Semuanya kejam. Semuanya kejam dan tak punya perasaan. Kenapa orang yang sangat kusayangi begitu saja meninggalkan aku? Apa mereka tak berpikir apa yang aku rasakan?
Ibu, kenapa dia tega meninggalkanku? Kenapa dia tega mebiarkanku dirawat oleh orang lain? Ini bukan pilihan yang terbaik. Ini bukanlah pilihan yang baik untuk diriku.
Aku kecewa dengan semua ini. Aku sangat kecewa dengan keputusannya. Sangat kecewa dengan Keputusan itu. Tak ada lagi yang benar-benar menyayangiku setelah Ibu melakukan hal itu. Aku tak bisa menerima orang baru di rumah ini. Aku tak bisa memnbiarkan orang baru merusak semua yang sekarang ini membuat aku sudah hancur.
Semua ini sudah hancur. Semua ini sudah tak ada lagi yang tersisa. Kalian, kenapa kalian tega membersihkan puing-puing yang tersisa? Puing itu sangat berharga bagi diriku. Puing itu sangat bermakna bagiku.
Apakah yang kalian pikir semua ini bisa digantikan dengan uang yang kalian miliki? Tentunya, semua ini tidak bisa kalian gantikan oleh apapun, termasuk uang. Uang sebanyak apapun tak mampu menggantikan semua yang sudah hancur berkeping-keping.
***
Ismail sendiri terdiam dan melamun melihat anak kecil itu tertidur. Tak terasa, air matanya menetes. Beda anak beda cara menghadapinya. Dia sangat takut jika ketiga anak yang sekarang berada dalam pengawasan dan asuhannya tak mendapat hak secara utuh dan layak.
“Mas. Sudah malam. Besok kau harus kerja. Kayaknya ada sesuatu yang penting di tempat kerjamu.” Ismail sendiri hanya bisa mengiyakan apa yang baru saja dikatakan oleh sang istri. Sesuatu yang sangat penting. Memang, sesuatu itu begitu penting demi nasib ketiga anaknya.
“Semuanya penting demi nasib ketiga anak yang sekarang sedang kita rawat. Aku dengar, sekolah Umar akan mendapatkan bantuan. Aku sebenarnya sangat senang mendengar hal itu. Karena Umar pasti akan kecipratan bantuan itu.”
“Bantuan apa itu Mas?”
“Bantuan alat sekolah. Dia akan dapat pinjaman buku. Jadi sekolahnya akan dapat stok buku yang jumlahnya tidak sedikit. Ini bantuan dari pemilik Perusahaan tempat aku bekerja.” Ismawati hanya bisa terdiam mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh sang suami. Bantuan dari pimpinan perusahaan tempat sang suami bekerja. Pasti bantuan itu bukanlah bantuan yang main-main. Pasti bantuan itu bukan bantuan yang biasa-biasa saja.
“Pasti bukan bantuan yang biasa-biasa.”
“Iya, itu semua akan langsung diserahkan kepada pihak sekolah. Alhamdulillah, Umar bisa dapat semuanya. Walaupun memang rezekinya bukan di sekolah favorit seperti kedua anak kandung kita, tapi aku sangat yakin jika ini adalah rezeki untuk Umar.” Ismawati hanya tersenyum. Dia sendiri meminta agar sang suami bisa beristirahat malam ini. Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Ismail hanya mengiyakan. Dia hanya menuruti keinginan sang istri karena dia tau apa yang baru saja diminta sang istri untuk kebaikannya sendiri.