“Anda sudah bangun, Bura?”
“Di mana aku ….”
Tanggal 26 Bulan Empat, Musim Panas 344 Mirandi. Bura Parami akhirnya siuman dari koma, sehari usai kabar kejatuhan Raku tersebar luas.
“Ini di bilik rawat gerbang selatan—”
“Apa kita sedang ada di Mantrus?” selanya, melotot padaku bak baru saja melihat hantu. “Jawab aku, Ure. Apa kita—”
“Ya!” Iseng. Aku mendekat terus duduk di ranjangnya. “Kita tiba kemari kemarin lusa, sayang Anda tidak melihat apa yang sudah kulakukan di sini.”
“Tidak ….” Suara beratnya terdengar lesu. “Jika kita sudah di sini dan kau ternyata sekarang masih hidup berarti mantel putihkulah yang kalah, aku tahu.”
Eh? Aku tidak salah dengar, ‘kan? Hem.
‘Jadi, dia benar-benar merencanakan sesuatu di belakangku,’ batinku kemudian lanjut bersandiwara, “jika semua tidak sesuai rencana, terus Anda mau apa?”
“Sebagai seorang bura ….” Ia menunduk. “Hidupku di pertempuran tidak perlu kau tanya lagi.”
Aku tidak tahu ke mana pria berewok yang baru bangun ini mau menyetir topik, jadi mari dengarkan saja.
“Tumbuh sebagai yatim piatu di pengasingan, masa kecilku tidak jauh beda dari anak-anak di Zaowi. Hanya saja, sebagai seorang Braran aku tidak punya punggung yang kulihat setiap pagi dan wajah yang kutunggu-tunggu ketika sore atau malam datang.”
Oh, jadi dirinya juga cukup melankolis.
“Hari-hariku memang berat, tapi tidak pernah ada hari yang tidak selesai. Aku bersama saudara-saudaraku Julius, Manik, bahkan Bella, selalu tertawa setiap malam ketika pekerjaan kami tuntas.
Sayangnya, kebahagiaan itu tidak belangsung lama.
Setelah Serdadu Jubah Hitam menyerang desa ….”
‘Eh?’ Mataku mendelik. ‘Serdadu Jubah Hitam, mereka masih ada?’
“Setahun kemudian. Aku, Julius, Manik dan Bella memutuskan untuk menjadi perampok di Purtara. Pilihan yang menyedihkan, memang, tapi itulah titik balik kami berempat hingga punya kekuatan sebesar hari ini.
Pelan-pelan aku juga menjadi terkenal dan pu—”
“Aku kemari bukan mau dengar cerita sedih dengan curhatan masa muda kalian, Bura,” selaku terus tanya, “tapi ingin tahu, apa rencana Anda selanjutnya?”
“Huh.” Ia terkekeh. “Apa lagi, Ure. Aku kehilangan sebelah mata karena kecerobohanku, orang berbakat sepertimu, Mantel Putih, bahkan mungkin orang yang kucintai sepanjang hidup juga telah pergi ….”
Hem. Aku makin tidak mengerti.
“Ure, katakan padaku apa lagi yang bisa kulakukan setelah kekalahan besar ini?”