1
Hari Jum’at, hari festival sekolah terakhir.
Dilihat dari manapun, festival sekolah sebenarnya penuh keseruan, stand makanan menggoda, ramalan lucu dari siswa iseng, permainan yang sederhana tapi membuat tertawa, dan beberapa kelas diubah menjadi kafe kecil dengan dekorasi kreatif. Di setiap sudut, ada gelak tawa dan keramaian. Di sela-sela penampilan ekskul dan pertunjukan kelas, diadakan lomba band, menambah semarak acara. Bahkan, banyak siswa dari sekolah lain ikut datang, membuat suasana makin ramai.
Saatnya pergi ke aula, menonton Mia dan Narisa.
“Inilah, penampilan khusus dari Mia…,” kata MC di panggung.
Aku melihat Mia dari kejauhan, tempat teratas dari lantai teratas gedung ini. Aku nggak akan terdeteksi siapapun, tidak mungkin aku melihat dari dekat untuk situasi sekarang, kan? Dengan teropong, aku bisa melihat semuanya dengan jelas. Tapi Narisa bilang Mia hanya dipaksa dan dipaksa karena keunikan dan kebodohan sosialnya.
Mia memakai baju putih seperti pesulap cosplay, semacam baju di film anime, sambil membawa tongkat. Ada topi hitam kecil di kepalanya. Mungkin nggak lama lagi, Mia akan jadi idol dan menjadi member JKT 48. Mia mengambil beberapa ponsel yang disodorkan kepadanya, untuk mengingat nomor .
“Hebat, sekali dalam hitungan detik, Mia berhasil mengingat dan menuliskannya dengan benar…,” teriak MC.
Beberapa penonton berteriak, seperti: “Mia, aku juga ingin kau mengingat nomor HP ku!!!”, “Mia, nomorku!!!”, “Nanti hubungi aku, Mia!!!”.
Sesi ‘sulap’ selesai, banyak yang berfoto dengan Mia. Dia juga seperti profesional, berpose selucu mungkin dengan mode V.
“Berikutnya,” Teriak MC. “Penampilan dari anggota cheerleaders.”
Ini yang kutunggu-tunggu. Anggota masyarakat kelas bawah yang tidak populer, anak-anak kurang pergaulan. Ini momen paling bahagia untuk menjadi anemia karena kebanyakan mimisan, melihat anak cheerleaders beraksi.
Salah satu member diterbangkan ke atas.
“Donat untukmu, Dev,” Mia menaruh donatnya tepat di depan mukaku, dia tiba-tiba berada di dekatku, masih menggunakan seragam yang tadi. Dia bisa teleport? Setelah kuambil donatnya, penonton bersorak gembira, tanda member terbang telah turun. Sial! Aku gagal mendapatkan momen terindah.
“Mengapa kau memberiku donat, Mia?” tanyaku sedikit berlagak kesal.
“Devian telah Mia membantu mengatasi remidi,” Dia menjelaskannya dengan polos, memberikan donat yang telah digigitnya.
“Tidak ada donat lain selain ini, Mia?”
“Mia tidak punya.”
“Hmmm,” Aku sedikit kecewa.
“Maaf,” wajahnya terlihat kecewa. “Aku berikan sesuatu yang menurutku saat ini paling kusukai, sehingga bisa membuatmu senang, tapi hanya ini yang aku tahu.”
Aku tercengang, langsung melahap donat bekas gigitannya yang tinggal separuh dengan cepat. Nggak ada salahnya, ini bekas gigitan Mia, lho. “Ini enak, terima kasih, Mia,” Segera kupaksakan diri untuk tersenyum secepatnya. Teringat kalau dia memang cukup lambat dalam kepekaan sosial. Mungkin jika aku benar, saat ini donat bekas gigitannya adalah benda paling berharga bagi Mia, melebihi apapun. Aku jadi sedikit berbangga diri.
“Iya,” Dia mengangguk lucu.
“Serasa nonton basket NBA di Chicago, ya?” gumamku.
Mia mengangguk. “Iya serasa di Chicago.”
Kau tahu, aku tidak pernah ke Chicago. Apa Mia pernah, ya?
Penampilan cheerleaders berakhir dengan tepuk tangan meriah dari penonton, khususnya para jomblo ngenes sepertiku.
“Terima kasih!!!” teriak mereka semua.
“Kali ini penampilan yang ditunggu-tunggu. Seseorang yang menjadi ratu di sekolah ini akan berduet dengan rajanya. Dalam satu panggung, yang spektakuler....,”
Belum selesai pembawa acara bicara, para cowok berteriak, “Narisa!!!” dan para cewek, “Hardi!!!”.
Oh, jadi Narisa tampil untuk ikut lomba band, tampil dengan Mas Hardi, Ketua OSIS, orang yang paling disegani seluruh siswa di sekolah.
“Langsung saja…, Asterisk!”
Feby yang masih menggunakan kursi roda memainkan biola, Mas Hardi memainkan gitar, dan Narisa sebagai vokalis.
Sama sekali aku tidak mengerti, mereka menyanyi lagu apa. Nggak mungkin juga tanya ke Mia.
“You, me, face to face, we don’t see eye to eye.”
“Like fire and rain.”
Ahh listening-ku parah!
Tidak tahu apa artinya, aku tetap menikmatinya. Karisma Mas Hardi bahkan terasa melebihi Levi, tampil di depan muka umum dapat membahagiakan semua orang, berbeda drastis denganku, hanya dengan menghembuskan napas dan mengeluarkannya saja dapat membuat semua orang sebal.
Klik. Suara borgol, Mia menahanku. Mia memberikan secarik kertas, dia membukakannya untukku.
Perintah untuk Mia,
Tahan Devian agar tetap pada posisinya.
Narisa
Cukup aneh, Mia juga memborgol dirinya sendiri, sehingga tangan kiriku terborgol dengan tangan kanan Mia. “Memangnya apa yang akan terjadi, Mia?”
“Mia tidak tahu.”
“Di mana kuncinya, Mia?”
“Sudah Mia buang,” Dia menunjuk ke bawah.
Aku tidak mengerti, tidak ada tanda bahwa Mia berbohong, terserah aku nikmati saja pertunjukan panggungnya. Tidak ada salahnya bukan, berduaan dengan Mia di sini?
“Akhirnya!” Levi muncul dari balik, napasnya tersengal-sengal seperti telah lari jauh.
Aku tidak menyambutnya, tidak mengatakan: “Mengapa kau datang kemari.” Aku malah bersikap biasa saja, melihatnya sekilas lalu tetap meneropong permainan Narisa.
“Syukurlah kau tidak mengacaukan festival, Devian,” Levi tersenyum. “Aku akan membuatmu aman. Kau masih dalam masa percobaan, aku tidak ingin kau dikeluarkan dari sekolah ini.”
Apa-apaan kau Levi, bisa-bisanya kau berpikir seperti itu.
Mia memasang borgol lagi, tangan kirinya diborgol dan mengikatkannya pada pagar besi di depanku. Setelah mengunci borgolnya, dia membuang kuncinya di bawah. Aku mendengar bunyi ‘aduh’ sepertinya kunci borgol itu jatuh mengenai kepala siswa.
“Mengapa kau diborgol? Kau tidak sedang ingin mengacau pertunjukan Mas Hardi, kan?” kata Levi lagi dengan napas masih tersengal-sengal, dia seperti tidak percaya padaku.
“Dev!” Suara Levi menekan, membuatku seakan wajib untuk melihat dan menanggapinya.
“Kau lihat sendiri, Mia memborgolku,” Aku mengangkat bahu.
Mia mengangguk. “Mia… Devian… Borgol.”
Levi masih menatap kami berdua dengan wajah heran, mendekat di sampingku.
Narisa selesai menyanyikan lagu pertamanya. “Terima kasih,” kata Narisa diiringi tepuk tangan meriah dan teriakan riuh dari penonton. “Kami dari… Ast… te… risk!”
Aku ikut bertepuk tangan lirih, ku tepuk tangan kiriku yang sedang diborgol dengan tangan kanan pelan-pelan.
Narisa mengenalkan satu per satu anggota band-nya. “Butuh keberanian untuk memulai permainan dengan lagu setenang ini….”
Penampilan Narisa sungguh keren, padahal dia hanya memakai baju biasa, baju berwarna hitam dengan rok biru. Tidak tampak makeup yang berlebihan, natural.
“Apa maksudnya ini, Dev? Kau tidak bercanda, kan?” Levi menyelidik, seperti masih tidak percaya dengan keadaanku.
Aku menghela napas kesal. “Kau bisa lihat sendiri, aku diborgol, Levi! Mia malah menunjukkan padamu terang-terangan membuang kuncinya, kan tadi? Mana bisa aku berbuat onar sekarang.”
“Bagaimana kau bisa diborgol?”
Mia memberikan kertas dari Narisa. Levi membacanya sedikit agak terdengar olehku.
“Apa maksud semua ini, Dev?” Levi masih bingung.
Aku mengangkat bahu. “Nggak tahu. Coba kau tanya Mia.”
“Mia, apa yang direncanakan Narisa?”
Mia menggeleng. “Mia nggak tahu lencana Nalisa.” Dia agak cadel pada huruf R. Aku mengingatkan kamu-kamu lagi. Levi menahan tawanya.
“Devian, apa ini ada hubungannya dengan Narisa?” Levi bertanya dengan nada panik.
Aku berpikir sejenak. “Tadi Narisa menyanyi apa?”
“Oh itu wouldn’t change a thing, Dev. Lagunya jarang ada yang tahu. Tunggu!” Levi seperti mendapat pencerahan. “Ceritakan yang lain!”
“Berikutnya…,” kata Mas Hardi dari panggung. “Bagi yang galau sama pacar…,” Mas Hardi berhenti, penonton bersorak. “Fall For You.”
Levi balik melihat panggung. “Devian, setelah ini, apa yang akan terjadi?”
“Aku hanya akan mengatakan yang kutahu, agar kau tidak banyak bertanya lagi. Dia sudah lama bermain band, punya tempat karaoke…,”
Tunggu, aku tidak boleh bercerita tentang sesuatu yang masih rahasia seperti Narisa menangis saat kecelakaan Feby, pingsan saat melihatku tidak bisa menembak, atau yang dia tunjukkan saat kami bertiga.
“Narisa suka permainan kehidupan, dia idola sekolah yang misterius, baru-baru ini dia mengenalkanku pada Mia. Sampai hari ini hanya itu yang aku tahu.”
“Menurutmu, mengapa Narisa menahanmu? Aku curiga, jangan-jangan hanya kau yang tahu rencananya sehingga kau ditahan seperti ini.”
Levi semakin aneh. Dia seperti… apa ya, terobsesi berlebihan pada Narisa, mungkin?
“Tak bisa kupercaya, apakah ini sikap yang pantas darimu, Levi?”