Naskah sang kuasa

Zainur Rifky
Chapter #8

bertemu dan menghajar pelakor

Aku tak pernah berubah. Aku sama sekali tak pernah berubah. Justru semua orang yang ada di sekelilingku yang perlahan berubah. Mereka berubah dan membuat aku harus mengikuti apa yang mereka lakukan. Aku hanya mengikuti apa yang selama ini mereka lakukan.

“Kenapa semua bilang jika aku berubah? Kenapa semua bilang jika aku adalah anak nakal?” Kerdua pertanyaan itu yang terus aku tanyakan pada Bibi, Paman dan Nenek. Tapi, tak ada yang bisa menjawab pertanyaanku itu.

Setiap kali baku protes dan melayangkan pertanyaan itu, tak pernah ada jawaban. Tak ada jawaban yang sangat memuaskan dari mereka. Bahkan, orang yang mengataiku anak nakal jika tak bisa menjawab itu dengan sesungguhnya. Kenapa mereka? Apakah mereka hanya ikut-ikutan? Apakah mereka hanya sekedar ingin menghakimi aku? Buat apa aku dihakimi? Apakah aku tidak ada orang yang melindungiku dari omongan kasar kalian?

***

“Bu, gak apa-apa. Jujur, aku gak apa-apa dengan apa yang dilakukan Umar barusan.” Ratri mencoba menenangkan Ismawati yang sepertinya sangat emosi. Dia tau, Umar melakukan itu semua juga karena emosi yang terpendam dalam dirinya.

“Bu Ratri, kenapa ibu sendiri gak apa-apa kalau Umar berbuat seperti itu? Kalau diteruskan tidak baik untuk anak ini. Dia akan menganggap ini semua baik. Bukankah begitu Bu?”

“Saya tau Bu. Saya tau apa yang Ibu maksud. Tapi satu hal yang harus kita perhatikan. Dia sedang marah. Dia sedang kecewa. Tidak baik kalo kita meminta agar dia tak berbuat perbuatan yang tak baik, justru dengan cara yang tak baik. Kita tak bisa melarangnya berbuat tercela kalau orang sekitarnya berbuat tercela.” Ismawati dan Kusuma hanya bisa terdiam mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Ratri. Mereka bukannya tak setuju masalah hal itu.

“Pak Wijaya, Bu Ismawati. Ini bukan masalah biasa. Ini bukan masalah kenakalan anak seusia Umar semata. Jadi ini tidak bisa kita hanya menyalahkan Umar. Kita harus selesaikan sumbernya kenapa Umar bisa melakukan hal seperti yang barusan terjadi.” Ratri langsung saja menyambung apa yang baru saja dia ucapkan. Dia meminta agar mereka bisa lebih bijak untuk menghadapi Umar.

“Bu, tapi Umar karakternya memang seperti itu.” Kusuma langsung menjawab. Kusuma tak ingin membela siapapun. Tapi, itu yang sebenarnya terjadi. Umar memang karakternya begitu mudah emosi selama berada di bawah pengawasan darinya dan asuhan anaknya.

“Maaf. Saya mohon maaf sekali lagi terkait ucapan saya. Bukan saya mau menghakimi Umar atau siapapun di sini. Tapi, saya tidak begutu percaya jika karakter Umar seperti ini. karakter itu bisa dibentuk dan terbentuk Pak. Dia bisa terbentuk karakter seperti ini karena banyak hal. Mungkin dia ada kekecewaan dalam hatinya, itu bisa saja terjadi. Maaf, saya kok merasa ada kekecewaan dalam hati Umar.” Wijaya hanya bisa terdiam mendengar hal itu. Kekecewaan. Dia hanya menatap Umar yang hanya bisa terdiam dengan apa yang baru saja dikatakan oleh banyak orang. Dia memang tak menanggapi, tapi dia sebenarnya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan sebagai seorang manusia.

“Umar.” Umar hanya meneteskan air mata. Tak lama, ada beberapa orang tua yang datang dan protes dengan apa yang terjadi pada anak mereka. Kenapa mereka bisa terluka seperti itu?

“Maaf, tapi anak ibu yang memulai semuanya. Kenapa mereka bisa mengatai salah satu teman mereka? Apakah itu baik?” Ratri langsung saja menunjukkan seorang anak yang tampak hanya terdiam. Para orang tua hanya bisa emosi dengan Umar yang kali ini berada di hadapan mereka. Dia yang melakukannya?

“Dia pelakunya? Harusnya dia tak sekolah di sini.”

“Kenapa aku tidak bisa membela diri? Kenapa aku gak punya hak membela diri? Kenapa membela diri hanya punya anak seperti mereka? Kenapa aku tidak bisa membela diri seperti mereka?”

Lihat selengkapnya