Narsis

Saepul Kamilah
Chapter #5

Pahlawan

Minggu lalu. Ketika sisa Unit 2142 hendak menyerbu istana ….

“Ure, kau yakin kita akan berhasil—”

“Siapa kalian?”

“Ah! Bagus kalian lewat, cepat kemari!” teriakku, memanggil dua prajurit yang memergoki separuh unitku sedang memuat tong minyak ke atas gerobak di depan persembunyian. “Tolong bantu kami mengangkut semua minyak ini lalu menyebarkannya ke sekitar lumbung dan gudang senjata—”

“Hoi, hoi, hoi!” Salah seorang prajurit tadi menepis tanganku. “Apa yang kalian lakukan, hah?”

Sring! Prajurit lain bahkan menghunus pedang dan waspada.

“Siapa yang memerintah kali—”

Sebelum dia banyak bicara kutendang lututnya sampai ia terjatuh. Duk!

“Apa kau belum dapat kabar soal penyusup yang masuk kota dan sedang mengincar Pu Seren?” tanyaku pada prajurit tersebut, “jika kau tidak ingin membantu tugas kami, paling tidak jangan menghalangiku.”

“Hei, Kau!” Temannya maju, hendak mengayunkan pedangnya padaku. “Katakan siapa ka—”

“Sedang apa kalian?!” pekik seseorang dari ujung blok, seorang prajurit berkuda, menjeda kami. “Kita sedang berperang, kenapa kalian malah berkumpul di sini?”

“Tuan Tentara!” Aku cepat-cepat menghampiri prajurit kavaleri tersebut dan mengasongkan daftar yang kubawa. “Ini daftar barang yang diperintahkan Bura untuk kubawa ke gudang senjata dan lumbung kita, tapi mereka menolak membantu dan malah menghadang kami—”

“Tidak!” teriak dua prajurit tadi.

Mereka menyusulku menghadap si prajurit kavaleri. “Kami tidak menghadang, Upa. Mereka men—”

“Lalu membuatku dan orang-orangku telat mengirim barang-barang di sana itu apa?” selaku, mengganggu mereka agar tidak sempat menjelaskan situasi. “Upa, aku tidak tahu Anda dari unit mana, tapi tolong bantu kami untuk mengirimkan barang-barang di sana ke gudang dan lumbung segera.”

“Akh!” Prajurit berkuda itu malah putar badan. “Kalian urus sendiri, aku malas mengurus hal-hal remeh.”

Begitu dirinya pergi.

“Kalian sudah membuatku terlambat,” kataku melotot pada dua prajurit tersebut, “cepat panggil unit lain untuk membantu—”

“Gawaaat!” pekik Juini, anggota unitku yang kebagian pura-pura sebagai prajurit terluka, berlari ke arahku dan dua prajurit tersebut. “Gawat, Kapten!”

“Kenapa tanganmu?” tanyaku, pura-pura panik melihat kondisinya.

Ia mendorongku. “Tidak penting, Kapten!”

“Kau?”

“Cepat …, cepat, suruh semua orang mundur ….”

“Mundur?” Salah seorang prajurit tadi menghampiri kami. “Apa maksudnya mundur?”

“Muri memerintahkan kita membakar gudang dan lumbung, bahkan Pu kini sudah menyuruh semua orang di istana untuk keluar lewat jalan rahasia.”

Lihat selengkapnya