“Yoram.”
Kujeda kegiatanku, meletakkan pisau di meja lekas melapi tangan, bersiap buat dengar apa yang akan pria tegap berjanggut lebat di depan stan dagangku katakan. “Ada yang bisa kubantu, Bura?”
Minggu kedua Musim Panas 344 Mirandi. Setelah semua keributan bersama Mantel Jerami dan pretelan-pretelannya di Raku bulan lalu, diriku kini kembali menjalani hidup yang damai.
Sebagai penjual daging di Gerbang Selatan Zara ….
“Kalau Anda bukan mau beli daging mencek, tolong jangan berdiri di depan meja,” kataku sebelum lanjut menyambar pisau dan pindah meladeni pembeli yang lagi berdiri menunggu di belakang sang Bura Mantel Putih, “maafkan temanku, dia memang tidak terbiasa dengan suasana pasar.”
“Apa recehan hasil dua gantung daging mencek itu lebih bernilai daripada sepuluh emas yang kuberikan rutin setiap bulan?” tanya Bura Parami, melanjutkan topik sesaat pelangganku pergi.
Aku, yang notabene menjual daging mencek buat isi waktu, tersenyum. “Anda sudah tahu aku sedang tak punya kegiatan sekarang, ‘kan. Kenapa masih usil, huh?”
Kutengadahkan dagu ke arahnya, menunggu respons orang nomor satu di Mantel Putih tersebut.
“Ya.” Pria kekar berjanggut tebal itu berdiri, melepas zirah sama senjata di pinggang, kemudian membawa kursi dan pindah duduk ke sebelahku. “Jika boleh jujur, aku penasaran pada hidupmu yang macam tanpa tekanan.” Begitu ujarnya sebelum lanjut tanya, “kenapa tidak buka lowongan untuk seorang asisten?”
Pertanyaan yang sontak membuatku terbelalak, heran barang sekejap.
“Jangan melihatku seperti itu.” Ia lalu melipat tangan dan menghadap lurus ke depan. “Aku merasa, dirimu kelihatan jauh lebih cerah waktu meladeni orang-orang dari belakang stan ini ketimbang saat mengatur kota di kantor muri dan bate bersama orang-orangku.”
“Tentu saja!” timpalku terus duduk, “pas lagi jadi kanselir, aku baca banyak kertas aduan sama surat-surat keluhan setiap hari. Apa Anda pikir itu tidak menguras pikiran, ya?”
“Aku tahu, tapi selama ini kau juga sudah membuktikan tidak ada orang lain yang mengatur kota secakap dirimu di Panji Beruang, ‘kan?” Ia sigap bangkit waktu pembeli datang, bahkan lebih cepat daripada diriku, si empunya lapak. “Aku pegawai baru ….”
Hem.
Melihat ia tersenyum hangat dan tertawa lepas ketika meladeni pembeli, penilaianku tentang dirinya yang selama ini kaku jadi sedikit berubah. Siapa sangka, seorang Bura Parami, komandan dua ratus ribu tentara bermantel putih di Panji Beruang, punya sisi humoris.
“Hah ….” Sekian kali semangat meladeni pembeli, sang bura pun merebah ke tumpukan jerami di belakang stan dagang, tepar pada akhirnya. “Hoi, Ure. Apa pelanggan-pelangganmu selalu sebawel tadi, hah?”
Kuambil sebotol air.
“Ini …, mereka rewel gegara cara Anda memotong daging, Bura.”
“Terima kasih …, maksudnya?”
“Anda tadi memotong daging terlalu pas, itu yang bikin para pembeliku komplain.”
“Hah?” Dia kelihatan bingung sehabis menenggak air minum. “Bukankah harusnya mereka senang, aku ini orang yang jujur.”
“Benar, tapi cara berdagangku agak sedikit beda kalau harus kubilang.”
Bura Parami terdiam, tidak mengatakan apa pun sampai aku selesai membereskan stan dengan dagangan.
“Ini.” Selanjutnya kubagi sang bura upah. “Kita tadi menjual tiga puluh lima kilo pas, semua jadi lima puluh dua perak sama lima puluh perunggu. Karena Anda tiba-tiba menawarkan diri buat membantu terus kita belum sempat membahas mau bagi hasil bagaimana, kuambil tiga puluh lima perak buat diriku.”
“Kau serius mau memberiku sepertiga dari hasil penjualan?” tanyanya, tak langsung menerima uang yang kusodorkan. “Kuki—”
“Cuma buat hari ini,” potongku lekas melempar kantung uang itu padanya, “kalau Anda besok masih mau bekerja padaku, aku akan memakai sistem upah standar Kongsi Dagang Gorgon Lama.”
“Standar kongsi dagang?”
“Ya. 83 perunggu per hari buat upah buruh lepas.”