Aku menjalani sekolah seperti biasa, beberapa hari ini juga terkadang mampir ke perpustakaan tiga, menikmati kesunyian di balik cubicle Perpustakaan Tiga.
Beberapa kali juga Narisa menolak cowok dengan caranya yang halus: “Kuharap, kamu bisa bersama dengan orang yang mencintaimu dan yang kamu sayangi.”
Menikmati buku-buku lama di perpustakaan tiga memang nikmat, seluruh pandanganmu bisa fokus, tertutup cubicle.
“Dev, ini sudah hari keempat Feby tidak masuk, kita tidak menjenguknya?” Narisa berada di belakangku ternyata.
Untuk masalah Feby, aku tidak tahu, hatiku selalu merasa rela. Aku biarkan saja semua misteri kebenaran hubungan CCTV dan kedatanganku di perpustakaan tiga, atau motif Narisa menelpon saat penembakan Roy.
“Apa di sekolah ini tidak ada yang benar-benar peduli dengan Feby?” tanyaku. Narisa sudah duduk kursi yang ada di cubicle sebelah kananku.
“Pada dasarnya, orang-orang hanya memberi bantuan dengan egois untuk kepentingan mereka sendiri.”
Berarti sebenarnya kita juga punya keinginan egois saat menolong Feby, ya?
Kami melaju di atas motor, Narisa duduk di belakang, memegang tas belanjaan kecil. Angin sore menerpa wajahku, silau matahari dari barat tepat mengenai mata.
“Kau nggak mau tanya sesuatu?” tanya Narisa, tiba-tiba. Suaranya terdengar jelas di antara deru motor.
Aku diam.
“Aku cuma takut kau bikin kesimpulan sendiri soal apa yang terjadi. Harusnya kau tanya tentang CCTV itu.”
“…”
Narisa tertawa kecil, lalu sedikit mengeratkan pegangannya di bahuku. “Kau bisa ngambek juga ternyata, ya?” Aku mendengar dia ketawa agak lirih.
Aku mendengus. “Kalau kau cari orang jujur, carilah bendahara kelas. Dia makhluk langka yang nggak korupsi meski digaji nol rupiah selama setahun.”
“Tuh, kalau ngomong kayak…, mendung mau hujan,” Narisa malah ketawa. Aku jadi menyadari, kalau aku sebenarnya agak ngambek. Kenapa aku jadi ngambek?
Tak lama, kami berhenti di depan kios martabak. Narisa turun duluan, meninggalkan aku yang masih duduk di motor sambil tetap memakai helm. Dia melirikku, senyum nakal mengembang di wajahnya. “Feby suka martabak ini. Aku sih ragu kau mau makan.
“Memangnya kau pikir aku makan apa?”
“Bubur, susu?”
“Itu makanan bayi!”
“Atau semacam kaca, kayu, batu? Kau tidak jauh beda dengan kuda lumping.”
Aku tertawa sarkastis. “Kau pikir aku kesurupan?”
“Teh manis, gudeg?”
Yang ini agak normal. “Apa yang di pikiranmu sehingga aku memakan gudeg dan teh manis?”
“Untuk mengobati kehidupanmu yang pahit diperlukan sesuatu yang manis,” Narisa ketawa.
Dia tertawa lepas, sementara aku hanya bisa memutar mata. Setelah itu, dia menerima martabak yang sudah dibungkus dan membayar. Sambil menyerahkan uang, Narisa menoleh ke abang penjual dan berkata, “Bang, lihat deh. Cowok ini nggak tahu sopan santun, masih pakai helm dan malah biarin aku yang bayar martabak!”
“Mas, kalau ngajak cewek, yang bener. Masak bonceng cewek cantik pakai motor bebek, nggak nraktir lagi. Ck ck ck,” Abang penjual martabak geleng-geleng kepala melihat kelakukanku.
“Suatu saat akan kubeli semua martabaknya!” kataku, pura-pura kesal.
“Kenapa emangnya mas?” Eh, malah ditanggepin sama penjual martabak.
Kenapa ya? Aku malah berpikir kalau: “Biar seluruh dunia ini tidak kebagian martabak abang!”
Ke-sotoy-an yang kubuat malah membuat mereka ketawa.
“Bang, gitu ya sekarang, sombong banget!” Aku melanjutkan ‘pertunjukan’ yang lain.
“Sombong gimana mas? Saya cuma jual martabak doang.”
“Nah, berarti sudah nggak butuh martabak, ya?”
Penjual martabak melongo, bingung.
“Kalau orang nggak butuh televisi, kan mereka jual. Nah Abang nggak butuh martabak, ya?”
“Sudahlah, Bang. Jangan diambil pusing. Orang ini memang suka ngaco,” Narisa berkata dengan nada setengah ketus tapi senyumnya masih lebar.
Si abang menggeleng, sambil tertawa. “Kalian berdua cocok banget, deh. Pasangan yang akur.”
Narisa langsung pura-pura malu, memasang ekspresi sok kalem sambil menutupi wajah dengan kedua tangan. Aku cuma bisa menatapnya dan tertawa kecil, merasa bahwa, entah bagaimana, di tengah segala kekacauan, momen-momen seperti ini adalah yang paling menyenangkan.
“Dev, apakah sekolahmu menyenangkan?” kata Feby dengan suara parau dan tetap tersenyum ketika kami berada di ruangannya.
“Sama sekali tidak, aku lebih sering hadir di perpustakaan tiga, lagian mengapa kau mengatakan hal yang sudah pasti, Feb?” Aku berusaha menjawabnya agak sombong.
“Kalau belajarnya sama Narisa apakah menyenangkan?”
“Sama saja tidak, namanya belajar. Jadi kau pikir kenapa aku harus belajar, Feb?”
Sebelum Feby sempat menjawab, Narisa langsung menyela dengan nada ketus. "Karena kau bodoh, Dev. Itu udah jelas!" Narisa malah tertawa kecil. "Aku nggak pernah punya masalah belajar seumur hidup, jadi aku nggak ngerti kenapa kau kayak selalu kesulitan."
Feby ketawa. “Menangnya kau tidak ingin kuliah di universitas?”
“Maksudmu tempat untuk menunda pekerjaan selama empat tahun? Aku ini calon pengusaha, semua profesor akan menjadi tuyul untuk mencari uang demi diriku,” Aku menyombongkan diri.
Sebenarnya, sampai saat ini aku tidak mengerti mengenai keadaan Feby secara pasti, beberapa minggu yang lalu aku bersama dia dalam keadaan yang sangat sehat, dia bisa berjalan normal, tangannya bisa digerakkan dengan bebas, juga tidak kutemukan sedikitpun bekas kecelakaan dari tangan ataupun kakinya.