“Kau benar-benar monster.”
“Aku?” Aku menoleh, tersenyum, terus melihat Renet kemudian tanya, “Hoi, Renet. Apa kau juga berpikir aku semenakutkan yang Bura Bella bilang barusan?”
“Yo-yoram, Anda tidak harus bertanya padaku untuk mengonfirmasi ucapan Bura, ‘kan?”
Kuangkat bahu sekali terus menjuling. Mengingat-ingat aksiku sebelum membawa kembali Bura Bella dari barisan lawan di belakang kami ….
“Siapa lagi?” Ketika hampir genap satu setengah lusin perwira Panji Kuda Putih telah kuringkus lewat duel hingga tengah hari ini. “Apa cuma segini kekuatan jawara-jawara Mapu Matilda Barat yang katanya gagah perkasa, hah?”
Aku tahu pertarungan tadi tidak seimbang. Kesannya diriku, sebagai seorang veteran periode Chloria, lagi merundung para amatir di zaman Mirandi. Cek!
Cuma, kalau tidak begini kota di belakangku takkan bertahan lama membendung serbuan bendera warna-warni di depan sana, ‘kan. Terus juga, aku kadung sesumbar mau jadi dewa perang di era ini.
Jadi, mau bagaimana lagi.
Lupakan fakta bahwa diriku datang dari masa lalu. Terpenting sekarang adalah kakiku tetap stabil berpijak. Toh, pada saatnya nanti aku juga akan melawan penyintas periode Mirandi.
Sesama penyintas, kuharap pamornya cukup untuk menghadapi bobotku.
“Kau serius mau jadi dewa perang, Ure?”
“Akhirnya!” Kuentak kuda memapak penantang berikutnya. “Kenapa kau baru muncul sekarang ….”
Orang yang segera mengangkat topeng helm perangnya begitu di depanku.
“Hoi, Lamda.”
“Kau tahu aku gak bisa asal maju ke gelanggang, ‘kan?” ujaranya, tersenyum cerah seperti biasa. “Apalagi yang kuhadapi seorang dewa perang …, tapi aku kaget kau tidak membunuh orang-orangku di duel ini.”
“Kalau kubunuh, mereka gak bisa kutukar buat mendapatkan hati orang-orang Mantel Putih.”
Lamda menjuling sambil tengadah dengar alasanku, mungkin berpikir manusia macam apa diriku, setelah itu dirinya pun mencabut dua bilah pedang dari punggung. Sring!
“Sebaiknya angkat tombakmu,” ucapnya yang langsung, pura-pura, pasang kuda-kuda, “orang-orang akan curiga kalau kita bicara santai begini, setidaknya beri aku muka sambil membicarakan rencanamu.”
Meresponsnya, kini giliranku yang menjulingkan mata kemudian, swush! Kusapu area sekitar dengan rapal debu juga angin puyuh, memagari kami dalam selimut debu bersama riuh angin supaya aku dan dia punya ruang privat.
“Segini cukup, ‘kan?”
“Eh?” Tentu saja, orang di depanku seketika terbelalak. “Aku baru tahu kibasan tombakmu bisa membuat debu beterbangan—kau, kau bisa sihir?”
“Jangan berteriak di depanku,” timpalku, melipat tangan lalu mendekatkan kuda kami. “Tombakku terlalu berat buat kau tangkis, terus penghinaan juga kalau seranganku bisa kau tahan.”
Ia melirik sebal.
“Kau meremehkanku, Ure?”
“Bukan, aku cuma gak mau menurunkan standar lawanku.”
“Idih. Dasar, Besar Kepala.”
“Sudahlah, nih!” Kulempar sebuah gulungan padanya. “Itu salinan lokasi pasukan Panji Beruang di utara, kau tahu harus apa, ‘kan?”
“Hem.” Ia mendelik sekilas sebelum kemudian memeriksa gulungan tersebut. “Kau lagi menggunakanku dan pasukan kekaisaran sebagai alat buat memenuhi rencananmu, ya?”
“Jangan tersinggung, tujuan kita sama ….” Kuparkir dan kusejajarkan kuda kami terus mengintip dari bahu kirinya. “Kau bisa mengirim orang ke—”
“Geseran dikit,” sergahnya sambil membuat jarak, “kau kan sudah lihat isi peta ini, ah.”