seperti tadi!

Kami mulai berjalan menuju sekolah. Feby memilih untuk tidak membiarkan kursi rodanya didorong. Dia menekan tombol-tombol di pegangan tangan kirinya. “Kalian datang menemaniku saja, aku sudah senang.”

Pertama kalinya, kami berempat berangkat bersama dengan berjalan kaki. Atau mungkin ini untuk pertama dan terakhir.

“Niva kelas berapa?” Feby bertanya, perhatian sekali, ya?

“Aku kelas 3 SMP,” jawab Niva.

"Jadi cuma beda dua tahun ya?" Narisa menyahut, nada menggoda di ujung bibirnya. "Tapi kelihatan kayak beda sepuluh tahun kalau dibandingkan sama Devian."

Lihat selengkapnya