NARISA

Mukhlis Hidayatulloh
Chapter #20

Sembilan Belas

1

Sedikit cerita bagaimana proses aku menjadi batu dalam penampilan drama kelas.

Kelasku berkolaborasi dengan kelas X dan XII untuk festival sekolah, drama Malin Kundang Modern, bukan Malin Kundangnya yang menjadi batu, melainkan ibunya. Jika Malin Kundang biasa menikah dengan gadis kaya dan menghianati orang tuanya, ini kebalikannya. Ibu menikah dengan bangsawan kaya dan menjadikan Malin Kundang sebagai pembantu.

“Bagaimana jika Malin Kundang itu, Devian? Dia berbakat untuk hal semacam ini, kan?” Reyna, teman sekelasku yang berambut semi biru mengatakannya dengan meyakinkan.

“Iya, sepertinya keren,” Shofi menambahkan. Sebenarnya yang ingin mereka lakukan adalah melempar tanggung jawab.

 Kekuasan mayoritas dalam demokrasi semacam ini adalah satu-satunya cara mengubah yang salah menjadi kebenaran, yang dicari bukanlah kebahagiaan bersama, melainkan persatuan yang dibangun dari persetujuan. Mengatasnamakan kebenaran karena banyak orang yang menganggap itu hal yang benar, membuatku merasa terus terpojok, suaraku tidak akan berpengaruh. Dalam situasi semacam ini, diam dan menerima keputusan adalah langkah terbaik.

“Bagaimana jika Devian menjadi batu,” Levi nyengir dan melihatku. Ini pembelaan hebat! “Devian tidak mungkin dapat melakukan peran dengan baik, mengingat dia jarang mengucapkan kata-kata. Bukankah hal semacam ini lebih bijak jika kita serahkan pada orang yang menguasai peran dan lebih ahli? Ini demi harga diri kelas kita.”

Bahkan, di tengah kekacauan itu, Levi berhasil memutar opini kelas. Satu demi satu orang yang tadinya semangat menjadikanku Malin Kundang mulai berganti haluan. Skenarionya berubah. Sekarang, aku resmi jadi batu.

“Biar aja dia jadi batu. Itu cocok buat dia,” suara-suara setuju mulai bermunculan.

“Levi benar. Devian memang pantas jadi batu.”

“Dia nggak perlu ngomong apa-apa. Kan memang itu yang dia lakukan selama ini.”

.Tidak masalah, itu lebih baik daripada menjadi malin kundang.

Suara-suara menggila tetap menggelora. Imajinasi mereka untuk tetap mengasingkan bahkan bisa dibilang penghapusan diriku semakin menggila.

Wah, benar. Kita bisa menjadikan Devian batu yang paling dibenci semua orang di dunia

Aku bisa meriasnya menjadi batu mengerikan, hitam, pekat, dan menjijikkan.

Tim kami dijadwalkan tampil pada hari pertama, Kamis. Aku, yang masih setengah sadar dengan peran “batu” yang diberikan padaku, akhirnya menyerahkan diri pada nasib.

“Dev, jangan banyak bergerak. Aku akan mendandanimu,” ujar Kak Neta, kakak kelas XII yang terkenal dengan bakat make-up-nya, meski senyumnya tipis selalu memberi kesan menakutkan. Ia mulai sibuk mengotak-atik wajahku. Alat make-up-nya berkilat-kilat, dan dalam waktu singkat, mukaku diolesi arang basah.

Aku hanya bisa pasrah. Memakai kaus dan celana pendek hitam, aku dibiarkan Kak Neta jadi kanvas hidup. Rambutku dibikin jabrik ke atas, mirip orang kesetrum. “Nah, ayo lihat hasilnya.” Dia menarikku ke depan cermin bundar miliknya.

“Hah!!!” aku terlonjak. Wajahku lebih mirip hantu rawa daripada batu. Seram, kumal, dan jujur, menjijikkan.

Mbak Neta tertawa sinis, puas dengan karyanya. “Kalau dirimu sendiri aja takut, apalagi orang lain.” Dia menepuk pundakku pelan dan tersenyum puas. “Ingat, Devian, di panggung kita butuh sesuatu yang ekstrem. Penonton gampang bosan, tapi kemunculanmu bakal bikin mereka ingat seumur hidup.”

Aku mengangguk pelan.

Di belakang panggung, teman-teman sekelasku yang sudah tampil lebih dulu lewat di depanku sambil menahan tawa. Bukan tawa simpati, lebih seperti tawa ejekan yang menyengat.

“Kau hebat, Dev!” Ted, salah satu dari mereka, menepuk tanganku yang sudah hitam penuh arang. “Hah! Apa-apaan ini? Tanganku terbakar! Aku kena virus Devian!!!” Dia berteriak histeris seolah tangannya benar-benar terinfeksi.

“Benarkah? Sini, biar aku tolong,” Jenny, yang ikut dalam lelucon itu, memegang tangan Ted. “Ya ampun, aku juga kena virus Devian!!!” Dia ikut berteriak seperti orang kesurupan.

Dalam hitungan detik, semua orang di sekitar mulai berakting tertular virus Devian. Mereka berpura-pura terinfeksi, lari ketakutan seolah aku ini wabah mematikan.

Kak Neta memandang mereka sambil menggeleng. “Akting kalian keren kalau begini. Kenapa tadi nggak tampil aja dengan ‘virus Devian’?”

Sumpah, aku tidak tahu harus berlagak keren atau sedih.

“Dev, waktumu hampir tiba. Ayo ke sini,” Fir, sutradara panggung menghampiriku dan memberikan instruksi singkat. “Ingat, kau cuma perlu diam, lakukan apa yang sudah kita latih. Jangan panik. Kau mengerti?”

Aku mengangguk.

“Kau selalu melakukan semuanya dengan sepenuh hati, Dev. Kau hebat!”

“Benarkah?”

Fir menatap panggung sambil tersenyum tipis. “Kau selalu melakukannya, apapun yang terjadi di sekitarmu. Aku tidak pernah menyesal membantumu.”

Suara di atas panggung semakin mendekati klimaks. “Aku kutuk kau, Mama!!!” teriak Barry, memerankan Malin Kundng dengan nada penuh dendam. Gemuruh petir dari speaker menggelegar. Lampu sorot segera padam, dan di situlah aku, batu yang malang, masuk ke panggung.

Lihat selengkapnya