“Berangkaaat!”
Minggu kedua di awal Musim Semi 344 Mirandi. Bersama seratus lima puluh ribu orang tentara di bawah Mantel Putih dan Panji Beruang, aku bertolak menuju Hika, kota di perbatasan barat Seren.
“Siapa sangka, saudara-saudara kita akan datang ke Raku dan mendaftarkan diri untuk menjadi pasukan Anda, Yoram. Aku benar-benar tidak bisa berkata-kata.”
“Simpan bualanmu, Caupa. Kalau musim lalu Bura tidak tiba-tiba memintaku membawa separuh Mantel Ungu dan meleburnya ke Mantel Putih, apa kau pikir kampanye kita akan semegah ini?”
“Hahaha, Anda punya selera humor yang bagus, Yoram ….”
Cih! Aku masih belum bisa menebak niat sama maksud asli pemimpin mereka, bahkan setelah semua yang telah kulakukan hingga hari ini.
Seolah obrolan kami musim lalu benar-benar hanya pertemuan sepintas tanpa agenda terencana ….
“Kukira kita sepakat kau membiarkanku bersiap setidaknya sampai minggu pertama musim depan, terus kenapa malah repot-repot datang kemari dan mencariku, Bura?”
“Tidak ada niat khusus. Aku hanya ingin menyapamu. Itu saja.”
“Menyapa dengan mengirim seorang perwira menengah di jam makan siangku?” balasku, melirik Caupa Talia sekilas. “Cara bercandamu sama sekali tidak lucu, Bura.”
“Hahaha ….”
Setelah obrolan hari itu, seperempat pasukan Mantel Ungu dikirim ke tempatku sebagai hadiah juga tanda permintaan maaf. Katanya, Hika merupakan kota paling berbahaya dan sangat sulit buat ditundukkan.
Lima puluh ribu orang ini adalah wujud kemurahan hati sekaligus bentuk iktikad baik ….
“Bura memerintahkan kami untuk membantu kampanye Anda, Yoram.”
Namun, mereka bukan tentaraku dan aku juga tidak puas hanya menerima pinjaman.
Jadi, kukeluakan sepertiga isi lumbung Zara dan Koukus untuk membuka lowongan tentara baru sekaligus menambah jumlah personel buat ekspedisiku. Alhasil, seratus ribu orang lagi bergabung dalam Kampanye Hika hari ini.
Dan tetap saja aku belum menangkap maksud asli Bura Julius ….
“Caupa Talia, apa kau masih belum memikirkan tawaranku?”
“Kesetiaanku hanya untuk Bura, Yoram. Maaf, aku harus mengecewakan Anda.”
“Baiklah.” Aku berbalik lantas menghunus pedang. “Kuhargai keputusanmu, tetapi setidaknya dirimu juga harus tahu bahwa diriku tidak suka ditolak,” kataku lekas mengacungkan senjata ke arah target, “dengar, Semua! Selain seratus ribu panji gorgonku, tidak kuizinkan siapa pun menyerbu Hika hari ini, pahaaam?!”
Meski celingak-celinguk, bingung dengar perintahku, para caupa yang kubawa bersama barisan tentara di belakang mereka tetap bersorak. Hiyaaa!
“Panji Beruang,” lanjutku, melirik Caupa Talia juga rekan-rekannya. “Ini adalah panggung buat pasukanku. Karena kalian di sini atas perintah Bura, jadi kusarankan kalian semua agar melipir dan jangan coba-coba ikut campur ataupun mengganggu penampilan kami.”