NARISA

Mukhlis Hidayatulloh
Chapter #26

Dua Puluh Lima

1

Semua harus tahu, semua keadaan ini tercipta karena Feby. Feby. Feby. Jika kita pikirkan bersama, Feby gadis yang menarik, hingga aku berpikir siapapun yang melihatnya, nggak mungkin membencinya, nggak mungkin menyalahkan apapun yang dilakukannya. Saat dirimu galau, melihat Feby saja, bisa membuat hatimu hangat. Dirimu tidak mungkin percaya, karena tidak ada cewek seperti Feby di sekitarmu. Alasan mengapa dia bisa begitu, sangat sederhana: karena dia Feby.

Feby bisa mengubah warna harimu dalam sekejap. Membuat masa sekolahmu menjadi serasa berpetualang di negeri fantasi.

14.10 Lokasi di atap sekolah.

“Feby Georgia, itulah musuh kita, musuh terbesar kita! Kita harus membunuhnya! Kalau tidak segera kita bunuh, lain lagi ceritanya, kita tidak akan hidup seperti manusia normal!” mode Narisa horor banget, dia sangat yakin.

“Membunuh, membunuh, membunuh, bisakah kita berhenti mengatakan itu pada sahabat kita Narisa? Seperti dia sebuah penjahat atau teroris saja!” Aku menekankan kata penjahat dan teroris. Aku terkejut, aneh sekali jika Narisa berpikiran seperti itu.

Narisa segera memotong kalimatku. “Feby Georgia itu bukan teroris atau pembunuh, tapi dia monster!”

Aku terbelalak, hampir tidak percaya. “Apa dasarnya, kau memanggil Feby yang lucu itu monster?”

“Lalu atas dasar apa kau memanggil Feby itu Feby yang lucu?”

Hah?!!!

“Bukankah kau memanggil Feby karena dia mengenalkan diri padamu dengan nama: Hai, aku Feby Georgia? Kemudian kau mempercayainya sebagai kebenaran?”

“…”

 “Aku akan menjelaskannya sesimpel mungkin, dengarkan baik-baik. Feby adalah monster! Feby muncul saat kita berada di lapangan basket yang berada di dalam rumahnya, kan? Tepatnya saat kita kelas VII SMP. Tapi setelah aku selidiki, bahwa dia anak Pastor Haris, itu sama sekali tidak benar.”

“Kalau dia bukan anak Pastor Haris, bisa jadi dia anak asuh, kan? Sudah biasa kan seorang Pastor atau suster untuk mengurus anak-anak terlantar?”

“Siapa dia sekarang? Aku tidak tahu,” Dia mengatakan tidak tahu dengan yakin. “Maka dari itu, kita akan membunuhnya dengan ilmu tombak karateka.”

“Aku tidak akan membiarkanmu!”

“Inilah pertarungan kehidupan kita, Devian! Aku sudah yakin, aku tidak akan berpaling! Kamu tidak mungkin percaya padaku.”

“Jadi itulah yang kau lakukan, Narisa. Belajar karate teknik tingkat tinggi untuk mencederaiku dan membunuh Feby!”

Aku masih belum memahami cara berpikirnya. Tidak, aku benar-benar tidak bisa mengerti apa yang dipikirkan. Setelah dibicarakan, aku pun tidak mengerti.

“Tapi…, jika kita mau bekerja sama, aku tidak perlu melakukan pembunuhan itu, Devian. Sebagai seseorang yang selalu benar, tidak pernah melakukan salah, kita bisa melenyapkan Feby dengan cara yang lebih halus dan tidak kejam.”

Bekerja sama, ya?

“Berbagai hal yang dilakukan Feby, membuatku menyimpulkan, dia adalah makhluk yang tidak dikenal. Jika kita mampu mengatakan identitas aslinya, dia akan menghilang tanpa kita melakukan hal sadis.”

“Aku masih tidak mengerti, Narisa,” Aku garuk-garuk kepala, bingung.

“Dia berbohong tentang siapa dirinya, yang kita temui kali ini, Feby memalsukan diri sebagai monster. Monster yang mengungkapkan semua isi hati kita pada diri kita sendiri.”

Apa aku terlalu bodoh untuk memahami ini?

“Seperti kisah detektif, kau tahu kan saat penjahat terungkap semua kebenarannya. Saat kita mengetahui identitas asli seseorang, itu akan sangat menakutkan. Kisah detektif juga begitu, kau selalu bingung, mencari tahu siapa pelaku sebenarnya. Setelah misteri bukan lagi misteri dan tersangka ditemukan, setelah kejadian itu kisah detektif sudah tidak menyenangkan lagi. Setelah identitas asllinya diketahui, ketakutan, rasa penasaran, kesenangan menontonnya akan lenyap.”

Yang aku simpulkan dari penjelasan Narisa adalah: Feby akan lenyap jika kita membongkar identitas aslinya! Cuma itu, jika Narisa benar, Feby akan lenyap, jika Narisa salah, Feby akan baik-baik saja.

Benarkah dalam kisah detektif jika kebenaran dan misteri terungkap semua sensasi yang terasa menjadi normal? Tentu iya, menurutku. Tapi bagaimana jika itu terjadi di dunia nyata? Tentu lebih menakutkan saat pelakunya tertangkap jika pada kehidupan nyata. Mengungkap keberadaannya dari sesuatu yang membuatmu takut. Hal yang sebenarnya menakutkan terjadi saat kau tahu siapa mereka.

Saat inilah, kami akan menghadapi itu, di tempat pertama kali kita bertemu, suatu tempat yang kita namakan Lapangan Basket Feby, tepat di bawah pohon rindang di pinggir lapangan basket. Kami duduk bertiga, piknik lengkap dengan tikar dan beberapa jenis makanan ringan. Ini nggak mudah, siapa yang harus benar-benar aku bela untuk saat ini?

“Jadi begitu, ya,” Feby senyum. “Kalian akan mengungkapkan identitas asliku dan aku akan dimusnahkan di sini.”

Feby mengatakan itu setelah kami mengobrol lama.

Sungguh, mendengar itu aku sama sekali tidak tega, tapi wajah Narisa serius. Dia akan melakukan sesuatu yang sudah diputuskannya: membunuh Feby.

“Wah, pasti ini permainan yang seru!!!” Feby malah tertawa bahagia.

“Aku akan melenyapkanmu, Feby. Aku akan melakukannya sendiri,” tegas Narisa meyakinkan. “Hanya aku yang bisa melakukannya. Hanya akulah yang menginginkan ini sendirian.”

“Bagaimana caranya?” Feby malah memasang mode V. “Demi siapa kamu mau melenyapkanku? Devian? Teman sekolah?”

 “…”

“Hey, Devian. Bagaimana dengan tawaranku? Bagaimana kalau kamu berada di pihakku? Maukah kau membantuku?”

“…”

Feby memasang wajah lucu, menyentuh-nyentuhkan telunjuk di bibirnya. “Hmm, jadi kamu sudah menolak permintaanku, ya?”

“…”

“Dibandingkan dengan Narisa, apa aku ini kalah menarik?” Feby berputar-putar seperti berdansa. Lucu sekali, dia memakai baju berwarna merah muda dengan rok putih.

“…”

“Tenang, Devian. Kamu selalu menunjukkan jawaban yang benar, kok. Kamu berpikir kenapa aku memakai pakaian seperti ini, kan? Itu karena, yang kutemui hanya kalian. Hi hi hi…, coba kalau yang ke sini artis, aku akan memakai gaun yang indah!”

Feby berdiri, melangkah mundur. Bergaya dengan berkacak pinggang.

“Devian mulai keren, Devian mulai bisa jujur dan melakukan hal yang benar. Hu… Hu… Hu…, ingat Devian. Kamu harus tahu, aku juga punya keinginan, aku ingin kau menolak Narisa. Oh tidak-tidak, jika begitu, pesta ini tidak akan berjalan lancar.”

Berhenti mengoceh seakan kau tidak merasakan kehilangan, Feby! Aku malah semakin sedih.

Lihat selengkapnya