“Kau masih tidak ingin berlutut?”
Hari ke-15 di Bulan Dua Belas, Musim Dingin 340 Mirandi. Aku akhirnya resmi menerima token perintah dan menjabat sebagai caupa baru di bawah panji Mantel Putih.
“Jangan berharap aku akan melakukannya,” ujarku, menjawab Bura Parami ketika dipanggil menghadap ke Istana Kota Zara. “Orang-orang yang berlutut padamu kemarin juga terbukti bermain api, ‘kan?”
“A—”
“Aku hanya ingin mengatur kota,” selaku lantas berbalik meninggalkan balai pertemuan, “lihat saja apa yang bisa kulakukan di distrik selatan nanti ….”
Menggunakan wewenang penuh yang kudapat setelah Kaeti lengser, kupanggil semua tokoh dari ‘orang-orang lokal’ kemudian membuka stan aduan di berbagai titik, menanyakan apa saja yang mereka butuh, mencatat saran-saran pembangunan, lantas menetapkan satu dua kebijakan berdasarkan data tersebut.
Selanjutnya, setelah tata tertib selesai, kurombak sistem keamanan lalu pergi untuk menegaskan batas-batas wilayah dengan distrik tetangga kemudian mendeklarasikan bahwa aturan Distrik Selatan berbeda dari distrik-distrik lain di depan khalayak ramai.
Terakhir dan paling bikin heboh di minggu pertamaku sebagai asisten muri.
Kuputuskan buat membuka lumbung serta menjual sebagian persediaan di luar jatah mingguan yang telah rutin dibagikan kepada penduduk ….
“Apa-apaan kau, Ure?” Tentu, hal itu membuat yoram-yoram dari distrik sebelah mengamuk.
Namun, segera kutangkis segala macam opini mereka dengan kalimat andalan. “Distrikku, aturanku.”
Seminggu, dua minggu, hingga masuk musim baru, protes dari para petinggi gegara kelakuanku di minggu awal tadi pun mereda. Malahan, mereka kini memuji lantaran penduduk lokal tidak lagi menganggap kami sebagai orang asing yang merampok tanah mereka dan sebagian bahkan meniru tindak tandukku.
Walhasil, aku pun bisa lanjut ke fase kedua.
“Wei, Ure. Kau mau apa dengan meja-meja ini, hah?”
“Berisik …,” timpalku yang lalu menghalau Maxwell dan Lamda agar jangan menghalangi jalan, “aku mau merekrut pekerja, kalian ke pinggir dulu sana—hush! Hush!”
“Kami tidak salah dengar, ‘kan?”
“Tidaklah,” kataku semringah, “kalau mau, kalian pun boleh mendaftar—ayo, sini!”
“Tunggu!” Maxwell agak tersentak. “Kerjaannya apa dulu, lah?”
“Aku mau kalian mengolah tanah dan membuka lahan ….”
Fase kedua dalam rencanaku adalah membuka lahan baru di selatan kota.
Aku sadar jika semua yang kulakukan menguras isi lumbung kami sekian kali lebih cepat daripada metode para yoram di distrik lain, jadi buat mengantisipasi seluruh kerugian nanti mau tidak mau aku harus punya cara untuk mengisi lumbung persediaan kami kembali, bukan?
Jadinya ….
“Upahnya 83 perunggu per hari.”
“Hah, apa?”
“A-apa Anda serius, Caupa?”
“Sesuai isi selebaran, kalian tidak salah baca.”
“I-ini—”
“Kami mau!”