Narsis

Saepul Kamilah
Chapter #21

Membangun Ambisi

“Hati-hati, Pamaaan ….”

Tanggal 21 Bulan Empat, Musim Panas 344 Mirandi. Sesuai rencana kemarin, aku dan Bura Parami hari ini bertolak menuju Mantrus. Hendak membujuk penduduk di sana supaya merelakan tembok selatan sama barat kota mereka buat jadi benteng sementara pasukan Mantel Putih.

Juga, melanjutkan debutku sebagai calon dewa perang era ini. Atau, aku tadinya berpikir begitu.

“Kudamu boleh juga, sayang kalau cuma buat menarik gerobak, Ure.”

“Oh, terima kasih.” Aku tersenyum dengar pujian Bura Parami. “Ini kuda yang menemaniku menghadapi kepungan di Raku. Dia sudah berjasa menjatuhkan yoram-yoram Mantel Jerami bulan kemarin.”

“Kudengar duelmu sangat mengesankan. Kalau benar keahlian berkudamu sehebat yang dibilang orang-orang, kenapa kau tidak mau berada di garis depan?”

Sontak aku menjuling dengar omongan si berewok, melirik janggut tebalnya sekilas, terus menghela napas lelah sambil menjaga laju gerobak.

“Bukan tidak mau,” kataku mencoba abai pada niat aslinya, “Anda tahu sendiri sekalinya aku maju ke garis depan satu kota pernah dibakar dan orang-orangnya terbantai habis, bukan?”

“Soal pembakaran Hika?”

“Ya. Meski berhasil membuat lima kota menyerah setelah mengambil langkah mengerikan itu, pasukanku langsung Bura Julius bubarkan. Jadi, kesimpulanku kalian lebih suka tempo perang yang lambat dan gaya bertempurku gak akan cocok untuk Panji Beruang.”

Lama Bura Parami terdiam sebelum lanjut dengan topik lain.

“Ngomong-ngomong, apa lembing di belakang itu—”

“Benar,” selaku datar, “itu tombak yang kupakai menghunjam orang-orang Mantel Jerami di duel kami.”

“Kau yakin mau merebut posisi bura mereka?”

Aku menoleh, melihat dia yang lagi menatap—entah heran atau malah berharap sesuatu, sorot matanya sukar kutebak padahal jarak kami cukup dekat.

“Anda bilang hanya boleh ada empat bura di Panji Beruang, ‘kan?” lanjutku yang lekas mengambil tombak, bersiap untuk apa pun yang sedang menunggu kami di depan. “Kalau memang tidak bisa jadi yang kelima, menyingkirkan satu dari panggung kalian berempat berarti tidak bisa kuhindari juga, bukan.”

“Kenapa kau mengambil tombak, Ure?”

“Buat jaga-ja—”

Shut—tak! Belum selesai kalimatku, satu tembakan panah sudah melesat mengincarku.

“Kita disergaaap!” teriak Bura Parami, seketika menghentikan laju kuda.

Sementara diriku, terus melaju dan melemparkan tombak ke penyergap kami. Lung!

Janggal. Satu kata soal penyergapan ini. 

Aku tidak pernah memberitahu jadwalku kepada siapa pun, lalu kenapa kami bisa di sergap? Banditkah, kusara bukan.

Ketika aku menoleh, kulihat Bura Parami merentang panah. “Ure, aku akan menjaga belakangmu!”

Lihat selengkapnya