1
“Devian, ada yang mencarimu!” seru Reyna dari luar kelas.
Mia masuk kelas, semua orang melihatnya.
Hey, dia imut sekali.
Rambutnya pirang sekali!
Cantik sekali!
Saat pakai baju sekolah, dia lebih cantik dari saat tampil di panggung!
“Devian, kau benar-benar hebat, mengundang cewek seperti dia ke sini!” Ted menepukku dari belakang tempatku duduk. “Lihat, dia lucu sekali!”
“Tentu saja!” Aku senyum, berlagak sombong.
Ted mencekik bergurau. “Kau curang sekali, kalau urusan cewek tidak bilang-bilang!”
“Dia itu tidak biasa, Ted!”
“Kau benar, lucunya tidak biasa!”
Segera kuhentikan permainan ini, menarik Ted untuk mendekati Mia yang ada di dekat pintu.
“Siapa dia, Devian? Namanya?” Ted melihat ke arah Mia.
Ke mana aja kau saat Festival sekolah, Ted?
Aku melihat ke arah Mia juga. Mia malah menoleh ke belakangnya.
“Mia! Kita melihat ke arahmu!” kataku dengan sedikit kesal yang dibuat-buat.
“Hoh, jadi namanya Mia. Sepertinya kalian berdua sangat akrab,” Ted semangat meledek.
“Devian, membantu, semua,” kata Mia tiba-tiba.
“Woah!!!” Ted terkejut.
“Aku senang Devian, semua, membantu.”
“…”
“Devian, lemidi, lapal,” Dia menyerahkan kertas ulangan Matematika dan Kimianya yang bernilai nol. Aku mengganti R menjadi L agar lucu.
“Narisa ke mana, Mia?” kataku malas.
“Devian, Mia, tugas,” Maksudnya, mungkin, tugasku untuk mengurus Mia seperti kesepakatan konyol yang dibuat di perpustakaan tiga.
Setahuku, makanan Mia hanya donat kentang. Apakah ada makanan lain yang bisa dia makan? Aku tidak tahu. Segera aku berinisiatif untuk memanfaatkan Ted. Aku ayunkan tangan untuk mengisyaratkan Ted untuk mendekatkan telinganya.
“Tak biasanya kau berurusan dengan cewek, tapi aku bisa mengerti kalau itu Mia,” Ted berbisik.
“Asal kau tahu, cukup mudah untuk dekat dengannya.”
“Benarkah?” nada bicara Ted seperti terkejut dan tertarik.
“Kau ingin dekat dengan Mia?”
Dia mengangguk.
“Kau hanya cukup belikan dia donat kentang yang ada di kantin.”
“Kau membodohiku?”
“Memangnya bagaimana bisa aku sedekat ini dengan Mia? Kau bisa bertanya padanya.”
“Iya juga, ya? Tidak ada cewek yang bisa kau ajak bicara dengan baik kan, kau memang orangnya seperti itu, sih!”
Ted berada pada posisi tampan. “Kau ingin makan apa, Mia?”
“Donat kentang,” jawab Mia.
Aku memberikan isyarat jempol di depan Ted, dia mengerti dan langsung membelikannya.
Aku membawa kertas matematika milik Mia ke Lia dan May yang sedang duduk berdua, seingatku dia sudah ikut berlatih di basecamp, matematikanya pasti mumpuni.
Aku memberi bisikan ke Mia agar berlatih minta tolong ke orang lain.
“Mia minta tolong!” Mia langsung mengatakannya pada Lia dan May.
“Ada apa Mia?” tanya Lia.
“Mia lemidi, tolong keljakan ini,” Mia memberikan kertasnya.
“Devian, apa motifmu membantu Mia? Kau pasti punya niat buruk, ya?” May curiga.
“Devian, Mia, membantu,” malah Mia menjawab.
“Kau membuat dia yakin, apakah kau ingin menembak dia, Devian?”
Mengapa pikiran mereka begitu buruk.
“Bagaimana kalau kau bersama kami menyelesaikan remidimu? Kami akan mengajarimu Mia,” itu May yang bicara.
“Devian baik,” kata-kata Mia membuat May dan Lia terkejut.
“Hoi-hoi, berhenti memperlakukanku seperti penjahat, aku hanya membantunya,” Aku membela diri. “Lihat, dia mengatakan aku baik, kan?” Aku jadi sedikit berbangga.
Mereka berdua mengacuhkanku, malah mengajari Mia pelajaran matematika dengan cara yang ‘salah’. Mengajari satu per satu dengan caranya. Mia mengangguk-angguk, entah itu artinya mengerti atau sekedar menghargai.
Daripada waktu terbuang sia-sia, aku segera menghentikan May dan Lia. Aku berdeham. “Mia tidak akan memahaminya, kalian hanya perlu menuliskan jawabannya, Mia akan remidi dengan soal yang sama, dalam waktu beberapa detik dia akan hafal.”
“Jadi kau tidak memahami penjelasan kami, Mia?” May heran.
Mia menggeleng lucu.
“Apa benar yang dikatakan Devian? Kau hanya perlu menghafal?” tanya May lagi.
Mia mengangguk.
May dan Lia menuliskan semua jawabannya pada kertas sobekan dengan begitu cepat.
“Boleh aku minta jawabannya?” pintaku, membuat May memberikan kertas jawabannya.
“Mia, lihat jawabannya baik-baik,” pintaku. Mia langsung melihat ke arah kertas jawaban.
“Tulis semuanya, Mia!” pintaku lagi.
Mia menuliskan semuanya lagi. Semua tulisannya sama dengan yang dituliskan Lia dan May.
“Kalian lihat, itulah cara belajar terbaik untuk Mia.” Aku berlagak sombong. “Kau sudah siap remidi hari ini, Mia?”
Dia mengangguk dan berdiri untuk bersiap. Ted datang di saat yang tepat, membawa beberapa donat kentang. Mia langsung berdiri dan mengambil satu donat dari Ted dan memakannya.
Aku memandang Mia. “Bilang terima kasih, Mia!”
“Telima kasih!” kata Mia sambil mengunyah donat kentang.
“Duduk dulu, Mia, kau bisa-bisa dimarahi Narisa kalau makan sambil berdiri!” nadaku sedikit menekan.
Dia menurut. Ted begitu gembira mendengar ucapan ‘telima kasih’ dari Mia, kepalanya seperti dihujani kembang tujuh rupa.
Mia memasukkan jari telunjuk ke donat, mengacungkannya ke arah mulutku. “Devian, donat?”
Lia, May, dan Ted memandangku dengan tatapan tidak enak. Ted mungkin agak tidak enak hati: Aku yang beli, Devian yang makan. May dan Lia bisa jadi begitu: Aku yang mengerjakan, Devian yang dapat donat.
Aku berbisik ke telinga Mia. “Berikan pada mereka juga, Mia!”
Mia mengacungkan satu donat untuk Lia dan May, satu donat untuk Ted, satu donat bekas gigitannya padaku, dan donat terakhir untuknya sendiri. Mengapa aku selalu dapat hasil gigitanmu, Mia!
2
Mia bertemu guru untuk remidi dan mendapatkan nilai seratus.
“Dunia, Mia minta maaf,” katanya, sambil kedua tangannya berpose berdoa.
“Kau mengatakan apa, Mia.”
“Katanya Devian, Mia harus minta maaf pada dunia sesudah lemidi. Mia salah?”
Ah sudahlah!
Mia merogoh saku dan memberikan amplop. “Untuk Devian.”
“Dari siapa Mia?”
“Katanya Toni, Mia tidak boleh memberi tahu. Katanya, Devian halus buka setelah menolong Mia.”
Yang barusan itu memberi tahu, Mia!
Aku tunggu kau di Lapangan Basket!
Kau harus tahu kebenarannya, Devian!
Toni
Klik. Mia memborgolku lagi.
“Agal Devian tidak lali,” Mia menaruh kunci di saku roknya.
“Berikan padaku, Mia!”
“Devian halus ambil sendili!”
Nggak mungkin, nggak mungkin aku ambil kuncinya, Mia! Kau kejam sekali, Toni. Menyuruh Mia untuk hal semacam ini!
Baiklah, aku berjalan menuruti arahan Mia, tentu ini pemandangan yang tidak enak, semacam penjahat yang membawa gadis lucu. Beberapa minggu menjalani kehidupan sekolah yang damai, harus tercoreng lagi namaku dalam benak orang–orang yang melihatku dengan tatapan: Devian sang penculik anak-anak lugu.
Kalian tahu apa arti dari ini? Entahlah, aku juga tidak tahu.
Sampailah pada lapangan basket outdoor. Jika pemain basket normal, mereka pasti lebih memilih berlatih di lapangan basket indoor, ruangannya nyaman dan tidak panas. Karena ini sang kapten Toni dengan rambut keritingnya, dia selalu memilih outdoor. Benar, dia berada di sana dengan ikat kepala khasnya berlarian cepat untuk sekedar lay-up dan dunk teknik yang mungkin tidak akan pernah aku kuasai. Mia membuka borgol, dia berlarian dan menembak bola ke ring. Bukan malah bergerak parabolik ke ring, tapi malah bergerak ke atas dan mengenai kepalanya.
Lemparan bola khas Toni yang cepat menuju ke arahku. “Sekarang, tembak, Dev!”
Ini penghinaan, setelah dia memukulku, menghancurkan karirku, dia menyuruhku menembak?
Toni tersenyum, seperti dahulu, memberi semangat pada rekan-rekan setimnya, wajar saja, karena dulu dia kaptennya.
“Kau pasti bisa, Devian!”
Apa maksudmu!? Kau mau menghinaku!?
Toni berlari melakukan lay-up. “Aku dapat dua poin, Devian!” serunya. “Sekarang kalahkan aku!”
Dia terus-terusan mengoceh ‘menghinaku’. Bola yang sudah diberikannya kugiring ke depan, dan kutembak dari untuk mendapat dua angka.
Masuk. Ini mustahil.
Tangan kananku bisa kuangkat ke atas lagi, meskipun masih sedikit sakit.
“Dua sama, Devian. Sekarang, giliranku,” Toni berlari dengan gaya yang biasanya, menyilang dari kiri lapangan dan berlari ke tengah untuk lay-up.
“Empat dua!” Dia senyum. “Kau tidak mencoba menembak dari posisi kesukaanmu?”
Mau sampai kapan kau menghinaku?
Dia menarikku sampai di luar area dua poin, agak ke kiri sedikit dari tengah. “Coba tembak!” Dia tetap senyum meskipun tatapanku tidak bisa menyembunyikan kejengkelan.
Aku menembaknya. Masuk.
“Kau bisa coba dari posisi mana saja, Devian.”