Naskah sang kuasa

Zainur Rifky
Chapter #12

biarkan aku mati

Tak pernah aku menginginkan terlahir ke dunia ini. Tak pernah aku menginginkan hidup yang semacam ini. Tak pernah aku mendapat semua itu dari dunia. Tak pernah aku mendapatkan semua yang menjadi hak bagiku dari semua orang. Itu hak yang seharusnya aku terima. Tapi justru mereka tak memberikannya padaku. Apa yang terjadi?

Terkadang, aku hanya berpikir, masih adakah orang yang menyayangiku. Masih adakah orang yang mencintaiku dengan ikhlas?

Pertanyaan itu masih terngiang karena orang tuaku sendiri sudah pergi dengan orang lain. Mereka pergi dan membawa sesuatu yang menyakitikan bagiku. Sakit rasanya mengetahui semua itu. Ingin rasanya aku marah dengan keadaan yang sekarang terjadi.

Tapi, siapa yang mau mendengar semua keluh-kesahku? Sekian tahun aku memendam semua ini, sampai ada seseorang yang berhasil membuat aku berubah. Orang lain itu adalah…

***

“Umar.” Ismail tak bisa lagi membujuk anak itu. Ismail terdiam dan hanya bisa memandangi pintu yang sudah terlanjur tertutup. Entah kenapa, Umar beberapa hari terakhir sering sekali untuk menyendiri. Beberapa hari terakhir sering kali untuk datang ke tempat kakeknya.

Dia sebenarnya yakin jika Umar hanya ingin menenangkan diri. Dia hanya ingin mencari teman yang bisa untuk mendengar segala yang ada di dalam hatinya. Ismail sendiri sebenarnya begitu iri dengan apa yang terjadi. Iri dan cemburu. Kenapa sampai Umar tak bisa terbuka dengan segala masalah yang ada dalam hidupnya? Kenapa dia begitu tak percaya pada orang yang berada di sekitar dirinya?

“Kenapa dia seolah tak percaya sama kita. Kenapa dia tak bisa terbuka dan mau cerita semua masalah yang mengganggu? Apakah aku sudah gagal menjadi teman yang baik untuk anak itu?” Ismail sendiri langsung berkata demikian. Ismawati sebenarnya tak ingin mendebatkan semua itu. Baginya, Umar sudah nyaman di tempat ini. Tapi sekali lagi dia teringat apa yang baru saja dikatakan oleh sang ayah. Jika sampai dia tak mampu, bagaimana kecewanya sang ayah? Benarkan Umar tak nyaman di tempat ini. Benarkah dirinya dan sang suami tak membuat Umar nyaman dengan segala yan ada untuknya? Apakah ini hanya karena Umar yang tidak begitu bersyukur?

“Apak karena dia kuran bersyukur dengan apa yang sudah ada? Apa dia kurang bersyukur dengan semua yang telah kita berikan?” Apa yang baru saja dikatakan oleh Ismawati membuat Ismail naik pitam. Ingin sebenarnya dia marah dan memarahi Ismawati. Tapi, melihat ada kedua anak yang ada di hadapa mereka, tak elok rasanya memarahi seseorang di hadapan orang lain.

Ismail langsung saja menarik tangaj itu menuju tempat lain. Dia hanya ingin sekedar mengingatkan jika semua itu bukan semata Umar tak bersyukur. Tapi, mereka harus evaluasi diri. Sudahkah mereka memberikan hak Umar? Apakah hak Umar sudah benar-benar layak untuk dia terima?

“Aku tanya, Umar sudah menerima haknya? Apakah haknya yang dia terima memang layak, atau kita yang melakukannya hanya sekedar menggugurkan kewajiban? Tolong kau jawab itu Nduk. Itu pertanyaan bukan pertanyaan biasa. Karena Umar butuh kehangatan cinta dari orang sekitarnya. Dia butuh kasih sayang dan pelukan dari orang lain. Bukankah kau bilang itu pada Azura sebelum dia pergi?” Ismawati sendiri terdiam dengan apa yang baru saja dikatakan sang suami. Tadi, dia sangat melihat ada wajah amarah dari Ismail. Tapi, melihat apa yang dikatakan olehnya sekarang sama sekali tidak mencerminkan rasa marah. Dia hanya sekedar mengingatkan dan memberikan pertanyaan yang sebenarnya dia sendiri tak menuntut jawaban dari pertanyaan itu. Pertanyaan itu harus dia jawan pada dirinya sendiri.

Lihat selengkapnya