Naskah sang kuasa

Zainur Rifky
Chapter #4

mereka tak pernah adil padaku

Sakit rasanya. Hati ini rasanya sakit. Dada rasanya sesak mengetahui semua yang terjadi. Ya, semuanya rasanya begitu sakit saat aku harus mengetahui kabar terkait ibu yang sangat aku sayangi. Ingin rasanya aku memeluknya. Ingin rasanya aku dimanja dan mendapat belai kasih sayang yang begitu aku nantikan. Tapi semuanya tak bisa aku gapai. Tapi semuanya hanyalah mimpi bagi diriku yang sangat lemah ini.

Aku lihat kawanku, kedua orang tuanya harmonis. Mereka bisa menemukan kehangatan itu di dalam rumah mereka. Melihat kedua saudara sepupuku, mereka juga merasakan rumah yang begitu nyaman. Mereka tak tau, ini adalah rumah milik orang tuaku. Ini adalah rumah yang memang nenek siapkan untuk aku dan Ibu. Tapi, kenapa rumah ini layaknya neraka bagiku? Rumah itu bukanlah rumah yang aku inginkan. Rumah itu bukanlah rumah yang selama ini aku inginkan dan aku rindukan.

***

“Umar. Sudah bangun Nak?” Ismail langsung memeluk anak yang baru berusia 6 tahun itu. Terlihat juga kedua saudaranya juga datang dan ingin sekali memeluk Umar, tapi seketika tubuh kedua anak itu didorong hingga kedua anak itu terjatuh.

“Kak Umar?”

“Dasar saudara pelit. Gak mau berbagi mainan. Gak mau berbagi buku. Gak mau minjemin aku buku yang kalian punya. Aku sampai sekarang gak punya buku karena gak ada yang mau membelikan aku buku. Dasar saudara pelit.” Umar langsung saja menampar salah satu diantara mereka.

“Umar. Apa yang kau lakukan?” Ismawati langsung saja marah dengan apa yang baru saja dia lihat. Umar, beraninya menampar anak yang sangat dia sayangi. Ingin sekali rasanya dia juga membakas menampar Umar, tapi, Ismail mencegahnya. Dia tampak naik pitam bukan ke Umar, tapi ke istrinya sendiri. Apa yang dilakukan oleh sang istri sudah keterlaluan.

“Cukup Is! Aku tanya sama kamu, kenapa sampai sekarang Umar belum memiliki buku paket yang bisa dia beli di sekolah satu pun? Aku tanya, kemana uang yang Azura kirim? Bukankah semua itu masih cukup untuk membeli beberapa buku paket walau tidak semuanya? Kemana uang bulanan yang aku berikan padamu? Itu semua juga ada hak Umar.” Ismawati langsung saja terdiam mendengar apa yang di tanyakan oleh sang suami. Dia tak bisa menjawab pertanyaan itu.

“Ismawati, kau ini wanita karir. Gaji kita berdua sebenarnya lebih dari cukup untuk biaya ketiga anak ini dan kebutuhan rumah. Bahkan, kalau kamu sendiri gak kerja, alhamdulillah, penghasilanku masih sangat cukup untuk kebutuhan rumah dan ketiga anak ini. Kau harus ingat, kita hanya numpang di rumahnya Azura. Kita hanya numpang di rumahnya Umar. Kenapa kau malah seakan pilih kasih? Kamu marah sama Azura? Kau marah karena dia gak pulang? Kau harus ingat, dia juga capek dan ingin pulang di tanah Rantau. Tapi ada hal yang membuat dia tak bisa pulang.” Umar hanya menangis di dalam pelukan Ismail. Ismail sendiri langsung saja malam itu pergi menuju rumah salah seorang guru Umar yang memang mendapat amanah untuk hal itu. Ismail langsung membayar lunas semua kebutuhan Umar di sekolah. Kali ini, Umar bisa langsung membawa pulang buku paket dan beberapa buku tulis yang seharusnya menjadi hak darinya.

“Terima kasih.”

“Umar, gak perlu berterima kasih. Ini sudah jadi kewajiban paman kamu untuk bisa membiayai sekolah dan keseharian kamu. Paman harap kau jadi anak pintar. Paman yang harus minta maaf sudah gak adil sama kamu. Paman akan selalu ada untuk kamu. Kau gak ada bedanya dengan kedua saudara kamu. Kau sama, kalian anak yang sama.” Umar langsung pulang. Ismail mengobati luka yang ada di tangan Umar dengan begitu hati-hati. Umar, anak yang masih kecil dengan kesadaran penuh melukai tangannya sendiri. Ismail hanya bisa menangis melihat tangan mungil itu yang harusnya kotor karena mainan dan basah karena air, sekarang malah berdarah karena dia merasa tak diperhatikan oleh orang yang seharusnya menyayanginya.

Umar hanya terdiam dan sesekali meneteskan air mata. Kemana perginya sang ibu? Kenapa ibunya tak pulang? Kenapa ibunya begitu tega tak menengoknya?

“Umar, kenapa Le?”

“Ibu kemana? Kenapa Ibu gak pulang?” Ismail tak langsung menjawab. Dia tak tau harus menjawab dengan cara yang bagaimana.

Salah satu teman Azura bekerja adalah kawan dekatnya semasa sekolah. Selama ini mereka begitu akrab hingga sang kawan tau jika iparnya butuh pekerjaan demi anaknya. Beberapa hari lalu, dia mendapat kabar jika sang ibu mendapat pelecehan di tanah rantau. Kali ini, ada pertanda jika Azura tengah mengandung anak hasil kejadian yang begitu kelam bagi seorang wanita.

Lihat selengkapnya