1
Acara doa bersama untuk mengenang jasa para pahlawan kembali diadakan di gedung serbaguna sekolah yang megah, berdesain menyerupai ruang teater. Barisan kursi disusun bertingkat, menjulang ke atas, menghadap panggung utama. Lampu-lampu gantung yang temaram memberi nuansa haru dan tenang, sementara di sekeliling ruangan, dinding-dinding dihiasi bendera merah putih, menambah atmosfer nasionalisme yang kental.
Dari balik panggung, aku mengamati semuanya, tempat yang sempurna di mana tak seorang pun bisa melihatku. Di depan sana, para veteran duduk dengan penuh hormat, wajah mereka teduh namun dipenuhi gurat-gurat usia dan kenangan. Siswa-siswa berbaris rapi, dengan seragam yang serasi, memberikan penghormatan dalam keheningan, sementara para pemuka agama secara bergantian memimpin doa dengan khidmat. Setiap ucapan doa seolah menggema, membungkus ruangan dalam kesyahduan yang mendalam.
Aku melihat semuanya dari balik tirai, menyaksikan bagaimana siswa-siswa dan guru dengan perlahan mendekati para veteran, menyerahkan bingkisan dengan penuh hormat. Senyum dan jabat tangan mereka menandakan lebih dari sekadar formalitas, ini adalah ungkapan terima kasih yang tulus atas segala pengorbanan yang tak mungkin tergantikan.
Setelah puas melihat acara yang berjalan dengan lancar, aku beranjak ke Perpustakaan Tiga. Tempat yang selalu sepi, menjadi pelarianku dari hiruk-pikuk. Namun, langkahku terhenti ketika seseorang tiba-tiba menyapaku.
“Wah, Devian!” suara Vania yang ceria terdengar dari depan.
Aku menoleh malas. “Ada apa?” tanyaku tanpa niat menyembunyikan kebosanan.
“Setelah aku bermain dengan teman-teman aku melihatmu jadi aku menyapamu. Tapi kau terlihat aneh, kau tidak ikut membagi-bagikan barang bakti sosial?”
“Jadi menyapaku adalah hukuman dari permainanmu dengan teman-temanmu?”
“Wah, kau benar-benar menyimpulkan dengan tepat, Dev,” Vania heran, tentu saja dia bercanda. “Besok, aku seleksi di tingkat kabupaten, loh. Akan ku buat Narisa bangga.”
“Semoga kau menang ya, buat aku tidak menyesal karena pernah bicara denganmu,” jawabku songong[A1] . “Tidak mampir dulu ke perpustakaan tiga?”
“Aku akan menemuinya jika menang,” katanya dengan semangat. “Kalau begitu aku duluan, ya,” Dia pergi langsung dengan wajah senang, sambil lompat-lompat tapi nggak kayak kelinci, loh.
Suasana hening di perpustakaan itu sudah jadi hal biasa. Di ruangan yang hanya ditemani buku-buku, Narisa duduk dengan teh hangat dan sekotak biskuit di mejanya. Aku di sebelah barat dan Narisa di sebelah timur dipisahkan oleh meja yang ada di tengah perpustakaan.
Aku mendekatkan sepotong biskuit dan meletakkannya di dekat wajahnya. Tatapannya segera berubah dingin, menusuk tajam seperti biasa.
“Kenapa harus di depan wajahku?” tanyanya datar.
Aku menahan senyum. “Aku cuma mau biskuit ini jadi pedas.”
Narisa mengerutkan kening, memiringkan kepalanya sedikit, seolah tidak mengerti.
“Agar pedas, aku nggak perlu beli cabai. Cukup tambahkan komentarmu, rasanya pasti langsung berubah.”
Narisa menatapku sesaat, lalu tanpa berkata-kata meraih biskuit itu dari tanganku. Dengan tenang, ia meremasnya di telapak tangan, serpihan biskuit berjatuhan di atas piring. Dia mendorong piring itu ke arahku.
“Silakan,” ujarnya singkat, “ini biskuit pedas dariku.”
Aku tertawa kecil, tapi dalam hati tahu, seperti biasa, Narisa selalu punya cara membalas dengan elegan.
“Kalau kau bisa bikin teh seenak ini, apalagi dengan makanan yang kau buat, kenapa nggak kau jadikan tempat ini kafe?” tanyaku sambil menyeruput teh buatan Narisa.
“Begitukah?” jawabnya tanpa minat, matanya masih terpaku pada buku di depannya.
“Kau bisa kaya raya dengan berjualan semacam ini.”
“Benarkah?” Narisa mengangkat alis, menoleh sekilas ke arahku.
“Tidak-tidak, pasti itu buruk, karena …,” aku sengaja menggantungkan kalimatku.
Narisa menutup bukunya perlahan. “Karena apa, Dev?”
“Karena aku harus mengantre untuk mendapatkan tehmu,” jawabku dengan nada serius tapi sambil menahan tawa.
“Benar sekali, aku merasa telah merugi untuk menjadi serius sesaat tadi, tapi dari caramu bicara, kau sangat egois, memangnya hanya kau saja yang boleh minum teh buatanku?”
“Ah, ha ha ha,” Aku memang menikmati percakapan yang seperti ini. Meskipun tak jarang, kami saling diam, mungkin bingung karena tidak ada yang bisa diperbincangkan.
Kami terdiam sesaat. Suasana perpustakaan kembali tenang, hanya suara jarum jam yang berdetak pelan di kejauhan. Seolah terjebak dalam ruang hampa, tidak ada lagi yang bisa dibicarakan untuk sementara waktu.
“Jika tidak ada kegiatan, rasanya sepi juga, ya?” tanya Narisa setelah senyap cukup lama. “Feby juga langsung pulang. Rasanya sepi.”
“Kenapa tidak bikin ekskul saja? Kita bakalan punya basecamp ekskul terbesar di sekolah ini.”
Narisa mengangkat satu alisnya, pura-pura tertarik. “Ekskul apa, misalnya?”
“Ekskul tidur siang, atau … pulang ke rumah, atau…”
“Sudah kuduga, jika pemikiranmu semacam itu, Dev.”
“Itu hal yang kulakukan di sini, kan? Apa salahnya jika kita berpikir berbeda dari orang seperti biasanya.”
“Jadi, tidak melakukan apa-apa bisa kau sebut kegiatan, begitu maksudmu?”
“Jika semua mengira memilih atau melakukan sesuatu adalah alasan yang baik bagi semua orang maka jangan salahkan aku yang memilih untuk tidak melakukan sesuatu adalah pengalaman hidup yang luar biasa.” Sumpah, ngomong apa aku barusan.