Naskah sang kuasa

Zainur Rifky
Chapter #9

Kak Umar hanya membela diri.

Kenapa aku selalu salah? Kenapa mereka harus selalu benar? Apakah aku dilahirkan hanya untuk melakukan kesalahan? Apakah segala kesalahan yang ada pada dunia ini harus aku tanggung seluruhnya?

Bukankah semua ini tak adil bagiku? Bukankah ini tak adil?

Tuhan, kenapa kau lahirkan aku? Kenapa aku harus terlahir jika aku hanya mendapat nasib dan garis takdir yang penuh dengan air mata? Tak pernah aku minta untuk terlahir ke dunia ini. Tak pernah aku memohon untuk menjalani hidup yang seperti ini.

***

Ismawati terdiam di ruangan yang begitu nyaman. Di ruangan nyaman itu isi kepalanya sangat ramai. Masalah anaknya di sekolah yang habis ini pasti banyak pengeluaran. Ditambah lagi Umar yang perilakunya entah kenapa sulit untuk bisa dikendalikan. Kejadian tadi siang membuat dia hanya bisa menatap sebuah foto yang membuat dirinya begitu mengenang masa kecilnya.

“Dek Is.” Ismawati hanya menggeleng. Ismail hanya bisa terdiam dengan keadaan sang istri yang seperti ini. Sangat tak tega melihat sang istri yang sepertinya dalam masalah yang begitu pelik.

“Entah kenapa Umar seperti cobaan dalam hidupku. Kehadiran Umar justru membuat hidup ini semakin berat.”

“Masih banyak orang yang justru mendambakan hal itu. Banyak orang di luar sana yang justru menginginkan cobaan yang sedang kita hadapi kali ini.” Ismawati hanya terdiam dengan apa yang baru saja sang suami katakan. Ismawati melihat ketiga anak kecil yang usianya berdekatan bermain. Umar memang beda sendiri. Badannya kecil, tapi dia sangat bisa menaklukan kedua saudaranya. Kedua anaknya tak berani untuk mengganggu Umar dengan cara apapun. Umar memang terkenal mudah sekali tersulut emosi dan tak takut untuk berbuat hal yang di luar kendali.

***

Waktu terus berjalan. Hari demi hari mereka lalui dengan begitu banyak rintangan. Tak jarang Ismawati harus uring-uringan dengan kelakuan Umar yang seringkali berbuat hal yang justru di luar dugaan.

“Umar, kau ini sudah besar. Kenapa kelakuanmu seperti anak kecil? Kau ini sudah kelas 4 SD. Tidak perlu kau bertengkar seperti itu dengan teman kamu. Apalagi kau bisa lihat, dia sampai terluka.”

“Memang salahnya di mana? Dia yang memulai. Lalu aku salah kalo aku melawan? Kalo aku gak melawan dia ini terus mengatai yang enggak-anggak. Memang Bibi mau kalau adek mengalami yang aku alami seperti ini?”

“Umar. Sudah Umar. Janga marah seperti ini! Jangan kau lakukan lagi kelakuanmu seperti yang baru kau lakukan.”

“Memang kenapa Kek? Kenapa? Kenapa aku harus diam kalo ada orang yang memberikan kata yang menyudutkanku? Aku harus menerima gitu?”

“Bukan begitu Umar.”

Lihat selengkapnya