Ayah sudah tak lagi peduli. Ibu yang aku harapkan bisa di sini memilih pergi demi menghidupi diriku dan kedua orang tuanya. Aku hanya bertanya-tanya, kenapa dia harus pergi sejauh itu untuk mencari uang? Apakah tidak ada sesuatu yang bisa menghasilkan uang di dekat sini? Nenek dan Bibi yang menjagaku entah kenapa tak aku rasakan. Bukan aku tak bersyukur dengan kasih sayang yang mereka berikan pada diri ini. Hanya saja, Bibi sering marah dan menyalahkanku saat salah. Bukan berarti aku tak ingin disalahkan. Tapi caranya memarahiku yang membuatku seringkali sakit hati.
Bu, kau satu-satunya malaikat yang aku miliki setelah ayah tak peduli pada kami. Tapi, kenapa kau malah ikutan pergi? Kenapa kau tega tak peduli dengan anakmu yang masih membutuhkanmu? Kenapa malaikat sebaik Ibu jarus pergi? Kenapa hidup ini begitu tak adil untukku?
Nenek sudah tua dan sangat berat untuk bekerja sehari-hari. Bibi juga tak bisa untuk menemaniku sehari-hari. Dia juga kerja dan harus menemani anak dan suaminya di rumah. Melihat sepupuku, aku merasa iri dengan mereka. Kenapa mereka dikaruniai keluarga lengkap seperti yang lain, sedangkan aku tak dikaruniai keluarga yang hangat seperti mereka?
Bibi pilih kasih. Dia bilang aku juga anaknya dan berjanji akan merawat dan menyayangiku seperti anaknya, tapi semua itu hanya omong kosong. Semuanya bohong dan tak bisa aku percaya. Bukan aku tak mau percaya, tapi semuanya sudah terbukti tak bisa dipercayai sama sekali.
***
“Nduk, kau yakin mau pergi? Gak cari kerja di dekat sini saja kah? Kasihan anak kamu.” Yuni hanya bisa menatap sang menantu dan memintanya agar memberikah keputusan yang terbaik. Azura sendiri juga berat untuk mengambil keputusan ini. Tapi, ini harus diambil.
“Ini sebenarnya berat Bu. Tapi, mumpung ada kesempatan. Kasihan Umar jika aku tinggal. Tapi, kalo melihatv daerah itu, aku juga takut Umar kenapa-napa. Jadi, aku mohon sama Ibu dan Mbak Is, jaga anakku. Aku minta tolong, jaga anakku. Aku janji akan rutin kirim uang.”
“Zura, anak ini bukan hanya butuh uang dan harta. Tapi dia juga butuh kasih sayang dari orang tuanya. Siapa lagi orang tuanya sekarang kalo bukan kamu? Aku bukan melarang kau bekerja, silahkan kau kerja. Aku sendiri juga seorang wanita karir. Tapi perhatikan terkait anak kamu ini. Kasihan Umar, dia masih kecil.”
“Mbak, aku akan rutin pulang.”
“Bagaimana caranya kau bisa rutin pulang? Kau bisa janji pulang dalam waktu berapa kali? Berapa lama kau bisa pulang?” Azura hanya bisa terdiam dengan pertanyaan Ismawati. Ismawati bukan tanpa tujuan untuk mengajukan pertanyaan itu. Dia hanya ingin memberikan kepastian jika Azura bisa tanggung jawab pada sang anak.
“Mbak.”
“Zura, apa yang ditanyakan Ismawati bukan pertanyaan biasa. Tapi itu pertanyaan yang memang harus kau pertimbangkan. Memang, Ismawati tak harus mendengar hari ini jawabannya. Tapi, itu harus kau jawab dulu di hati kamu. Kami juga harus dapat kepastian bagaimana nashi anak kamu.” Yuni mencoba menenangkan menantunya atas pertanyaan dari Ismawati. Dia tak bisa langsung menyalahkan Ismawati terkait pertanyaan itu. Dia sendiri juga butuh jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh anaknya dari Azura.
“Aku belum bisa jawab sekarang. Tapi, aku janji akan pulang. Aku janji akan menemui anakku dan menunaikan kewajiban sebagai seorang ibu.” Ismawati sendiri sebenarnya belum begitu puas dengan jawaban dari iparnya. Tapi, dia tak bisa berbuat apapun. Waktu keberangkatannya sudah mepet. Esok hari dia harus berangkat menuju tempat dimana dia akan bekerja.
“Aku sebenarnya berat. Aku sebenarnya ingin kau bisa kerja di sini. Tapi, ini pilihanmu. Aku tak bisa menolak. Rumah ini adalah rumah yang menjadi hak kamu dan anak kamu.”
“Mbak, aku minta maaf. Aku akan selalu ingat dengan pertanyaan yang kau ajukan. Akan aku jawab. Pasti akan aku jawab suatu saat nanti. Kumohon, titip Umar. Titip anakku yang masih butuh pegangan dalam hidupnya.”
“Zura, aku sadar sebenarnya jika anak kamu butuh kasih sayang dan keberadaan dirimu. Tapi, kenapa kau justru memilih untuk pergi darinya?”
“Aku minta maaf Mbak. Aku minta maaf. Mungkin ini egois menurutmu. Tapi percayalah padaku, aku melakukan ini untuk kebaikan diriku dan kebaikan Umar.” Ismawati hanya menatap anak kecil yang tengah tertidur pulas. Dia tak tau, bagaimaana nasib anak itu setelah ditinggal oleh ibu kandungnya.
“Umar, aku akan menyayangimu. Kau adalah anak aku juga. Kau anakku. Kau akan sama seperti saudara kamu yang lain.” Ismawati meneteskan air mata.
***