“Hoaaam ….”
“Hari ini sekolah libur.” Aku tersenyum ke anak-anak di teras, mereka kelihatan masih mengantuk. “Ben, kau dengan teman-temanmu, kalian sedang apa?”
“Kami menunggu Paman Parmi, katanya dia mau menunjukkan burung elang peliharaannya.”
“Oh.” Mulutku membulat. “Ini masih pagi, mungkin dirinya baru kemari nanti siang.”
“Tidak, Paman Ure. Paman Parmi janji mau menunjukannya pas kami sarapan—”
“Itu dia!” Salah seorang anak berteriak.
Hingga aku spontan menoleh ke kanan, merespons suaranya.
Di sana, tampak sosok Bura Parami tengah berjalan mendekati bangunan panti, melenggang dengan dua karung besar di kanan kiri bersama seekor elang botak yang mengekor dari angkasa—jauh di belakangnya.
Kemunculan yang cukup dramatis buatku.
Sebagai tokoh utama dalam cerita, jujur aku sedikit kaget. Jarang sekali ada kemunculan tokoh sampingan yang disokong oleh suasana latar dan penggambaran serinci ini. Cek!
Author, apa posisiku sebagai tokoh utama akan terganti?
….
Ya, sudahlah. Kita tunda heranku buat kapan-kapan.
Begitu pria berjanggut tebal itu makin dekat, anak-anak yang sedari tadi menunggu segera memapak dan mengerubunginya bak semut ketemu gula. “Paman Parmiii!”
“Paman Parmi, mana elang yang paman bilang kemarin?”
“Ho ho ho, lihat siapa saja anak manis yang menyambutku … kalian penasaran dengan elangku, ‘kan, coba lihatlah ke atas ….”
Hem. Aku baru tahu ternyata Bura Parami bagus menangani anak-anak ….
Minggu ketiga Musim Panas 344 Mirandi.
Genaplah sudah satu minggu orang nomor satu di Mantel Putih hilir mudik sekitaran tempat tinggal sama lapak dagangku di Distrik Selatan Zara. Selama itu pula dirinya telah mencoba jadi teman ngobrol, buruh lepas yang rajin, dan sesekali bersikap bak penguntit kelas wahid nan suka muncul tiba-tiba macam hantu.
Dia bahkan menjadi sosok paman yang hebat, lebih mengesankan ketimbang diriku.