NARISA

Mukhlis Hidayatulloh
Chapter #23

Dua Puluh Dua

1

Seperti memulai hidup baru, mengganti semua aktivitasku.

Tidak ada salahnya kalau aku sendiri. Sendiri lebih baik, cukup hidup seperti biasa. Sendiri tidak merepotkan orang lain, sendiri tidak akan merugikan siapapun, atau sendiri tidak akan membuatku bingung melakukan sesuatu, tidak perlu khawatir orang lain sakit hati atau terganggu. Tidak akan tergantung dengan orang lain.

Menghabiskan waktu di sekolah-rumah dan membuat itu menjadi menyenangkan. Kesenangan berasal dari hati, bukan?

Aku perlu mencoba lagi, aku masih bisa mencapai target yang lebih tinggi saat PAS (Penilaian Akhir Semester) dengan menjadi sepuluh besar.

Atau malah sebaliknya, aku membuat pernyataan semacam itu hanya untuk semacam pelarian?

Ah, aku jadi sedikit lebay, hidup tidak sesusah itu selama masih ada uang saku dan beberapa orang yang membantuku untuk hidup. Aku hanya perlu melanjutkan hidup seperti biasa.

Sebenarnya, jika aku berpikir lebih positif akan kegiatan belajar di kelas, guru-guru di sini cukup inovatif. Di awal, mereka menampilkan sesuatu yang menarik perhatian. Terkadang ada game, standup comedy dari guru dan berbagai cara menarik untuk terus memancing diriku tetap semangat belajar, meski terkadang malah para guru menjadi sosok yang jadi topik panas untuk dipermalukan.

“Mengapa kita selalu menghitung dan mendapatkan angka? Kemajuan sebuah peradaban ditentukan bagaimana teknologi mengukur perasaan manusia. Kalau perasaan sudah dapat dibuat dalam bentuk angka, itulah kemajuan zaman.”

Semuanya bertepuk tangan.

“Contoh, kalau air suhunya tinggi, sebagian besar dari kita akan menyebut itu panas, bahkan mungkin sebagian orang menyebutnya hangat. Tapi bagaimana kalau ada orang habis hujan-hujan, kemudian mencelupkan tangan ke dalam air hangat? Bisa jadi orang tersebut tidak sepakat dengan ukuran hangat yang disepakati sebagian orang? Maka orang berpikir untuk mengangkakan panas-dingin dengan skala pada termometer.”

Aku jadi berpikir lagi untuk meninggalkan kelas dan tidak menikmati pelajaran di kelas.

“Mungkin suatu saat perasaan cinta bisa diukur,” Bu Novi tertawa kecil. “Atau perasaan senang kalian, suatu saat ada alat ukurnya.”

Jika perasaan benci bisa diukur, berapa nilai kebencianku terhadap kehidupan ini?

Lihat selengkapnya