1
Bulan September akhir, artinya UTS.
Aku mengerjakan ujian sendiri, tidak menerima ataupun memberi contekan pada siapapun. Aku cukup muak dengan memberi contekan, tapi ternyata dia tidak mau memberikan contekan padaku, dengan mengatakan, “Aku belum mengerjakannya”, “aku nggak bisa” atau alasan yang lain. Ketika aku melihat hasil akhirnya, aku sering tidak menduga, seseorang yang minta contekan mendapat hasil yang lebih baik dariku. Hal semacam ini juga berlaku untuk tugas atau pekerjaan rumah. Aku muak dengan sebutan, “kita kan, sahabat” untuk dapat mencontek di pagi hari sebelum pelajaran di mulai atau meminta foto hasil pekerjaan rumahku.
Tahun ini, aku berbeda. Aku sudah lama tidak latihan ataupun main basket. Aku tidak lagi membiarkan diriku punya alasan untuk gagal. Tidak ada ruang untuk jadi bodoh di kelas ini.
Di kelas, aku sering mendengar percakapan-percakapan yang membuatku semakin yakin betapa munafiknya manusia. Contohnya pagi ini. Di depanku, Sherly, gadis yang aktif di kelas, rajin angkat tangan dan sok pintar, bertanya pada Rika.
“Nilaiku jelek, Sher,” jawab Rika pelan saat ditanya.
“Berapa?” Sherly mengerutkan kening, seperti tidak percaya.
“Kamu berapa dulu?” Rika malah balik bertanya, suaranya tetap tenang.
“Aku dapat 90.” Sherly menjawab dengan nada bangga. Tapi senyumnya langsung memudar ketika Rika berkata pelan, hampir tak terdengar, “Aku cuma 95.”
Kata ‘cuma’ itu terdengar seperti tamparan keras bagi Sherly. Aku yang mendengar nada lugu Rika justru merasa kesal. Kenapa orang seperti Rika harus merasa malu dengan nilainya? Dan kenapa Sherly begitu ingin tahu kalau akhirnya dia akan kecewa?
“Wah, selamat ya,” kata Sherly, tapi jelas-jelas nada suaranya berubah. Kekecewaan terpancar jelas di matanya. Aku tahu apa yang dia harapkan. Dia ingin nilai Rika lebih rendah dari miliknya, agar ia bisa merasa lebih baik. Itu menyenangkan, bukan? Mengetahui seseorang tidak lebih baik darimu. Aku bisa saja menghancurkan perasaannya dengan mudah. Cukup dengan berkata: ‘Aku dapat 100.’
Menyenangkan melihat orang lain lebih bodoh darimu. Memandang rendah orang lain itu seperti candu. Kau akan terus merasa lebih baik ketika orang lain tidak sebaik dirimu. Ini fakta. Kebohongan besar kalau kau bilang bahagia melihat orang lain sukses.
Petuah seperti “Senanglah jika tetanggamu bahagia” hanyalah omong kosong manusia. Kalau bisa jujur, mereka hanya pura-pura senang. Karena di dalam hati kecil mereka, ada rasa iri yang tidak terucapkan.
Dengan nilaiku yang tinggi, aku bisa sangat percaya diri melihat nilaiku di papan pengumuman.
Di sana, aku melihat satu nama tetap kokoh di puncak klasemen: Narisa. Aku tidak kaget, dia memang selalu ada di sana, tidak tergoyahkan. Bagaimana bisa dia mendapatkan nilai setinggi itu setiap saat? Rasanya seperti dia bukan manusia biasa. Aku terus menggeser pandanganku ke bawah, mencari namaku sendiri. Akhirnya kutemukan: dua puluhan. Yah, tidak buruk.
Tapi ada satu kepuasan aneh dalam hatiku. Cukup menyenangkan melihat mereka yang selalu memandangku sebelah mata, kalah dariku. Mereka yang berjuang mati-matian, harus menerima kenyataan pahit bahwa orang sepertiku, yang tidak terlihat serius, tidak terlihat ambisius, ternyata lebih unggul. Aku bisa puas mengejek mereka dalam hati. Bodoh-bodoh-bodoh!
Keluar dari kerumunan dengan hati puas. Rasain! Dikalahkan orang yang tidak punya visi menang dan nggak niat menang memang sakit, kan?
Tiba-tiba, “Hoy!” seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku menoleh sebentar, seorang cewek cantik berkaca-mata dengan rambut hitam legam, tingginya beberapa senti saja dariku, aku kaget namun langsung mengabaikannya. Berjalan lagi menjauh tanpa memedulikannya.
Dia tiba-tiba berada di depanku, membawa buku besar, semacam buku paket pelajaran, mungkin.
“Kau nggak kenal aku?” tanyanya, wajahnya sedikit menantang.
“Nggak.”
Dari kesan pertama, dia tampak seperti orang yang gampang dibohongi.
“Kau yang buat kerusuhan dan sekarang dekat dengan Narisa, kan?”
“Kau siapa?” tanyaku.
“Sudah kuduga, kau memang tidak mengenalku.”
Memangnya penting? Nggak, kan?
“Memangnya kau terkenal?”
“Aku Renita, orang yang mendapat peringkat kedua dalam UTS. Aku juga wakil dari OSIS, sama seperti Levi.”
Aku berpura-pura kagum. “Hebat, kau ikut OSIS dan mendapat peringkat dua!”
“Kau meremehkanku?” wajahnya mendadak seperti marah.
“HAH!?” Meremehkan dari mana?
“Nilaiku selalu saja di bawah Narisa ketika ujian, suatu saat aku akan mengalahkannya.”
“Mengapa pagi-pagi kau pegang kitab suci,” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan yang nggak penting. Sebenarnya pertanyaanku juga nggak penting sih.
“Hah? Ini buku, buku soal-soal. Kau nggak lihat?”
Aku malah mengajaknya bercanda. “Aku hanya berpikir… kau seperti akan melemparnya.”
Renita melemparnya ke arah wajahku, untung aku reflek untuk menangkisnya.
“Rasain!” katanya, puas. “Itu balasan karena kau meremehkan senjataku.”
Aku malah mengambil bukunya dan memberikannya. “Aku nggak tahu berapa nilai ujianmu, tetap saja kau hebat, mendapatkan peringkat dua itu sulit. Tapi… hanya saja kau melawan orang yang salah.”
“Setidaknya dalam seumur hidupku ini, aku ingin menang sekali dari Narisa. Narisa memang sempurna, cantik, pintar, bisa melakukan apapun. Dia seperti putri di dunia nyata. Aku heran kenapa Narisa bisa berteman denganmu yang peringkatnya tidak tinggi-tinggi amat.”
Aku berpura-pura mendengarnya secara antusias.
“Jadi untuk apa semua ini? Aku menyiapkan diri untuk menjadi juara! Bahkan saat temanku pergi karaoke, shopping atau ekstakurikuler, aku harus pergi les. Aku tidak pernah ikut bersenang-senang karena aku tidak mau malas-malasan dan menyesal. Aku selalu memaksakan segalanya untuk bisa mengalahkan Narisa! Tapi pada akhirnya itu sia-sia, sangat sia-sia, itu semua sia-sia jika aku gagal!!! Dunia ini benar-benar tidak adil. Orang biasa sepertiku tidak punya kesempatan. Seakan Narisa memberi kesempatan dan motivasi untuk menjadi seperti dirinya, namun sekarang aku seakan tahu, aku tidak akan mampu mengejarnya. Kami biasa berjuang sekeras mungkin, tapi itu semua sia-sia. Kerja kerasku tidak akan terbayarkan! Kami melakukan sebisa kami, tapi kami tidak bisa mencapai apapun!”
Seharusnya, dia tahu, mengatakan hal semacam itu di depan orang yang nilaianya lebih rendah itu…, terasa… gimana, ya?
“Peringkat bukanlah segalanya, Rey! Baguslah kau membuat Narisa seakan menjadi sainganmu, Narisa bisa membuatmu berkembang lebih cepat daripada diajari oleh seseorang. Kalau belum apa-apa sudah menyerah, percuma saja kau hidup!” Aku mencoba membuat kata-kata yang indah.
Renita mendelik tajam. “Kau peringkat dua puluhan, apa kau bilang sesuatu barusan?”
“Aku ada di peringkat dua puluhan, turun lagi. Siapapun yang hidup dan mati karena peringkat, itu bukanlah orang yang istimewa.”
“Bukan orang yang istimewa?!” Renita agak geram. “Lucu sekali, turun dan jeleknya peringkatmu, apakah itu istimewa, hah!!!”
Aku mengangkat bahu, tidak berniat melanjutkan debat bodoh ini.
“Di sekolah ini, peringkat dibutuhkan untuk mendapatkan perbedaan kita dalam hak dan status.”
“Pasti berbeda karena kau peringkat dua, ya?”
“Tentu saja!” Dia membanggakan diri. “Aku akan mendapatkan beasiswa dari sekolah ini, kemudahan dalam promosi jabatan OSIS, dan…,”
Aku malah meninggalkannya, memuakkan mendengar orang yang terus membanggakan dirinya seperti itu. “Aku pergi dulu, nomor dua!!!”
Aku tidak mungkin meladeni orang seperti dia, kali ini aku putar balik dan pergi.
Renita berseru di belakangku, jelas kesal. “Setidaknya ingat namaku baik-baik!”
Aku terkekeh pelan, merasa cukup puas dengan percakapan absurd pagi ini. Kadang, mendengar orang lain marah karena hal sepele itu cukup menyenangkan.