Narsis

Saepul Kamilah
Chapter #10

Zirah dan Kuda Baru

“Woaaa ….”

Aku agak kesulitan serta sedikit malu buat menggambarkan bagaimana orang-orang Zara sekarang sedang melihatku. Ketika keluar dari toko zirah dengan perlengkapan lengkap, pandangan semua orang tiba-tiba tertarik ke arahku macam pasir besi kena magnet. 

Anehnya, mereka tidak mengatakan apa-apa. Cuma menatap dengan mulut ternganga, itu saja.

Satu dua sempat mengangkat tangan seakan hendak menyapa, tetapi niat mereka tersebut malah urung dituntaskan—entah gegara apa.

Aku tidak mengerti.

“Hoi, Ure ….” Cuma satu orang yang benar-benar menegur sejauh ini, si ‘berisik’ Maxwell. “Apa gak sesak tuh pakai mantel rangkap sama zirah tebal begitu, cek-cek-cek.”

“Berhenti berdecak,” kataku lekas menggendong tameng dan berputar dua kali tiga ratus enam puluh derajat untuk menunjukkan penampilan baru, “aku sengaja pilih zirah baja berlapis ini buat kampanye besok, lihat.”

“Hem.” Ia melipat tangan depan dada lantas melirikku dari atas ke bawah terus balik lagi ke atas sebelum tanya, “Kenapa?”

“Karena ini bakal jadi debut pertamaku sebagai seorang yoram seribu tiga ratus orang,” jawabku percaya diri, “makanya aku kudu tampil mencolok besok.”

Cek! Aku gak nangkep hubungan antara zirah tebal di badanmu sama alasan barusan, tuh.”

“Terserah.” Kucoba buat mengabaikan Maxwell saat itu. “Aku mau lanjut beli kuda—”

“Hoi, tungguuu ….”

Minggu keempat di Bulan Dua Belas, Musim Dingin 343 Mirandi. 

Bersiap untuk mengikuti kampanye pada pertengahan musim semi tahun depan, agendaku hari ini adalah membeli perlengkapan sama tunggangan perang baru. 

Secara teknis, sebagai yoram, diriku dapat izin buat memilih lalu mengambil perkakas mana pun di gudang dan memakainya, jadi aku tidak perlu sampai membeli di luar sebetulnya. Hanya saja, hati kecilku terus-terusan berbisik khusus buat zirah aku harus beli pakai uangku sendiri.

Sama tunggangan juga ….

“Boleh aku menaikinya dulu?”

“Ah, silakan, Yoram.”

“Ure, ini sudah yang ke-28 …,” cicit Maxwell dari sebelah pedagang kuda, “kau masih belum menemukan kuda buat tungganganmu?”

“Sebentar … ah, kurasa ini dia.”

“Ah, syukurlah—”

“Bagus, kukira kami akan melihatmu naik turun punggung kuda seharian.”

“Berisik, siapa suruh kau mengikutiku kemari?” balasku lekas turun kembali, “berapa harga kuda ini?”

“Yoram, kuda ini anakan dari jenis kavaleri hitam dan cokelat. Harga pasarnya tiga ratus dua puluh empat perak, sudah terma—”

“Apa?!” 

Aku dengan sang penjual tersentak dengar Maxwell menjerit.

Lihat selengkapnya