“Bagaimana?”
“Yoram.” Padri yang baru saja keluar dari tenda, tempat Bura Parami dirawat, menunduk dan tidak berani melihatku. “Bura, beliau berhasil melewati masa kritis. Namun, be—”
“Masih tidak sadarkan diri?” selaku, menghadap penuh pada sang padri. “Menilai dari kondisinya saat ini, menurutmu kapan Bura Parami akan benar-benar pulih?”
Prajurit di depanku tidak lekas menjawab, tapi dari wajah cemas serta mata yang terus-terusan berpaling menghindari tatapan waktu kutanya aku sudah bisa menyimpulkan sendiri.
“Aku mengerti,” lanjutku, lekas bangkit kemudian menyentuh bahunya sekilas. “Terima kasih, kau sudah mengusahakan yang terbaik untuk buramu ….”
Sore hari, tanggal 21 Bulan Empat, Musim Panas 344 Mirandi.
Aku akhirnya berhasil membawa Bura Parami ke Kemah Pasukan Mantel Putih di perbatasan Seren, lolos dari sergapan maut tadi pagi. Akan tetapi, nahas sebab sang bura harus kehilangan salah satu matanya.
Harga yang tidak bisa kubilang murah untuk sebuah peristiwa kecil.
“Apa semua tupa sudah di sini?”
“Yoram.”
“Yoram.”
“Yoram.”
Kuangkat tanganku, membalas salam semua orang di tenda utama tersebut.
“Bura berhasil melewati masa kritis, tapi beliau masih dalam keadaan koma dan enggak tahu kapan bakal siuman,” ujarku di depan semua kapten peleton sebelum lanjut berkata, “jadi, sementara ini pertempuran dengan pasukan kekaisaran akan kuambil alih. Apa ada yang keberatan?”
Para tupa silih lirik, tetapi mereka semua setuju dengan keputusanku.
“Bagus. Sebelum melaporkan situasi dengan musuh, beritahu aku ke mana sisa pasukan kita yang lain.”
Hal pertama yang mau kutahu di kemah ini adalah, kenapa pasukan yang seharusnya berjumlah lima puluh ribu orang lebih cuma sisa beberapa ribu saja. Tidak mungkin mereka semua gugur, bukan?
Seingatku. Setelah membagi pasukan untuk menjaga wilayah Koana dan Tanderi dua setengah bulan lalu, Mantel Putih masih punya sekitar seratus ribu prajurit di bawah komando Bura Parami yang ia bawa untuk kampanye Zeta kali ini.
Selain itu, meski dia betulan membagi pasukan lagi untuk menghadapi serbuan balik dari kekaisaran, kabar yang kudengar juga menyebut bahwa Bura Parami masih membawa lima puluh ribu orang ke perbatasan.
Masalahnya, di mana mereka sekarang?
“Kalian tahu aku bukan seorang penyabar, ‘kan?” kataku sembari mengatur posisi miniatur alat perang di atas peta, “jika tidak ada seorang pun yang bisa memberitahuku di mana posisi caupa sama yoram-yoram Mantel Putih lain saat ini, kupastikan kalian takkan mampu bertahan lama menghadapi serbuan pasukan kekaisaran di ronde berikutnya.”
Begitu persiapan di meja selesai.
“Yoram, maaf—”
“Maaf untuk?” selaku lantas menebak, “apa kalian semua terus diam karena gak diberitahu apa-apa soal rencana kita sama atasan, begitu?”
Mereka kompak mengangguk, merespons tebakanku sebagai benar.
Hem. Ya, sudahlah. Apa boleh buat.
Mau bagaimana lagi kurasa ….
***
“Berangkaaat!”