Narsis

Saepul Kamilah
Chapter #24

Dilema Sang Bura

Yoraaam!

“Kita berhasil mencegat pembawa pesan kelima belas di barat dan barat daya ….”

Senang dengar laporan barusan, segera kulepas ikat pedati kemudian naik ke punggung kuda.

“Bagus. Tetap awasi sisi barat kota dan jangan biarkan siapa pun lolos … Pame, kirim pesanku ke pasukan di timur dan selatan, ‘Malam ini kita bergerak!’”

Tanggal 2 Bulan Lima, pertengahan Musim Panas 344 Mirandi.

Setelah tiga hari dua malam mengunci gerak pasukan kekaisaran di dalam tembok dan meneror psikologi mereka lewat suara gaduh, waktu untuk mengambil alih Raku kini tiba. Tiga pasukan Mantel Putih malam ini akan merayap ke dinding kota dari tiga sisi, utara, timur, dengan selatan serentak.

Kami yang selama dua malam terakhir cuma menembakkan meriam kosong sambil menggonggong ria dari seberang tembok Raku, kali ini betulan menyerbu. 

Dan terima kasih, berkat pengalaman dua malam kemarin pula musuh menjadi kurang waspada hingga kami bisa melompati tembok dan membuka gerbang tanpa kendala.

“Yoram, kavaleri kita berhasil menerobos.”

“Teruskan, tapi ingat, target kita cuma menduduki kota. Jangan kejar mereka yang melarikan diri.”

“Dimengerti ….”

Tengah malamnya, operasi kami pun selesai. 

Akan tetapi, sayang target lain pada serbuan Mantel Putih ke Raku kala itu tidak terpenuhi.

“Mana Belaaa?!” Tatkala Bura Parami tidak kunjung menemukan tanda dari keberadaan kekasihnya. “Ure, kupasrahkan sisa pasukanku padamu agar kau menyelamat—”

Plak! Kutampar sang bura di depan pasukannya.

“Aku bukan babu,” kataku terus tegas berkata, “sejak awal target utama kita adalah mengambil alih Raku sebagai titik pertahanan untuk menghadapi serbuan balik pasukan kekaisaran. Menyelamatkan pacarmu cuma bonus, jadi dinginkan kepalamu segera atau kulempar kau ke barisan musuh—”

“Lapooor! Yoram, musuh yang lari ke sisi barat kota terlihat membawa banyak kerangkeng.”

“Kau dengar itu, ‘kan, Bura?” Kutatap matanya. “Kurasa pacarmu dibawa la—”

“Kalau begitu apa yang kau tung—”

Kutampar orang nomor satu di Mantel Putih itu sekali lagi. Plak!

“Sudah kubilang dinginkan kepalamu!”

“Kenapa?” sergahnya, mengaum bak singa lapar. “Kita sudah menang, ‘kan?”

“Kau lupa sisa pasukanmu berapa, hah?” balasku gak kalah ngotot, “kalau mereka mendadak sadar setelah melihat orang-orangmu terus tiba-tiba berbalik menyerang pas dikejar maka habislah kita—paham!”

Bura Parami terdiam. 

Sebagai seorang bura sekaligus veteran perang, kurasa ia mengerti kenapa kuambil keputusan ini.

“Baik, aku paham …,” ujarnya, sebelum kemudian berlalu entah ke mana.

Selanjutnya. “Segera tutup semua gerbang dan buat formasi bertahan di atas tembok!”

Pertarunganku belum selesai. 

Gantian. Setelah mendapatkan kembali Raku, kini giliran kami yang harus siap mempertahankannya dari serbuan balik pasukan kekaisaran sampai mereka menyerah atau benar-benar mundur, bukan?

*** 

“Yoram, kami sudah memeriksa lumbung dan gudang sesuai perintah Anda.”

“Hasilnya?”

“Kemungkinan kita bertahan di sini cuma tiga hari, tidak le—”

“Apa?!” Bura Parami melotot. “Tiga hari tanpa bekal sama saja dengan kalah.”

“Belum tentu,” timpalku kemudian memberi perintah, “itu cukup untuk menakuti musuh. Suruh setengah orag kita tidur dan sisanya berjaga di posisi sampai pagi, laporkan apa pun yang terlihat di sisi barat kota begitu fajar datang besok, dan, ya, kirim pesan untuk ‘bala bantuan’ kita di belakang ….”

Lihat selengkapnya