1
Hari ini melelahkan, dipenuhi pelajaran eksak, Fisika, Matematika, dan Kimia seharian. Membiasakan otak untuk berpikir kembali rasanya membuatku kehabisan tenaga dan segera ingin pulang menikmati kasur. Tapi itu tidak terjadi, aku malah berada di perpustakaan tiga karena harus menuruti kata-kata Feby:
FEBYEW
Hari ini kau harus bersama Narisa. Kau harus berjanji untuk membantunya.
AKU
Memangnya aku siapa? Dan siapa itu Narisa?
FEBYEW
Saat ini dia hanya gadis imut dan kau hanya pelayan yang tidak berguna.
Jika dirimu bertanya, apa hanya karena chatting dengan Feby aku mau ke perpustakaan tiga untuk membantu Narisa, dirimu salah besar. Tidak ada seseorang di dunia ini yang benar-benar tahu mengapa mereka bergerak. Bahkan jika ‘cinta itu nggak butuh alasan’ adalah cinta yang sebenarnya beralasan.
“Mereka bersikeras mengadakan lomba-lomba konyol, Dev!” kata Narisa sambil menuang teh yang baru saja dibuatnya, sedikit sewot. “Makan kerupuk, sepeda lambat, jalan bakiak, joget kompak.”
“Bukankah ini hal umum yang dilakukan masyarakat dan dilakukan di sekolah? Masih wajar kan untuk perayaan di sekolah?”
“Kami dari tim olimpiade dan pejuang kompetisi bakat lainnya berjuang keras untuk membanggakan para pahlawan setiap tahunnya, bekerja keras tidak kenal tidur, tapi …,” Narisa menghentikan bicaranya. “Mereka masyarakat awam menyambut hari kemerdekaan hanya dengan acara konyol, ini benar-benar keterlaluan. Mereka menyuruhku menjadi MC untuk lomba konyol itu, katanya: ‘lomba akan benar-benar seru dan ramai jika Narisa menjadi MC-nya!’ itu benar-benar membuatku muak.”
Aku tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan. "Sebenarnya, bakal menarik kalau kamu yang jadi MC," sahutku, agak bercanda. “Ada yang salah dengan pikiranmu, memangnya masyarakat harus memahami orang-orang seperti pahlawan? Apakah pahlawan benar-benar bangga padamu untuk kemenangan olimpiade?”
“Dev, kau ….”
Aku menghela napas, mencari kata-kata yang tepat. "Manusia pada dasarnya menyelamatkan diri mereka sendiri. Termasuk para pahlawan. Apa pun alasannya, mereka bertindak untuk menyelamatkan diri. Aku nggak bisa menyebut diriku membanggakan pahlawan kalau di sisi lain aku menghancurkan mental orang lain setiap main basket, dengan menembak tiga angka dan selalu masuk mendapatkan tiga poin, berapa pemain basket yang putus asa karena sadar akan rendahnya bakat mereka. Kamu terlalu naif kalau menganggap berprestasi membanggakan pahlawan."
Narisa terdiam sebentar, tampak mencerna ucapanku. "Jadi, kau benar-benar berpikir begitu?"
“Tapi aku tidak sepenuhnya menyalahkanmu, keinginanmu yang baik perlu kau laksanakan.”
Narisa mengangkat alisnya, tampak sedikit kesal, tapi juga bingung. "Maksudmu gimana, Dev? Kamu bilang ini hal buruk, tapi kenapa kamu malah mendukungku?" Nada suaranya terdengar marah, meski aku tahu itu hanya setengah dibuat-buat.
Aku tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. "Aku cuma ingin kamu lihat dari perspektif lain. Apa yang kamu katakan tadi nggak sepenuhnya salah, tapi juga nggak sepenuhnya benar. Aku setuju, menang olimpiade itu lebih baik daripada ikut lomba atau mengadakan konyol yang nggak penting."
Narisa menatapku dengan ekspresi kecewa. "Rasanya aku baru saja membuang beberapa menit berharga hidupku untuk mendengar omonganmu yang nggak berguna," katanya sambil meledek.
Aku tertawa kecil. "Kalau begitu, apa yang akan kamu lakukan untuk acara itu?"
Dia membuka buku kecil dari tasnya. "Aku punya konsep," katanya sambil menunjukkannya. "Aku ingin orang-orang paham bagaimana rasanya jadi pahlawan. Susahnya, perasaannya, harapan mereka. Aku berharap ada pahlawan sungguhan yang bisa mengajari kita semua menghargai kemerdekaan."
Impianmu terlalu mustahil, Narisa!
“Dengan begitu kau juga tahu bagaimana menghargai pahlawan dengan benar.”
"Bagaimana kamu akan melakukannya?" tanyaku, mencoba menggali lebih dalam.
"Levi mengusulkan aku jadi SC," katanya dengan nada percaya diri. "Aku nggak akan melakukan apa-apa secara langsung, tapi aku akan mengendalikan semuanya dari belakang. Kita akan menghadirkan dua tokoh sukses di masa muda dan dua veteran pahlawan."
Aku tahu apa yang dimaksud Narisa dengan SC—Steering Committee, pengonsep sekaligus pengawas acara. Kalau Narisa jadi SC, dia akan memegang kendali penuh atas acara tersebut dan mengubah seluruh konsepnya sesuai keinginannya.
“Jadi, kau setuju untuk menjadi MC agar kau mendapatkan konsepnya? Kau memang hebat, Narisa!”
Narisa tersenyum licik. "Kalau ada apa-apa, sisanya aku serahkan padamu, Dev."
16 Agustus Pukul 8.03
Gedung serbaguna sekolah dipenuhi sorak-sorai dan tepuk tangan riuh dari para penonton. Narisa berdiri di atas panggung, senyumnya penuh semangat, suaranya menggelegar melalui mikrofon. Aku dan Feby berada gedung serbaguna sekolah dengan model teater, duduk di barisan nomor tiga dari atas. Ruangan ini cukup besar sehingga menampung banyak peserta talkshow.
"Kita tampilkan salah satu pemuda hebat! Dia berhasil mendapatkan beasiswa untuk kuliah kedokteran di Australia..." suaranya terdengar penuh kebanggaan, seiring suara tepuk tangan yang semakin keras.
Aku menonton dengan rasa kagum. Pemuda yang berdiri di panggung adalah representasi dari mimpi setiap siswa di sekolah ini. Mendapatkan beasiswa untuk kuliah di luar negeri, apalagi di jurusan kedokteran—itu bukan main-main.
Suaranya tenang, setiap kata yang keluar dari mulutnya menggugah pendengar. “Usia nol sampai delapan belas tahun adalah masa paling berharga untuk pendidikan. Ini kesempatan terbaik kita. Jika kita memaksimalkan waktu ini, kita bisa bersiap menghadapi ujian apa pun—mau jadi tentara, lulus tes perguruan tinggi, atau dapat beasiswa luar negeri, semua butuh persiapan dari sekarang.”
Penonton menyimak dengan saksama, suasana hening sesaat sebelum tepuk tangan kembali menggema.
Pemuda kedua naik ke atas panggung, membagikan pengalamannya dengan bahasa yang lebih santai. "Saya tertarik beasiswa luar negeri gara-gara membaca Novel berbahasa Inggris. Kalau kebanyakan orang nunggu versi Bahasa Indonesia, saya nekat baca versi Bahasa Inggris. Saya terjemahkan sendiri, satu per satu, tanpa ikut kursus. Dari situ, saya jadi tertarik pada Inggris, dan akhirnya memutuskan kuliah di sana."
Feby yang duduk di sampingku menoleh, berbisik. “Seandainya kau masih bisa main basket dan menembakkan tiga angka seperti biasa, kau pasti ada di depan sekarang, berbagi cerita seperti mereka.”
Aku tersenyum, menanggapinya dengan nada bercanda. “Tentu saja! Apalagi kalau Narisa yang jadi SC, dia pasti akan meronta-ronta memohon aku jadi pembicara.”
Feby tertawa kecil. Kami berdua tahu betapa Narisa adalah orang yang sangat ambisius jika sudah menyangkut acara seperti ini. Dia tidak akan berhenti sampai semuanya berjalan sempurna.
Narisa yang sekarang jadi moderator tampak kebingungan menghadapi banyaknya pertanyaan yang datang dari penonton. Dia mencoba memilih di antara banyak tangan yang terangkat tinggi-tinggi, berharap mendapat giliran.
"Syukurlah," ucap Feby bangga, senyumnya lebar. "Ide Narisa berhasil. Lihat, semua orang begitu antusias."
Aku mengangguk, setuju. Narisa benar-benar tahu bagaimana caranya membuat acara ini hidup.
Bagaimana menjaga keseimbangan antara akademik, kehidupan sosial, dan waktu untuk diri sendiri?
Apa yang lebih penting, IPK tinggi atau pengalaman organisasi dan kegiatan ekstrakurikuler?
Bagaimana cara menemukan passion yang tepat agar bisa sukses di masa depan?
Dan, tiba-tiba ada satu suara nakal dari barisan belakang. "Bagaimana caranya biar bisa jadi pacar Anda?"
Ledakan tawa membahana, menggema di seluruh ruangan. Narisa, tetap tenang meski jelas tak bisa menyembunyikan senyumnya, menggeleng pelan. Ia mengangkat mikrofon, lalu dengan cerdik menjawab, "Wah, itu pertanyaan sulit. Tapi mungkin bisa dimulai dengan lulus kuliah dulu, baru kita bicara."
Tawa penonton makin riuh, Narisa menunggu beberapa detik sampai tawa mulai reda, kemudian melanjutkan dengan cerdik.
"Tapi jujur saja," Narisa kembali menata ekspresinya, "Kalau kalian sudah fokus mencapai tujuan hidup kalian—entah itu beasiswa, pekerjaan impian, atau kesuksesan lainnya—percayalah, semua yang kalian inginkan, termasuk urusan hati, akan datang dengan sendirinya. Jadi, fokus dulu dengan apa yang penting saat ini."
Suasana perlahan tenang. Tawa yang tadinya membahana kini berubah menjadi anggukan setuju dan bisik-bisik kagum. Narisa berhasil membawa kembali penonton pada inti acara, tetap menyelipkan humor tapi dengan pesan yang kuat dan relevan.
"Jadi, pertanyaan selanjutnya," ucap Narisa, sambil melirik ke arah penanya tadi dengan senyum iseng. "Tapi, kali ini yang serius ya."
Bagaimana cara menghadapi kegagalan ketika kita tidak lolos beasiswa atau target akademik?
Apakah penting memiliki mentor atau role model, dan bagaimana cara mencari yang tepat?
Para pemuda di depan yang tadi ditanya, menjawab dengan tenang dan santai, membalas lelucon itu dengan cerdas. Setiap kata yang ia lontarkan disambut tepuk tangan. Pemuda-pemuda itu—anak-anak muda Indonesia yang hebat, terampil bicara, dan jelas punya potensi besar. Mereka bukan pemuda biasa.
"Saya selalu percaya bahwa kegagalan itu sebenarnya adalah jalan pintas. Bukan untuk menunda, tapi untuk membawa kita ke arah yang lebih tepat. Ketika saya gagal di beasiswa pertama, saya sadar ada sesuatu yang belum saya siapkan dengan baik. Kegagalan adalah guru paling brutal, tapi juga paling jujur. Jadi, daripada menyerah, anggaplah setiap kegagalan seperti GPS—ia mengarahkan ulang kita. Setiap kali gagal, tanyakan pada diri sendiri, 'Apa yang bisa saya pelajari dari sini?' Dan lucunya, kadang setelah beberapa kali gagal, kita malah menemukan jalur yang lebih cepat menuju tujuan kita."
"IPK dan pengalaman organisasi itu ibarat dua sayap pesawat. Keduanya penting untuk terbang tinggi. Tapi, coba lihat lebih jauh: apakah kamu ingin terbang lebih cepat atau lebih jauh? IPK tinggi membantu kamu membuktikan kedisiplinan akademik, sementara pengalaman organisasi memperlihatkan kemampuan kepemimpinan dan kerja tim. Jika kamu hanya punya satu sayap, kamu tidak akan bisa stabil. Jadi, jangan memilih salah satu, tapi kombinasikan keduanya. Inovasi terbesar di dunia datang dari orang yang bisa menggabungkan keduanya dengan cerdas."
"Passion itu bukan sesuatu yang kamu temukan di suatu tempat, tapi sesuatu yang kamu bangun dari pengalaman. Saya dulu berpikir passion itu seperti petir yang tiba-tiba menyambar—‘Aha, ini dia!’ Tapi ternyata, passion itu lebih seperti api kecil yang harus terus kamu jaga, sampai akhirnya ia menyala besar. Jangan tunggu passion datang, tapi buatlah. Coba banyak hal, gagal, coba lagi, sampai kamu menemukan sesuatu yang membuatmu lupa waktu. Itu passion."
Tiap quote yang diucapkan hampir pecah dan mendapatkan tepuk tangan meriah. Pemuda-pemuda Indonesia yang hebat dan menginspirasi yang lainnya, keterampilan bicaranya teratur dan runtut.
"Dan sekarang, mari kita sambut dengan penuh hormat, pahlawan sejati bangsa ini. Mereka adalah para pejuang yang dengan gagah berani mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan, terutama dalam pertempuran heroik pada 10 November di Surabaya. Saksi hidup dari perjuangan luar biasa untuk mempertahankan tanah air tercinta kita. Tepuk tangan meriah untuk mereka, para penjaga kemerdekaan, para pembela kehormatan bangsa!" Suara Narisa menggema, penuh semangat dan rasa hormat, diiringi gemuruh tepuk tangan yang menyala dari seluruh penjuru ruangan.