“Hoi, Ure—eh, si-siapa mereka?”
“Jangan banyak tanya!” kataku pada Maxwell sebelum memekik ke penjaga gerbang, “buka gerbangnya, aku dan orang-orangku mau lewat ….”
Beberapa saat lalu.
“Tupa Ure?”
“Mana orang-orang yang kita tangkap di Ratnar?”
“Ke-kenapa Anda menanya—”
“Gak usah banyak tanya,” bentakku ke penjaga di ruang bawah tanah, “panggil teman-temanmu kemari dan bantu aku membawa mereka semua ke gerbang barat kota—sekaraaang!”
Tahun lalu, ketika pasukan Panji Beruang mengambil hari baik setelah menyusun rencana pemberontakan selama hampir empat tahun. Kota yang mereka duduki pertama kali adalah Ratnar, Zara, lalu Vegasis yang sekarang ketiganya menjadi basis kami.
Setelah itu menyebar ke kota-kota di timur hingga timur laut melalui Vegasis sebagai pangkalan.
Asumsi Panji Beruang tahun itu, kota-kota di sisi kanan peta tersebut nantinya akan menjadi titik balik ‘tuk gerakan penaklukan kami hingga ke ujung barat benua.
Itulah mengapa kami baru menyerang Koukus kemarin lusa dan pertahanan di Zara masih sangat rentan.
Salah satu skenario terburuk. Jika kota ini sampai diserang itu artinya Ratnar yang akan menjadi pangkalan kami di sisi barat telah kembali ke tangan kekaisaran ….
“Ingat, mereka tameng kita,” teriakku saat gerbang kota diangkat, “jangan ada yang menunjukkan kepala apalagi sampai keluar dari papan pelindung saat kita melewati gerbang—berangkaaat!”
Menggunakan tawanan Ratnar sebagai tameng, aku dan orang-orang di belakangku masuk ke gelanggang.
Laporan mencatat, pasukan musuh yang sebelumnya garang segera menghentikan tembakan meriam dan menjatuhkan semua senjata begitu melihat sanak saudara mereka terikat di papan serta menjadi tameng hidup untuk Zara.
Caci disertai maki melengking dari arah lawan, tetapi semuanya kosong sebab tidak satu pun yang benar-benar bergerak buat menyelamatkan sandera di tangan kami.
Bahkan hingga pertempuran hari itu berakhir dan mereka pulang dengan punggung lesu ….
***
“Kita menang besaaar ….”
Malamnya, ketika semua orang merayakan kemenangan hari itu. Aku, dipanggil untuk menghadap Yoram Kaeti di Kantor Muri Distrik Selatan.
Mendengarkan keluhan sang penanggung jawab kota selama Bura Parami absen ….
“Kau tahu, masalahku sudah segunung.” Ketika dirinya mondar-mandir di tengah ruangan sambil berkali-kali meradang. “Dengan serangan tadi, aku bakal kena omel begitu Bura kembali kemari—aaargh!”
Seakan-akan dia telah lupa pada alasan kenapa ia memanggilku. Bahkan, tera di dekat meja kerjanya pun sudah tampak lesu memperhatikan tingkah sang atasan.
“Kalian tahu, aku setiap hari harus memeriksa laporan dan keluhan orang-orang Zara … kalau bukan bla bla bla … aku gak bakal bla bla bla ….”