Naskah sang kuasa

Zainur Rifky
Chapter #7

umar berulah

Bukan maksudku untuk durhaka. Bukan maksudku untuk melawan kehendak orang tua. Tapi, semua sudah tak lagi seperti dulu. Semua sudah tak lagi seperti apa yang aku impikan dulu. Kehangatan yang dulu terpancar dari mereka sudah hilang begitu saja. Kehangatan itu sudah tak ada bekas dalam hidup ini. Tak ada bekas sama sekali dalam kehidupanku.

Aku sudah menelan kekecewaan. Aku sudah sangat kecewa dengan hidup dan diriku sendiri. Semua sudah membuatku kecewa yang teramat berat. Tak ada lagi yang bisa aku percaya. Siapa yang kau percaya kali ini? Tolong, katakan padaku, siapa yang harus aku percaya untuk kondisi saat ini? Bahkan orang tuaku sendiri tak bisa lagi aku percaya.

***

“Umar, tolong. Jangan lagi marah seperti ini!” Umar hanya bisa menatap lelaki itu dengan mata menyala yang begitu berkobar.

Umar akhirnya pergi. Kepergiannya hanya disaksikan oleh semua mata. Ada sebuah kekecewaan yang sangat membekas dalam hatinya. Ada yang begitu membuat dia sangat membenci hari ini.

“Kau harus berpikir lagi untuk anakmu. Kecuali kalau kau bukan seorang ibu.” Ismail langsung saja mengatakan hal yang seperti itu. Kata-kata itu membuat Azura menangis. Ismawati dan Yuni hanya bisa membiarkan dia menangis.

“Kalau kau mau pergi, silahkan! Kalau kau membawa dia untuk pergi, silahkan Mas! Tapi ada satu hal yang harus kalian ingat, tak ada hak bagi kalian, terutama kau untuk bertemu dengan Umar. Gak ada alasan lagi, untuk kalian menginjakkan kaki di rumah ini, dan rumah semua iparmu.” Yuni mengatakan hal demikian. Ismawati hanya bisa meneteskan air mata. Seluruh amarah yang ingin dia tumpahkan mendadak hilang setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh sang ibu. Memang, Ismawati begitu kasihan dengan Azura yang tak punya lagi keluarga. Tapi, melihat dengan mata kepala sendiri, dia ingin sekali rasanya marah.

“Bu, kita ketemu cucu Ibu. Aku rasa, kau sudah rindu untuk bertemu dengan mereka.” Yuni menatap anak sulungnya. Dia perlahan memasuki rumah yang sebenarnya sangat sederhana. Tapi, rumah itu sangat nyaman untuk ditinggali.

Terlihat, Umar hanya terdiam dan merenung di pojok ruangan. Dia hanya bisa melihat kedua saudaranya bermain dengan mainan yang sangat mudah didapat. Ismawati dan Ismail tak perlu biaya untuk mainan itu saking mudahnya mereka mendapatkan semua itu.

Ismail langsung mendekat. Dia terus meminta agar Umar mau untuk bergabung dengan kedua saudaranya. Terlihat, Umar sangat sedih hari itu. Dia tak ada senyuman yang terpancar hingga malam tiba.

Ismail hanya bisa terdiam dan membiarkan Umar untuk terus seperti itu. Dia hanya minta waktu untuk sendiri sepertinya. Tapi, setelah malam begitu larut, tak ada pergerakan sedikitpun dari Umar.

Ismail sendiri langsung saja menggendong Umar untuk ke kamarnya. Dia berusaha untuk bicara dengan Umar, tapi kali ini masih sangat sulit untuk Umar bisa bicara seperti tadi lagi.

“Mas, bagaimana dengan Umar?”

“Dia belum ingin bicara. Dia dari tadi diam. Aku coba ajak bicara, tapi jawabannya tak seperti tadi pagi. Kau pasti tau, tadi pagi dia sangat semangat untuk sekolah.” Ismawati hanya bisa terdiam. Melihat ketiga anak itu tidur, mereka langsung pergi ke sebuah tempat. Tempat mana lagi jika bukan rumah Yuni. Mereka menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Umar semenjak kejadian tadi siang.

Kusuma hanya bisa terdiam dengan apa yang terjadi pada sang cucu. Kenapa garis takdir dari cucunya yang satu ini sangat menyedihkan.

“Kalian yang sabar kalo menghadapi Umar. Kalian yang sabar. Ini gak mudah memang, tapi aku yakin kalo Umar sebenarnya masih bisa untuk diluluhkan hatinya.” Ismawati sendiri hanya mengiyakan. Ismail hanya bisa terdiam mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh mertuanya. Entah, bagaimana dia bisa menghadapi Umar ke depannya?

Lihat selengkapnya