“Bura Julius tibaaa ….”
Bulan Dua Belas, Musim Dingin 343 Mirandi.
Aku akhirnya melihat seperti apa sosok orang nomor satu di Panji Beruang, Brararia de Julius alias sang Bura Mantel Ungu, ketika kampanye empat tahun kami berhasil membentuk garis lurus dari bekas wilayah Tolitolia di utara hingga Seren di selatan.
Pria berperawakan tinggi besar nan tegap bak pohon palem serta otot kekar macam beruang kutub, persis leluhur mereka.
“Salam, Bura!”
Seperti biasa, semua orang di Aula Istana Kota Raku berdiri lalu berlutut menyambut kehadiran pemimpin mereka kecuali diriku seorang, duduk sembari celingak-celinguk memperhatikan sekeliling.
“Kau Ure, dari Mantel Putih, bukan?” tanya orang yang ingin menggulingkan rezim lama tersebut dari atas singgasana, suaranya berat dan dalam. “Seperti yang kudengar, dirimu tidak berlutut bahkan pada diriku.”
Kuangkat gelasku ke arahnya begitu semua orang kembali duduk.
“Selamat atas kemenangan Mantel Ungu di Sabus dan Taria, Bura … dan, ya. Aku tidak akan berlutut walau di depan Anda ….”
Jawaban yang membuat sebagian hadirin menggeleng, tertawa remeh, bahkan menatap sinis.
“Tolong abaikan sikapnya yang agak kasar, Bura.” Bura Parami bangkit lekas mengangkat gelas. “Saudara-saudaraku sekalian, separuh wilayah kekaisaran korup telah jatuh ke tangan kita hari ini—”
Yaaa! Semua orang bersorak, gembira.
“Setelah seluruh pengorbanan harta dengan tenaga,” lanjut sang Komandan Mantel Putih, “darah dan air mata, keringat bercucuran, bahkan keluh yang terabaikan … kita, akhirnya sampai ke titik ini.”
Ia mengangkat gelas tinggi-tinggi, mengajak semua orang bersulang.
“Rumah kita yang ternoda oleh para rakus dan serakah, sedikit lagi akan murni kembaliii!”
“Ya, murni kembali—hidup kekaisaran baru!”
“Hidup kekaisaran baru!”
“Hidup ….”
Murni.
Aku ingin ketawa dengar slogan pendek itu.
Sejarah telah berulang kali menjawab, ketika satu kekuasaan berganti secara paksa, maka penerus mereka selalu tampil lebih buruk. Mungkin benar orang-orang ini akan ‘memurnikan’ rezim yang kini lagi bobrok, tetapi apakah mereka juga bisa menjamin bakal jadi lebih baik?
***
“Jadi kenapa aku dipanggil kemari, Bura?”