1
Hari senin, sepulang sekolah, tepatnya sudah pukul 13.07.
Bersiap untuk pulang, hari yang melelahkan. “Hoammm,” mataku merem, menguap. Masih ada beberapa orang di kelas, entah mereka menunggu apa.
Berjalan menuju tempat parkir, melewati lorong, menyaksikan beberapa siswa masih menikmati masa SMA, berkumpul kegiatan ekstrakurikuler, terdengar dari kejauhan semangat pasukan paskibra: “Siap grak!!!” Lanjut, pemandangan paling seram, sepasang siswa cewek-cowok di pojokan, di bawah gazebo, ah kenapa juga mata harus lihat seperti ini? Mereka gak modal banget, setidaknya mereka harus berkencan di cafe yang romantis, bukan di pojokan sekolah, kan?
“Lama tak jumpa, Devian!” Pak Jo tiba-tiba ada di depanku. “Bisa kamu ikut saya sebentar?”
Jika guru meminta sesuatu, tidak ada jalan lain yang harus dilakukan selain menurutinya. Aku mengangguk seperti murid penurut, “Iya, Pak.”
Aku berjalan membuntuti Pak Jo, tidak bertanya, tidak curiga. Sampai pada tempat, seperti kelas yang cukup luas, dan kami masuk ke dalam. Beberapa siswa langsung maju untuk bersalaman mencium tangan Pak Jo.
“Semoga sukses.”
“Semoga jadi hebat!”
“Jadi juara, ya!”
Pak Jo selalu bicara seperti itu, aura positifnya memang selalu membuatku semangat saat basket dahulu.
“Ayo Devian, tembak sekali lagi! Pasti masuk!”
Tembakan selanjutnya tetap tidak masuk.
“Ayo juara! Tembak lagi!”
Hingga banyak tembakan yang tidak masuk, Pak Jo tetap memberikan kata positif.
Pak Jo menepuk pundakku pelan, membuyarkan lamunan. ”Lihat, Devian. Mereka bekerja keras untuk olimpiade, belajar mandiri mengerjakan worksheet. Tiga tentor di depan hanya menunggui mereka hingga mengajukan pertanyaan. Buku mengenai soal apapun lengkap di sini.”
Aku menampilkan wajah antusias padahal sebenarnya nggak sama sekali.
“Kau tidak ingin seperti mereka? Seperti Narisa? Vania?” tanya pak Jo perhatian.
Aku menggeleng. Memang aku tidak tertarik dengan semacam olimpiade matematika.
Pak Jo tersenyum. “Peningkatanmu saat ujian tengah semester kemarin, luar biasa! Hebat!”
Salah satu tentor muda yang berkacamata memakai baju kotak-kotak melangkah menemui Pak Jo. Intinya, tentor tersebut ingin pak Jo agar tidak mengganggu konsentrasi siswa di sini.
“Maaf-maaf!” Pak Jo menggaruk kepalanya, yang kurasa tidak gatal. “Kami akan masuk ke ruangan.”
Pak Jo melihatku. “Ayo Devian.” Berjalan ke pintu di sudut ruangan dan memasukinya.
Ruangan kecil, terdapat sofa dan meja di tengah. “Kau bisa ambil minuman dingin di sana, Devian. Duduk dan nikmati dulu.”
Aku meminum softdrink dan meletakkan ransel yang hanya berisi satu binder di samping. Kalau ruangannya seenak ini, aku bisa-bisa tertidur di sofa.
Pak Jo duduk di depanku, wajahnya tiba-tiba berubah menjadi… sedih dan ketakutan.
“Be.. be.. gini…, “ suaranya gemetaran.
Pak Jo terlihat memikirkan sesuatu, kebingungan.
“Ada apa Pak? Apakah sesuatu telah terjadi? Apakah Pak Jo depresi saat putrimu memperkenalkanmu pada pacarnya?” Aku mencoba memecah keheningan dengan cara yang salah, mungkin.
Pak Jo senyum kecil. “Putriku masih berusia lima tahun, Devian!”
“Lima tahun yang sekarang adalah hal berbeda, Pak. Pak Jo sudah tahu, kan?”
“Hal yang berbeda? Apa maksudmu? Putriku tidak mungkin berpacaran?”
Aku ketawa kecil. “Itulah yang dikatakan setiap orang tua. Kenapa wajah Bapak panik begitu?”
Pak Jo menghela napas panjang, seperti ketakutan. “Dengarkan baik-baik Devian. Saya telah menemukan siapa yang memukulmu.” Wajah Pak Jo berubah, tidak seperti tadi yang senyum kecil. “Saya meminta tolong pada pihak tertentu untuk menyelidiki kasusmu. Saat saya ikut dalam interogasi, saya tidak ingin mempercayai hasilnya,” suara Pak Jo bergetar. Mata Pak Jo sedikit… berkaca-kaca.
Aku hanya bersikap setenang mungkin, terbiasa cuek dengan keadaan apapun.
“Kau bisa lihat video pengakuan mereka.” Pak Jo menyerahkan ponselnya, yang sudah dalam posisi siap memutar video.
Toni! Kapten tim basket. Aku nyaris tidak percaya, gambar itu muncul pada awal tampilan.
Interogasi berlangsung cukup lama, mereka tidak mengaku-ngaku. Polisi sedikit memberi tekanan, dengan memukul dan membentak.
“Siapa yang membuatmu melakukan pemukulan!”
“Narisa!”
“Mengapa kalian melakukan hal sekejam itu!”
“Kami hanya ingin membuat Devian tidak bisa bermain basket lagi! Kami ingin dia berhenti bermain basket!”
“Dia begitu sulit mengaku, Devian. Terpaksa penyidik membuatnya sedikit babak belur seperti itu,” Pak Jo menjelaskan.
“Haw, apa benar apa yang dia katakan!”
Haw diam.
“Jawab!”
“I… Iya, Pak!” wajah Haw takut.
“Jawab lagi!
“Iya, Na… Narisa yang memimpin operasi penyerangan Devian.”
Ini menyakitkan! Apa-apaan ini! Narisa!
Semakin lama aku melihat videonya, semakin menyakitkan. Teman basket yang selalu kupercaya dan Narisa, seseorang yang membuat hidupku berwarna, bersama-sama membunuh karirku.
“Devian, maafkan saya. Ini pasi menyakitkan buatmu. Seandainya saja, saya dapat melindungimu, pasti saat ini, tidak akan terjadi seperti ini.”
Aku fokus melihat videonya.
“Kami sudah memenangkan kejuaraan nasional. Kami tidak membutuhkan Devian lagi. Kami tidak memerlukan orang seperti dia dalam tim.”
Seharusnya, aku tidak boleh ragu, tidak akan mempercayai siapapun lagi, tidak akan goyah dengan pertemanan dan mempercayai manusia, padahal aku sudah hampir mencapainya, untuk menjadi sendiri. Mempercayai dan berharap pada manusia, perlahan akan membuat diriku hancur.
Menunjukkan kesempatan untuk mempercayai manusia sama saja menghancurkan diriku sendiri. Teman basket hanya menggunakanku sesaat untuk kemenangan, Narisa memanfaatkanku untuk bermain kehidupan.