Tak pernah aku bayangkan saat masih kecil jika hidupku seperti ini. Tak pernah aku bayangkan jika jalan hidupku tak seperti teman-temanku yang lain. Jalan hidupku juga tak sama dengan saudara yang juga begitu dekat denganku.
Kecewa. Sangat kecewa dengan apa yang terjadi dalam kisah hidupku yang penuh dengan amarah dan air mata. Teriakan dan amarah dari orang sekitar sudah menjadi makanan sehari-hari. Penghakiman sudah menjadi makanan yang harus aku telan setiap hari.
Pahit. Sangat pahit. Apa yang aku alami lebih pahit dari obat yang diberikan dokter untuk menyembuhkan penyakit pasiennya. Pahit rasanya hidup ini. Dunia, tak adakah yang perhatian padaku? Tak adakah diantara kalian yang iba padaku?
Dunia tak adil. Dunia tak pernah iba pada diri ini. Diri ini yang sangat lemah dan hanya bisa mengikuti apa yang kehidupan ini inginkan. Hidup ini tak adil. Aku sangat membenci kehidupanku. Benci. Sangat benci. Ingin rasanya aku mati. Ingin rasanya aku lari dari kehidupan yang pahit. Hidup yang pahitnya justru hanya menambahkan luka dan sakit dalam hati ini.
***
“Azura, ini hidup kamu. Ibu tak akan pernah membatasimu untuk menentukan kemana kau akan pergi. Tapi ingat satu hal Nduk! Anakmu akan selalu aku jaga dan rawat seperti anakku sendiri. Anak kamu, akan aku sayangi seperti anak yang aku lahirkan. Ismawati dan suaminya akan merawatnya seperti anak mereka sendiri.” Yuni hanya berkaca-kaca mengatakan hal itu. Dia sangat tak tega dengan apa yang baru saja dia lihat. Cucunya begitu marah dan kecewa, justru itu bersumber dari ibunya sendiri.
Azura tak bisa berbuat apapun. Azura tak bisa berbuat apapun mendengar apa yang baru saja sang mertua katakan. Ini bukanlah masalah siapa yang bicara. Tapi, ini masalah apa yang baru saja dibicarakan oleh wanita itu. Umar, anak yang dia lahirkan dan dia sayangi kali ini harus dia lihat begitu marah pada dirinya.
“Tidak seharusnya anak usia 6 tahun bisa melakukan itu. Tidak seharusnya anak usia 6 tahun bisa marah sama ibunya sendiri, dan bisa melakukan itu. Ibu harap kau bisa mengerti Nduk. Sekali lagi, tolong ingatlah Umar. Umar masih butuh pelukan darimu.” Yuni sendiri berjalan menjauh. Azura hanya bisa terdiam dan mengikuti langkah dari ibu mertuanya.
Tak jauh dari tempat semula, tampak Ismawati sangat kesulitan untuk mengontrol anak kecil yang sekarang dia gendong. Dia terus berontak dan ingin melampiaskan seluruh amarahnya. Ismawati tak bisa membiarkan Umar terlepas begitu saja. Dia sangat tau jika Umar bisa membahayakan banyak orang, termasuk diri Umar sendiri jika sampai terlepas.
Yuni langsung mendekat dan menatap Umar yang masih saja menyala dalam wajah manis itu. Yuni tersenyum dan berusaha menenangkan Umar dan tak ingin cucunya sampai berbuat hal yang sangat merugikan orang lain.
“Aku ingin ketemu Ibu. Biarkan aku ketemu Ibu.”