NARISA

Mukhlis Hidayatulloh
Chapter #25

Dua Puluh Empat

1

Apa kegiatan sekolah hari ini? Ini hari remedi, masih melanjutkan hari kemarin. Terus yang tidak remedi ? Ikut festival class meeting, kompetisi futsal untuk cowok dan voli untuk cewek. Yang tidak ikut festival class meeting? Aku yakin yang pernah sekolah pasti tahu apa yang harus dilakukan.

Apa yang ingin aku lakukan hari ini? Berbicara dengan Narisa, menghentikan semua rasa penasaran yang mengganggu pikiranku. Aku putuskan untuk maju ke depan, menemui Narisa dan berharap agar semuanya menjadi jelas.

Hari ini agak dingin, mungkin karena habis hujan. Masih tersisa gerimis kecil-kecil. Aku memakai sweater hitamku yang dulu pernah menjadi tempat Narisa nangis. Jadi inikah yang dimaksud hujan membawa kenangan, ya?

Vania menghadang jalanku, pasti dia ingin berkata-kata mengenai bagaimana seharusnya hubunganku dengan Narisa, tapi Vania terus menutup-nutupi langkahku. Aku hanya berusaha melewatinya tanpa berkata-kata.

“Kalau aku ini menghalangi jalanmu, kau bisa ngomong, kan?” Vania agak sebal.

“Bukannya kamu berpikir, kalau bicara denganku bisa membuatmu turun peringkat?” kataku datar.

“Udaranya segar sekali di sini.” Eh, Vania ngomong nggak seperti biasanya.

“Bukan segar, ini dingin.”

Dia ketawa. “Seperti kakek-kakek saja!”

Vania menoleh ke arah taman, sepertinya dia melihat sepasang anak pacaran berada di gazebo berdekatan di bawah hujan.

“Hati kita juga dingin, ya? Harusnya pacaran pas nggak ada orang dong!!!”

Melihat Vania yang ini, terasa lucu.

“Seharusnya dunia itu perhatian sama kita!!!”

Aku mengangguk, setuju. Baiklah, sepertinya bercanda dengan sahabat Narisa sebelum bertemu dalam sesi bersitegang boleh juga.

“Narisa menyuruhku lari menjauh jika melihatmu.” Aku mencoba membual.

“Oh, jadi itu sebabnya kau tiba-tiba menghindar, rupanya kau punya teman yang perhatian, tapi dia tidak cukup perhatian untuk memikirkan kemungkinan kau tidak bisa lari dariku. Jika kau menganggapku masalah, kau bisa artikan ini sebagai: Ada banyak masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan melarikan diri.”

Melarikan diri, ya? Tidak aku malah ingin menghadapinya!

“Hey Vania. Aku ingin melakukan sesuatu pada situasi yang tengah kuhadapi, akan tetapi aku justru merasa bahwa tindakan yang terbaik adalah mengabaikannya.”

Wajah Vania keheranan. “Mengabaikannya adalah tindakan terbaik? Kok bisa?”

“Karena situasi ini tidak mengganggu siapapun? Haruskah kita mengganggu orang yang merasa bahagia walau tertimpa kemalangan? Buat apa memberi tahu mereka bahwa mereka seharusnya tidak merasa bahagia? Jika mereka menikmati kemalangan mereka sendiri, maka menurutku aku tidak berhak untuk ikut campur.”

Vania bergaya, seperti memikirkan sesuatu. “Begini Devian! Jika kau pikir hal itu tidak mengganggu siapapun, kau salah. Karena setidaknya kau terganggu akan hal itu, itu alasan yang cukup untuk bertindak. Sekarang kebetulan aku terganggu saat melihatmu terganggu.”

“Tapi Van, perasaan kesal itu biasanya akan hilang seiring dengan berjalannya waktu. Apa yang saat ini menggangguku mungkin nantinya akan berhenti menggangguku.”

“Apa-apaan itu, kalimat itu tidak biasanya ada dalam pemikiranmu!” kata Vania ketus.

“Belakangan ini, banyak orang yang berkata-kata padaku, aku jadi…, goyah.”

“Kenapa kau tidak seperti biasanya? Abaikan saja!” Vania senyum sinis. “Mereka bukan dirimu, kan? Sejak kapan kau jadi cukup pintar untuk memikirkan perasaan orang lain? Ternyata Devian bisa bimbang juga, ya? Semenjak melihatmu bersama Narisa, aku selalu melakukan semua hal yang ku mau. Menurutku, jika kau ingin mengambil pemikiran orang lain, itu pun juga tidak apa-apa. Yang penting perjuangkan!”

Itu saran yang luar biasa, aku semakin mantap untuk maju. “Terima kasih banyak, Vania.”

“Aku mengerti apa yang akan kau lakukan. Kau mau ke tempat Narisa, kan?”

Aku mengangguk. “Kau benar.”

“Aku menyangka, dengan tidak adanya dirimu, membuat Narisa berubah. Saat aku mendekatinya, Narisa bahkan tidak pernah tersenyum bahagia seperti saat bersamamu dan Feby. Dia tidak pernah tunjukkan padaku senyum itu saat sekolah menengah hingga saat ini. Apa kau tidak mengerti, kau telah melakukan apa yang ingin kulakukan dari dulu. Tapi aku tidak pernah bisa dan hanya bisa menyerah!”

Eh, Vania merasa bersalah?

“Pada awalnya aku cemburu. Aku mencoba melupakannya, tapi tetap cemburu. Kenapa bukan aku. Aku menjadi iri padamu dan kecewa padanya. Aku hanya ingin dia baik padaku seperti ketika kalian bersama. Dia malah senyum menyenangkan. Itu senyum pencitraannya, bukan asli darinya.”

Tentu aku jadi bingung, dengan keadaan ini, aku mesti ngapain?

“Nggak dengerin orang lain, buset nih anak mirip banget sama Narisa!” Vania mengusap kepalanya heran.

Baiklah, aku akan mencoba memutar otak, memikirkan kata-kata paling tepat untuk Vania.

“Hei Vania! Menjadi juara yang lebih tinggi bisa kau capai jika tidak bersama Narisa. Kau tahu, aku suka uang. Itu karena uang dapat mengambil segala sesuatu. Aku bisa membeli nyawa, mimpi, kebahagiaan, apapun. Uang bukanlah sesuatu yang tak tergantikan, maka dari itu aku menyukainya. Sebaliknya, aku benci hal-hal yang tidak tergantikan, seperti ‘aku tidak bisa hidup tanpa Narisa’ atau ‘karena Narisa-lah aku hidup’ atau ‘karena Narisa-lah aku bisa menang.’ Pemikiran seperti itu membuatku muak!”

Yes, Vania melongo, dia terkena kata-kataku.

“Pemikiranmu membuatku marah. Apa kau menjadi tidak berharga karena Narisa tidak bersamamau? Apa itu satu-satunya yang kau inginkan? Apakah itu arti dari hidupmu?”

Dia masih mendengarku, kali ini aku berhasil!

“Kau tahu Vania, ada orang aneh yang suka rela melakukan sesuatu yang tidak berguna seperti selalu bersama dengan Narisa, bermain permainan kehidupan yang konyol. Kau harusnya mengakhiri hubungan yang membuatmu lamban, kau memiliki sesuatu yang ingin kau coba, kan?”

Ekspresinya, seperti berusaha mencerna kalimatku dalam-dalam.

“Apa bagimu sesuatu selain Narisa itu tidak berharga sehingga kau tidak peduli sama sekali?”

“Memangnya kau tahu apa? Kau tidak tahu apa-apa tentangku!”

Dia akhirnya ngomong setelah berlama-lama bengong.

“Aku sudah mencari tahu, tapi itu benar, aku tidak tahu apa-apa. Aku tidak menemukan sesuatu informasi yang penting tentangmu. Itu karena hanya kau yang mengenal dirimu. Itulah, hanya kau yang bisa melindungi dirimu. Hanya kau seorang yang dapat mewujudkan mimpimu!”

“Tidak mungkin, tanpa Narisa, itu seperti mustahil, kan?” kata Vania sedih, dia benar-benar nggak rela ya hidup tanpa Narisa.

“Apa manusia tidak diizinkan bertukar tempat, seperti: karena lewat sini gagal maka ayo pergi lewat jalan yang sana?”

Dia semakin bingung, yes pertanyaan memang selalu sukses membuat manusia bingung.

“Kau bisa, karena kau Vania! Tidak ada yang tak tergantikan. Tidak ada yang tidak dapat diganti. Tiada orang yang tiada taranya. Karena manusia dapat melakukan banyak hal yang diinginkan! Mereka dapat kembali memulai lagi sebanyak yang mereka inginkan!”

Vania semakin bingung, tentu ini semakin bagus, aku bisa melewatinya tanpa menabraknya, sehingga tidak terjadi adegan so sweet seperti pada FTV, si cowok akan menolong si cewek yang jatuh.

Aku berjalan pelan melewati sisi kirinya, Vania menghadangku lagi.

“Aku tidak tahu apa yang akan kau lakukan saat menemui Narisa. Aku harap kau dapat semua yang kau inginkan.”

“Jika aku tidak dapat apa-apa?”

Dia menggeleng. “Kalau kau yang melakukannya untuk Narisa, pasti berhasil!”

“Baiklah!”

“Semoga kau dapat membuat semuanya menjadi jelas!” Dia menepuk pundakku dan pergi.

Aku sudah ada di depan perpustakaan tiga. Aku jalan kaki. Saat memasuki perpustakaan tiga, aku hanya melihat Narisa seorang. Mana Mia? Mana Feby?

 “Hari ini aku ingin mengatakan sesuatu yang sebenarnya, Narisa. Dengarkan aku!” Aku berdiri di depan Narisa yang berada di kursi tengah, dengan nada seserius mungkin.

Narisa hanya melihatku dengan tatapan datar. Bukan, bukan tatapan itu yang kuinginkan!

“Aku tidak mau perkumpulan ini terus ada jika hanya menghentikanmu untuk menjadi lebih berprestasi, aku tidak mau jika hanya membuatmu berhenti dari olimpiade.”

Eh, Narisa tidak peduli. Aku bersyukur, berkata-kata di depan Narisa masih terasa mudah, tidak membikin sesak di tenggorokan.

“Narisa, masih ingat, di waktu kecil apa gunanya kita berkumpul? Kita berjuang dengan jalan masing-masing, kan?”

Narisa tetap diam dan membaca buku, tapi kemudian melihatku dengan senyum kecil.

“Narisa, kembalilah ke jalan olimpiademu, kau akan menjadi hebat dan masuk universitas yang bagus. Nilaimu tidak seharusnya turun, kan?”

Narisa tetap diam. Aku jadi bingung, mengapa Narisa tidak meledekku seperti biasanya.

“Narisa, jika aku bersalah, maafkan aku.” Kepalaku sedikit tertunduk. “Aku sudah tahu semuanya, Narisa, kau yang mencelakaiku agar aku tetap aman, agar aku tidak diciderai pemain lawan selama Haw dan Toni dicadangkan.”

Narisa masih diam. Senyum.

“Setelah kecelakaanku, kau membantuku mengisi hariku menjadi seru. Dengan permainan kehidupan, kita bermain banyak hal. Tapi semuanya sudah selesai, kan? Kau seharusnya bisa lebih baik lagi, menjadi idola yang didambakan semuanya.”

Apa aku salah? Apa aku menjadi orang yang menjengkelkan baginya karena menceramahinya? Tidak mungkin.

“Sekarang kau tidak perlu khawatir lagi, Narisa. Aku akan main basket lagi bersama Haw dan Toni. Aku bukan berandalan yang menakutkan, aku mengikuti pelajaran, dan tidak membuat masalah lagi.”

Diam terus dia, kenapa ya? Mungkin khusyuk mendengarku atau khusyuk melamun yang lain.

Lihat selengkapnya