1
Saatnya skors, ini hari paling menyenangkan. Aku merasa beruntung, bisa berpikir hukuman semacam ini adalah sebuah kenikmatan, bukan sebuah penghinaan. Bukan rasa bersalah yang kudapat, kebanggaan tersendiri tentunya, mendapatkan cuti resmi dari sebuah instansi secara gratis.
Ponsel berdering…
Panggilan tidak terjawab, Narisa.
Ah ini aneh, masih pukul 5.32, Narisa pasti hanya salah pencet.
Ponsel berdering…
Panggilan tidak terjawab, Narisa (2).
Aku biarkan saja, paling-paling dia hanya menelepon untuk mencari seseorang yang diledek saja, kan? Saat ponsel dalam posisi tidak ditelepon, langsung saja, pindah ke mode diam, hingga menunggu baterai habis. Beres, kan?
Panggilan tidak terjawab, Narisa (3).
Ponselku berdering dengan nada lain, nada pesan masuk. Kubiarkan saja, tapi malah pesan itu terus-terusan masuk.
Panggilan tidak terjawab, Narisa (10).
Pesan (15)
Tanganku tergerak untuk mengambil ponsel, membaca pesan WhatsApp. Tapi sebelum itu, alangkah baiknya membuat ponsel dalam mode luring, saat pesan itu dibaca, tidak akan tampil centang biru.
NARI_NARI
Ø Ada hukuman untuk kita yang kena skors, untuk menghadiri final olimpiade Vania.
Ø Tolong balas segera, Dev!!!!!!!!
Ø Kau harus tahu, apapun jenis ponselnya, manusia akan melihat ponselnya dengan jeda sepuluh menit paling lama ketika dia dalam posisi menganggur.
Ø Kau sebenarnya membaca dan mendengar ponselmu berdering, kan?
Ø Segera datang ke lokasi yang sudah kukirimkan.
Ø Kau tidak ingin mati, kan?
Membiarkan ponsel, saat malam hari nanti, aku cukup membalas dengan: “maaf tadi aku sibuk, lupa tidak melihat ponsel,” “Aku tidur seharian,” atau alasan pengalihan yang mantap akan membuatku selamat dari berbagai jenis kritik dan ledek, menjadi tidak tahu apa-apa adalah pilihan yang paling tepat dalam kasus ini.
Tarik selimut dan tiduran lagi, berharap bermimpi indah.
Tiba-tiba, terdengar suara keras dari kejauhan. "Devian!" Itu suara Kak Rin, tajam dan tak terhindarkan. "Bisa antar ke kota?"
Aku pura-pura tidur, menutup selimut ke kepala.
“Devian!” suaranya mendekat, selimutku ditarik. “Devian, kau tidak ingin air dalam wadah ini menemani tidurmu, kan?”
Dari sedikit air yang menetes, aku mengintip sedikit, tahu itu bukan air biasa, seperti air bekas cucian piring, berbusa.
Percuma. Jika Kak Rin sudah menginginkan sesuatu, tak ada pilihan lain selain menuruti kemauannya. Aku mendesah, bangkit dengan malas, berpura-pura mengucek-ngucek mata seolah baru terbangun.
"Baiklah..." gumamku, setengah hati.
"Segera bersiap. Aku tunggu sepuluh menit!" Kak Rin menghilang dari pintu kamarku, tapi suaranya masih terdengar jelas. "Pakai pakaian yang bebas, rapi, dan bersepatu. Sekali-sekali jalan-jalan dengan adik sendiri tidak masalah, kan? Mumpung libur kuliah!"
Aku hanya bisa menatap kosong pintu yang kini tertutup. Ketika Kak Rin sudah memutuskan, tak ada ruang untuk perlawanan.
Kak Rin mengeluarkan mobil dari garasi. Ini mengherankan, sejak kapan dia belajar mobil, apakah dia punya SIM?
“Jeng-jeng!” Kak Rin tersenyum bangga, memperlihatkan SIM di antara dua jarinya. “Sementara kau sibuk belajar soal kehidupan sosial, aku belajar menyetir dan mendapatkan SIM.”
Aku hanya bisa terpana. Aku memang bisa menyetir, tapi masih harus menunggu setidaknya dua tahun lagi untuk mendapatkan SIM sendiri. Bayangkan betapa repotnya jika Kak Rin tidak bisa menyetir ketika kita sekeluarga pergi. Dalam diam, aku kagum. Kak Rin selalu punya caranya sendiri untuk peduli pada keluarga ini, ya?
“Ingatlah untuk mengencangkan sabuk pengamanmu,” kata kak Rin.
“Aku tahu itu, aku tidak punya cukup keberanian untuk naik bersama seseorang yang baru saja mendapat SIM tanpa sabuk pengaman.”
Sulit dipercaya. Kak Rin, yang beberapa bulan lalu bahkan enggan menyentuh setir mobil, sekarang tampak begitu lihai.
“Mungkin ini takdir, Devian,” Kak Rin mulai berbicara lagi sambil menyetir. “Kau kena skors, aku libur. Jadi, kenapa tidak kita habiskan waktu dan uang dengan jalan-jalan ke kota? Ide bagus, bukan?”
Dia terus mengoceh, seolah perjalanan ini harus sempurna. “Ah, sayangnya Niva tidak dapat cuti seperti kau, Devian. Kalau saja dia juga kena skors, kita bisa jalan bertiga, seperti keluarga.”
Sejak Ibu meninggal, Kak Rin memang yang mengambil alih segalanya. Meskipun sebenarnya aku dan Niva bisa mengurus diri sendiri, Kak Rin selalu merasa bertanggung jawab. Ayah bekerja di luar kota, hanya menelepon beberapa hari sekali melalui Kak Rin, sekadar menanyakan kabar kami dan berbicara sedikit tentang sekolah.
“Kita bisa berekreasi dengan senang, meluapkan segala kekesalan yang kita punya.”
“Kak Rin sedang kesal?” Aku penasaran jika ada sesuatu yang bisa membuat dia kesal. Selama ini dia selalu tampak kuat.
“Ah, tidak-tidak, aku kesal pada diriku sendiri, aku iri padamu, kau bisa setenang ini setelah melakukan hal yang telah kau ceritakan, kau bahkan mengatakannya dengan jujur padaku,” Kak Rin senyum. “Aku jadi mengingat Ibu, setiap momen, Ibu bisa memberikan pelajaran besar. Mungkin kau tidak ingat, Devian, saat ulang tahunnya, aku membelikan roti tart. Ibu malah marah dan bilang: ‘Tak seharusnya kau merayakan ulang tahunku. Saat lahir, aku tidak melakukan apa-apa, aku hanya menangis dan merepotkan banyak orang. Berikan pada nenek, beliaulah yang bersusah payah di antara hidup dan mati melahirkan Ibu.’ Kemudian kita bersama-sama pergi ke rumah nenek dan memotong roti dan meniup lilin di sana.”
Aku jadi mengingat hal yang lain, menjelang kematian ibu, Kak Rin berdoa agar ibu panjang umur dan tetap sehat. Ibu yang dengar malah bilang: “Apa kamu ingin menyamakanku dengan iblis, Rin? Itu doa yang dibacakan iblis, mereka ingin panjang umur dan sehat selama-lamanya hingga kiamat! Kau harus paham, bisa jadi untuk saat ini keadaanku yang sekarang, adalah pilihan yang terbaik! Kalian harus tahu,” Ibu mengatakannya dengan nada yang cukup tinggi.
Kak Rin melanjutkan pembicaraan. “Pernah aku menyesali keputusanku, saat itu ibu sudah bilang padaku: ‘Saat masa-masa sepertimu, hati yang diisi dengan cinta perlahan akan menjadi rapuh hingga akhirnya hancur.’ Itu saat aku masih pacaran dengan Dion.”
Dulu, Kak Rin masih menggunakan kata ‘Mas’ untuk memanggil Mas Dion, bisa jadi, salah satu tanda bencinya adalah menghilangkan kata ‘Mas’.
“Bisa-bisanya, aku dicampakkan begitu saja setelah lama berpacaran. Aku tidak mengerti, mengapa dulu harus berkorban. Aku harus berkorban untuk menerima kekurangannya, berkorban membahagiakannya, berkorban menuruti apa yang dia inginkan,” Kak Rin memukul-mukul stir mobil. “Sial!”
“…”
“Aku malah melawan pendapat Ibu, membela Dion kalau dia cowok yang baik, pengertian, aku bangga dengan mengatakan: ‘Aku mencintai Dion, Ibu! Dion akan menjagaku selamanya, dia mencintaiku.’ Ahhh!”
Keheningan menyelimuti kami sejenak. Akhirnya, aku memberanikan diri bertanya, “Jadi, kita mau kemana?” Sebuah pertanyaan ringan untuk memecah suasana.
“Jangan khawatir semua rencananya ada di sini,” kata Kak Rin sambil menunjuk kepala.
Untung saja dia tidak menunjuk dengkulnya, kan?
“Aku peringatkan, kau jangan sekali-kali kecewakan Narisa, Devian.” Kak Rin berbicara lagi setelah diam beberapa saat. “Kau sudah pacaran dengannya, kan?”
Menurutku, kesempatan yang paling tepat untuk bicara adalah saat seorang cewek ketika bertanya, ini juga berlaku untuk cewek yang lebih tua sekalipun. Namun, tentu saja pertanyaan Kak Rin membuatku terkejut, menggunakan label pacaran untuk mendeskripsikan hubungan anehku dengan Narisa.
Aku kaget mendengar namanya disebut. “Narisa? Apa maksudnya?”
“Kau pacaran dengannya, kan?” tanya Kak Rin, menatapku dengan pandangan penuh tanya.
Aku terdiam sejenak. Pacaran? Dengan Narisa? Ini hal yang paling aneh. “Dari mana Kakak dapat ide seperti itu? Tentu saja tidak. Narisa… dia cuma…” Aku berhenti, bingung bagaimana mendeskripsikan hubungan kami. “Dia seseorang yang paling tidak ingin kutemui hari ini.”
“Waw, waw. Narisa datang saat malam dan itu untuk pertama kalinya kau membawa seorang cewek sehat, cantik, dan baik ke rumah. Bahkan dia mampu menyesuaikan diri dengan sopan, dia luar biasa, kau beruntung bisa bersama dengannya walau satu malam.”
“Dia itu idola sekolah,” Aku mengatakannya dengan bangga, seolah itu prestasi besar bisa membawa orang hebat ke rumah. “Itu prestasi yang tidak akan bisa Kak Rin dapat sewaktu sekolah,” Aku meledeknya.
“Kita sampai!” Kak Rin semangat, turun dari mobil dengan cepat, aku segera menyusulnya.
Jika kami berduaan, bisa dibilang seperti kencan, wajah Kak Rin yang memang seperti masih pelajar, dengan wajahku yang menyeramkan, ditambah tinggiku yang hanya selisih lima senti lebih tinggi darinya. Semua orang tidak akan pernah mempermasalahkan laki-laki berumur kencan dengan gadis yang lebih muda, kan?
Namun, baru beberapa meter kami berjalan, aku mendadak berbalik arah, langkahku segera menuju mobil lagi. Di depan sana, hanya beberapa langkah dari kami, berdiri sosok yang paling tidak ingin kutemui hari ini. Narisa.
“Mau ke mana?” Kak Rin dengan sigap menarik kerah bajuku dari belakang, menghentikan langkahku seolah-olah aku anak kecil yang mencoba kabur.
Di depanku, hanya beberapa meter dari tempat kami turun, Narisa tersenyum. Senyum yang licik, aku tahu pasti dia merencanakan sesuatu. Dia pasti menggunakan Kak Rin untuk memancingku keluar menikmati hari ini di tengah skors. Ini pasti tempat olimpiade Vania.
“Baiklah, aku mengerti,” Aku berhenti.
“Kau tidak membaca pesan dariku, Dev?” tanya Narisa dengan poker face-nya. Pintar sekali dia bercanda.