NARISA

Mukhlis Hidayatulloh
Chapter #17

Enam Belas

1

Menurutku, nggak mesti baik untuk menjadi sok perhatian dan sok tahu, seperti Levi dan Narisa yang mungkin menganggapku menanggung beban sendirian sehingga kena skors satu minggu adalah penghinaan atau hukuman yang membuatku stress. Padahal dalam hatiku paling dalam, aku ingin benar-benar menikmati cuti gratis itu, dengan kegiatan menyendiri yang berkualitas semacam hibernasi, sungguh. Perbuatan penyelamatan diri semacam ini tidak selalu bijak, tidak semua orang sama, tidak selalu bersama itu baik, terkadang sendirian itu juga baik.

Begitu motorku terparkir, aku berjalan santai menuju kelas. Langkahku ringan, tanpa beban, meskipun bisikan-bisikan tidak menyenangkan mulai terdengar di sekitarku.

 “Mengerikan, dia menghina pahlawan dengan sombongnya.”

“Lebih baik, kita menjauh dari orang semacam dia sebelum terkena masalah.”

“Gara-gara orang seperti dia, Levi dan Narisa ikut diskors, dia membuat orang-orang kena masalah.”

Aku mengabaikan semua itu. Tidak ada gunanya meladeni bisik-bisik seperti itu. Yang perlu kulakukan hanyalah tetap berjalan lurus, fokus pada tujuan. Earphone sudah terpasang di telingaku, mengalunkan instrumen rock yang menemani setiap langkahku, melodi keras yang mendorongku untuk tetap kuat, tidak goyah oleh opini orang, meskipun ada perasaan berdebar tidak enak menemani setiap langkahku.

 Tatapan itu terlihat lagi, sorot tajam penuh benci dari beberapa orang di kelas. Aku tidak peduli, atau yang lebih tepatnya adalah mencoba untuk bersikap bodoh amat. Aang perlu kulakukan hanya segera duduk di bangku pojok kiri belakang, menikmati pelajaran yang diberikan guru.

Ini mengingatkanku pada masa ketika aku masih kelas sepuluh, saat masa orientasi siswa (MOS, yang lebih terasa seperti parade penghinaan ketimbang penyambutan. Kami, seluruh siswa baru, dihukum di lapangan. Kostum kami? Jangan ditanya. Topi dari koran yang lusuh, tas plastik daur ulang yang diikat dengan tali, dan desain kelabang di sana-sini, jumlah kelabangnya disesuaikan dengan tanggal lahir masing-masing. Setiap hari, kami membawa berbagai macam benda aneh, permintaan absurd dari panitia OSIS. Dan tiap hari pula, kami menerima bentakan, cemoohan, serta kata-kata kasar.

“Kalian sudah SMA, harusnya bisa tidak telat, hormat, menyapa pada kakak kelas.”

“Membawa amanah begini saja nggak bisa, bagaimana kalian bisa diberi amanah yang besar, kalau begini saja nggak becus!”

Apel di lapangan terasa mencekam, dengan atmosfer penuh tekanan. Tapi aku, hari itu, maju ke depan. Tidak seperti teman-teman lainnya yang patuh, mengenakan semua atribut MOS, aku dengan percaya diri tampil tanpa apa-apa. Tidak ada rompi konyol, tidak ada tas plastik. Aku hanya mengenakan seragam sekolah SMP yang biasa.

“Eh, lihat ini! Anak ini maju tanpa atribut apa pun! Mau sok-sokan bela teman, ya?” teriak seorang senior perempuan bertubuh kecil tapi penuh rasa percaya diri. Nadanya sombong sekali, hampir memuakkan. “Ayo, ngomong kalau berani!”

Aku menunggu saat yang tepat, mencoba memikirkan kata-kata yang baik untuk bicara. Saat semua kakak kelas belum selesai bicara semua, aku mengatakan sepatah kata, kemudian mereka malah bilang: “Nggak sopan, memotong pembicaraan orang, sudah SMA nggak ngerti adab!”

Ngomong salah, nggak ngomong juga salah.

Kami dibagi menjadi dua, siswa yang taat peraturan dikumpulkan di sebelah kanan, siswa yang atributnya tidak lengkap dan pernah melakukan kesalahan berada di sisi kiri. Aku di mana? Sudah jelas, aku selalu di depan menjadi bulan-bulanan karena sama sekali tidak menjalankan perintah apapun dari panitia.

Panitia mencoba memainkan strategi yang disebut "manajemen konflik." Mereka mempertanyakan bagaimana siswa yang “bermasalah” seperti kami di sisi kiri akan bertahan. “Mau dibawa ke mana siswa-siswa yang selalu salah ini?” tanya mereka dengan nada sok otoritatif.

“Diem aja, kalian nggak lulus MOS nggak bisa sekolah!” itu senior kami membentak-bentak.

Di sisi kanan, siswa yang taat aturan juga tidak lepas dari tekanan. Panitia mempertanyakan keegoisan mereka. “Kalian tega membiarkan teman-teman kalian di sisi kiri seperti itu? Kalian egois, sok benar!”

Megaphone itu tiba-tiba disodorkan ke tanganku. “Nih, kamu! Ngomong! Biar semua dengar!” kata salah seorang panitia, senior cowok dengan wajah dingin.

Ternyata hanya sedikit sekali siswa sepertiku yang berbaris di depan yang sama sekali tidak memakai atribut yang diperintahkan panitia, sisi kiriku adalah teman seangkatanku yang banyak melakukan kesalahan dalam segi aturan dan atribut dan sebelah kanan dari penglihatanku adalah teman seangkatan yang melakukan semua instruksi dengan benar. Sekarang aku memegang megaphone dan menghadap mereka semua.

Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Dalam hatiku, aku tahu inilah saatnya. Aku harus mengatakan sesuatu, sesuatu yang akan membuat mereka paham, bahwa kami tidak bisa terus-menerus diperlakukan seperti ini. Dengan mantap, aku menggenggam megaphone itu, memandang ke arah teman-temanku yang berdiri berbaris rapi di sisi lapangan. Lalu, dengan suara yang cukup lantang, aku berkata, “Kakak senior, kami nggak takut. Jumlah kami ada empat ratus lebih! Kami bisa menyerang kalian sekarang, loh!”

Suara itu menggema di lapangan, membuat suasana sesaat sunyi. Aku berharap, dengan ucapan ini, teman-temanku akan berdiri bersamaku. Menggunakan kekuatan jumlah, aku yakin bisa menggoyahkan otoritas mereka.  

“Lihat nih, teman kalian ini, dia sudah nggak pakai atribut, sekarang mau ngajak berkelahi pula!” seru seorang senior cowok yang tinggi dengan rambut cepak. Nadanya mengejek, seolah dia baru saja menemukan lelucon terbaik hari ini.

“Sok jago banget!” sahut seorang lagi dari barisan senior.

“Berani-beraninya ngajak main fisik, mentang-mentang banyak!” tambah yang lain dengan nada menghina.

Sialnya, bukan solidaritas yang kudapatkan. Justru sebaliknya. Teman-teman seangkatanku, yang semula kukira akan berdiri bersamaku, mulai bergumam pelan. Beberapa mundur perlahan, menjauhi tempat aku berdiri.

“Kita nggak butuh orang kayak dia!” seru seseorang dari kerumunan siswa baru.

“Dia cuma bikin masalah! Gara-gara dia, kita semua bisa nggak lulus MOS!” tambah yang lain.

“Biar dia aja yang kena hukuman! Kita nggak mau ikut-ikutan,” suara-suara itu terus berdatangan. Bahkan, makin lama makin keras.

Biar dia sendiri saja yang mendapatkan Masa Orientasi setahun!

Satu per satu, teman-temanku berbalik melawanku, tak ada yang mau mendukungku. Mereka takut pada ancaman senior, siapa pun yang tidak lulus MOS akan dipaksa mengikuti MOS selama satu tahun penuh. Dan aku, yang tadinya berharap bisa menggalang perlawanan, kini sendirian.

Hal yang aku dapatkan saat momen ini: ketakutan itu menular. Dan saat ketakutan menular, solidaritas akan mudah rapuh.

“Dia layak dihukum!”

“Kami nggak butuh orang yang melanggar aturan!”

“Biar dia saja yang kena orientasi selama satu tahun!”

Senior-senior yang tadinya seolah sedang menikmati tontonan ini, kini mulai bergerak. Mereka menggiringku dengan cepat menuju sebuah ruangan. Ruang yang terasa dingin. Aku tahu, ini bukan tempat untuk diskusi, ini tempat eksekusi. Mereka mengeroyokku secara non fisik, melontarkan caci maki seolah aku adalah musuh besar mereka. Tatapan mereka tajam, wajah-wajah itu mendekat begitu dekat ke wajahku hingga aku bisa merasakan embusan napas mereka, bahkan percikan kecil air liur mereka mendarat di pipiku. Tidak ada penyesalan di mata mereka. Bagi mereka, ini hanyalah cara untuk menegaskan kekuasaan.

Waktu terasa melambat. Aku tidak ingat apa yang terjadi setelahnya. Hanya ada kebisingan, kebencian, dan ketidakberdayaan.

Ketika aku keluar dari ruangan itu, teman-temanku sudah merayakan apa yang mereka anggap sebagai kemenangan. Sorak-sorai terdengar. Mereka tersenyum lebar, beberapa bahkan menangis terharu.

"Akhirnya kita lulus MOS!" teriak seseorang dengan wajah berseri-seri.

"Kita bisa sekolah!" sahut yang lain, melompat-lompat kegirangan.

Namun, berbeda dengan mereka, aku berdiri sendirian. Rasanya seperti dunia berputar terbalik. Aku tidak mendapatkan kebahagiaan seperti mereka, hanya tatapan penuh kebencian yang mengikutiku. Tatapan dari tiga angkatan sekaligus, dua angkatan senior ditambah teman seangkatan. Namaku sudah terkenal sekarang, bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai orang yang keji, pemberontak yang tak diinginkan.

Dan di tengah semua itu, aku hanya bisa bertanya-tanya, benarkah aku yang salah? Atau justru sistem ini yang terlalu kejam?

Kembali ke bagaimana aku di kelas sekarang. Tatapan kebencian yang sudah lama hilang, kembali tumbuh. Aku terbiasa menerima hal semacam ini. Sebagai seorang veteran yang berulang kali menerima ‘tatapan’ itu, aku mulai terbiasa kalah, mencoba mencari kenikmatan dalam semua peristiwa, sehingga aku menyimpulkan sendirian itu menyenangkan.

Diam-diam, aku memutuskan bagaimana aku menjalani sekolah ke depan. Aku akan serius dalam menerima pelajaran kali ini. Akan kubuktikan bahwa mereka yang meremehkanku akan terkejut di akhir. Nilai terbaik? Itu akan menjadi milikku. Aku tidak perlu teriak-teriak, tidak perlu berusaha keras di depan mereka. Tidak perlu pamer, bertanya, atau maju ke depan kelas untuk menjawab soal demi soal yang diberikan guru. Aku tidak perlu membuang waktu untuk pergi les privat ke rumah guru seperti mereka.

Tidak. Caraku berbeda. Aku akan melampaui mereka tanpa mereka sadari. Di balik ketenangan ini, aku berjuang dalam diam. Dan ketika hasil ujian tiba, mereka akan tercengang melihat nilainya. Mereka yang selama ini merasa paling pintar, merasa paling berusaha keras, akan kaget ketika aku mengungguli mereka tanpa terlihat melakukan apa-apa.

Ini kesenanganku, menghancurkan ekspektasi orang-orang yang meremehkanku. Mengalahkan mereka yang merasa berusaha keras, dengan cara yang sama sekali tidak mereka duga. Bagi mereka, aku mungkin hanya bayangan di sudut kelas. Tapi pada akhirnya, bayangan inilah yang akan berdiri di puncak.

Aku akan buktikan. Waktu ini tidak akan kusia-siakan. Tidak ada kesibukan lain yang lebih menarik selain ini. Tepatnya, menghancurkan kesombongan orang-orang yang mengira bahwa mereka selalu di atas.

Pukul 13.00, bel pulang berbunyi. Aku merapikan binder—satu-satunya buku yang kubawa setiap hari—memasukkannya ke dalam tas, lalu memasang earphone. Seperti biasa, aku bergegas meninggalkan kelas menuju parkiran dengan langkah cepat, berusaha menutup telinga dari segala kebisingan di sekitarku.

Aku melihat Fir dan Levi berusaha membangunkan Ted yang tertidur sambil duduk dengan kepala di meja. Aku melewati mereka dengan santai. “Aku duluan,” kataku tanpa memperlambat langkah.

Levi dan Fir mengangguk, aku melihat Ted menguap setelah dibangunkan, bergaya seperti orang yang tidak bisa melihat!

“Dimana kacamataku?” tanyanya. Padahal jelas-jelas ada di jidatnya. Seketika membuatku tidak jadi pulang.

“Kalian lihat kacamataku, nggak?” Ted bertanya.

“Jatuh di ruang musik, mungkin?” jawab Fir dengan meyakinkan.

Aku melongo. Apa yang lain nggak lihat kalau kacamatanya jelas-jelas ada di jidatnya?

“Kacamata, kacamata, dimana!!!” Ted panik. “Gawat, bagaimana aku harus berlomba piano tanpa kacamata!!!”

“Habis ngapain aja, Ted?” tanya Levi tenang. “Kira-kira kapan hilangnya?”

“Tadi habis makan-makan kentang goreng bareng Feby, terus hilang?” Ted berjalan dan meraba-raba untuk mencari kacamatanya. “Mungkin di tempat Feby, ya?”

Hoy, itu kan mimpimu, Ted? Bukannya seharian ini kau tidur, bahkan saat istirahat juga, kan?

Levi tiba-tiba mendapatkan pesan dari Feby. “Dia bilang sedang di ruang musik dua. Mungkin kacamatamu ada di sana.”

Saat jalan menuju tempat Feby, aku menyikut Levi. “Bukannya kacamatanya ada di situ, ya?” kataku sambil menunjuk kepala Ted yang berada di depan kami.

“Mana? Nggak kelihatan?” kata Levi serius.

Saat aku tanya Fir, jawabannya juga sama. Nih serius atau bagaimana, sih? Jelas-jelas nempel di jidatnya, kan?

Begitu sampai di ruang musik, Feby sudah menunggu bersama seorang temannya. Ted langsung mendekati Feby.

“Feby, kau nggak lihat kacamataku, kan?” Ted bertanya dengan nada cemas.

“Tidak lihat. Tapi, saat makan bareng, aku tadi masih melihat kacamatamu terpakai,” Feby senyum.

Ted, Fir, dan Levy mengelilingi ruang musik untuk mencari kaca mata Ted.

Aku mendekat ke Feby yang lagi sendiri. “Sejak kapan kalian makan bareng?” tanyaku dengan suara lirih.

“Kau cemburu?”

Hah?

“Di sekitar sini tidak ada,” kata Fir sambil melihat-lihat di sekitar loker.

Aku semakin bingung. “Hey, Ted. Sebelum bersama Feby, kau berada di mana?” tanyaku sambil menatap Ted yang sedang meraba-raba terompet. Serius? Nggak mungkin kacamata masuk terompet, kan?

 

“Dia jalan-jalan di taman!” malah Feby yang menjawab, dia mendekati kami.

Ted tampak tersadar seperti mendapat ilham. “Kita jalan-jalan di taman sambil baca komik…,” dia berhenti sejenak, lalu dengan nada penuh keyakinan, dia melanjutkan, “Si Juki!”

“Si Juki,” sahut Feby. “Iya, bener, Si Juki.”

Ted seperti menemukan potongan teka-teki yang hilang. “Bingo! Komik Si Juki! Ayo kita cari di taman sekolah!” Dengan semangat tinggi, Ted menarik tangan Levi, mengajaknya berlari ke taman.

Tunggu! Dari mana Feby tahu isi mimpi Ted? Aku ingatkan lagi, seharian dia ada di kelas, Ted nggak keluar kelas sama sekali!

Kami berempat akhirnya tiba di taman, mencari dengan teliti di rerumputan. Feby mengikuti kami dari belakang, terlihat tenang seperti tak ada yang aneh. Tapi di kepalaku, semua ini mulai terasa aneh. Apa yang sedang kulakukan? Apakah mereka benar-benar tidak sadar, atau mereka semua hanya pura-pura mengikuti alur cerita Ted?

Tiba-tiba, suara keras terdengar. “Aduh!” Levi dan Ted bersamaan berteriak kesakitan. Aku menoleh dan melihat mereka terjatuh, sepertinya kepala mereka bertabrakan. Yang lain mendekat dengan tergesa-gesa.

“Ted, bukannya kacamatamu nempel di jidatmu?” tanya Levi sambil memegang kepalanya yang kayaknya masih nyut-nyutan.

Ted meraba jidatnya, lalu terdiam sejenak sebelum senyum lebar mengembang di wajahnya. “Akhirnya ketemu!” katanya, suaranya sedikit parau dengan mata yang tampak berkaca-kaca. Ada campuran lega dan tawa yang tertahan.

Lihat selengkapnya